Minggu, 23 Desember 2007

Pilgub Sultra dan Janji NUSA

Oleh: Muh Sjaiful SH MH (Dosen Tetap Universitas Haluoleo Kendari)

Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sultra secara langsung sudah dihelat pada 2 Desember lalu. Berdasarkan hasil penetapan suara yang dilakukan oleh KPUD Sultra, maka pasangan calon Nur Alam-Saleh Lasata (Nusa, hampir pasti dinyatakan sebagai pemenang menuju kursi 01 Sultra. Dulu janji manis politik ditebar para calon dengan memberi harapan perubahan nasib rakyat Sultra ke arah lebih baik jika terpilih. Termasuk juga janji dari pasangan NUSA yang hampir dipastikan menang. Meski sebenarnya kemudian banyak pihak yang masih sangsi apakah betul para cagub itu bekerja untuk kepentingan perbaikan nasib rakyat jika terpilih? Semisal pasangan Nusa?
Soalnya pengalaman pemilihan kepala daerah berbagai tempat di tanah air termasuk juga pengalaman pemilihan pemimpin pada level nasional. Ternyata setelah sang kandidat berhasil merengkuh kekuasaan, nasib rakyat tidak pernah mengalami perubahan yang cukup signifikan dan mendasar.
Kemiskinan yang makin membelit rakyat, sulitnya memperoleh lapangan kerja, kelangkaan BBM dan listrik, penjualan aset-aset vital negara ke pihak asing, biaya pendidikan yang mahal dan praktik-praktik KKN yang telah menjadi konis di tubuh penyelenggaran pemerintahan di tanah air, adalah sederet fakta yang tidak terbantahkan bahwa janji manis yang dulu ditebar saat kampanye politik hanyalah tinggal janji. Rakyat tidak pernah merasakan perubahan nasib apa-apa.
Jadi masih bisakah kita berharap melalui fenomena Pilgub Sultra secara langsung ini akan menggiring perubahan nasib rakyat di tengah kondisi masyarakat pragmatis dimana para pejabat dan penguasanya kerap menabur janji?
Sebetulnya, ada banyak faktor untuk dijadikan pijakan analisis dalam memberikan jawaban objektif menyangkut arah perubahan nasib rakyat terutama di Sultra pada pergantian gubernur mendatang. Antara lain faktor sistem politik yang mendasari keberlangsungan pemilihan dan pengangkatan gubernur itu sendiri. Sistem politik yang terbangun secara gradual mempegaruhi proses pemilihan gubernur adalah terlalu bercorak pragmatis dan materialistik. Pada corak sistem politik demikian, lazimnya setiap orang yang berkehendak maju bertarung memperebutkan kursi kepala daerah boleh jadi lebih terdorong oleh ambisi mencicipi nikmatnya kekuasaan yang menyediakan segala akses kemudahan untuk meraup lebih besar kekayaan serta kebanggaan demi derajat prestise sosial.
Dengan meminjam ungkapan Teten Masduki, Kordinator Indonesian Coruption Watch (ICW), sesunguhnya kecenderungan sebahagian besar orang terjun ke dunia politik, seperti berebut menjadi kepala daerah, tidak lain hanya untuk mendekatkan diri pada sumber-sumber ekonomi. Menjadi orang yang duduk di kursi kekuasaan, adalah kesempatan emas untuk menyalurkan kontrak-kontrak pengadaan barang milik publik atau proyek pembangunan kepada kerabat dekat/kroni guna mendapatkan suatu komisi.
Maurice Duverger menulis bahwa orang-orang demikian tak ubahnya homo homini lupus yang dalam perjuangan politiknya, bermotivasi memburu keuntungan pribadi sebagaimana halnya dalam persaingan ekonomi. Motivasi perjuangan politik adalah untuk keuntungan dirinya bukan karena dedikasi atau pelayanan untuk rakyat. Teori Maurice Duverger berangkat dari asumsi bahwa para politisi dalam konteks demikian, cenderung menuntut pemuasan ekonomi dalam situasi yang selalu mengalami kelangkaan ekonomi.
Dalam konteks Pilgub Sultra yang ditopang oleh sebuah sistem politik cenderung pramatis dan materialistik itu, akan sangat sulit membawa perubahan nasib rakyat kearah lebih baik. Karena mustahil mendapatkan sosok gubernur yang bersih dan kredibel membawa perubahan sementara ia sendiri dibidani dari sebuah sistem politik yang diwarnai oleh ambisi memperbesar sumber-sumber ekonomi sendiri dan para kroni.
Parahnya lagi, sosok pemimpin yang lahir sistem politik demikian, biasanya terdiri dari para politisi yang suka cari untung (gain politician) yang doyan menukar amanat rakyat dengan kepentingan avonturistik. Ia akan rela mengeluarkan sejumlah ongkos sebagai balas jasa atau �upeti� kepada para pendukung yang berjasa menaikkannya ke kursi kepala daerah (baca gubernur). Ia juga akan rela mengumbar janji kepada setiap konstituen kendati apa yang dilakukan itu sekadar sebuah eufisme politik. Makanya aroma money politik dan pelanggaran aturan pilkada kerap menyengat dalam beberapa kasus pilkada yang terjadi di tanah air.
Jadi dalam paradigma sistem politik yang materialistik-pragmatis sebagai derivasi dari ideologi sekulerisme dengan titik ajaran mengejar kesenangan hedonis yang mengumbar syahwat mengumpul modal (kekayaan) tanpa menaruh empati terhadap nasib rakyat miskin dan kelestarian lingkungan, yang kemudian ini juga mengkooptasi sistem perpolitikan di wilayah Sultra, maka implikasinya sudah jelas, Pilgub Sultra mungkin hanyalah berganti wajah tetapi nasib rakyat tidak akan mengalami perubahan apa-apa.
Memang demikian watak dasar dari sistem politik sekulerisme yang membuahkan ide kapitalisme dengan kecenderungan materialistik-pragmatis. Ia selamanya abai terhadap nasib rakyat yang tertatih-tatih dihimpit kemiskinan dus kesulitan hidup. Bahkan abai terhadap kelestarian lingkungan serta nasib terhadap ribuan penganggur yang kesulitan mencari lapangan pekerjaan.
Kalau kita mengamati kondisi Sultra menurut catatan La Ode Aslan, Dekan Fakultas perikanan Universitas Haluoleo hingga di era gubernur sekarang, jumlah penduduk Sultra yang berkategori miskin sebanyak 420 orang (sekitar 21,5%). Disisi lain menurut Aslan, saat ini kondisi sosial ekonomi Sultra atas dasar indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks, HDI) masih menempati rangking 25 di Indonesia. Tentu saja meningkatnya anngka kemiskinan itu mendorong naiknya angka pengangguran sebesar 12,94%. Permasalahan yang dihadapi Sultra juga sekarang diperparah oleh mudahnya pemerintah di daerah ini mengeluarkan perizinan bagi ekspansi modal di Sultra yang membawa dampak terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup, antara lain adalah pendangkalan sungai akibat deforestasi di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS). Fenomena ini disebut sebagai proses runf-off dimana pasir dan tanah di kawasan terbuka ikut terbawa hujan dan mengendap di sungai. Akibatnya, sungai tidak mampu lagi menampung limpahan debit air secara tiba-tiba yang akhirnya menjadi banjir sebagai hal biasa di beberapa daerah Sultra. Hasil catatan Arief Rachman, Direktur Eksekutif Walhi daerah Sultra, menyebutkan beberapa izin pertambangan Golongan A/B yang dikeluarkan diseluruh Sultra yang sangat abai terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Saya juga mengamati kondisi penegakan hukum Sultra yang masih carut marut. Praktik Kolusi Korupsi dan Nepotisme masih mangkrak di beberapa lembaga birokrasi pemerintah. Selain itu, pembiaran pembalakan liar dan illegal fishing dalam pengrusakan ekosistem laut oleh para cukong-cukong pengusaha besar yang konon dibekkingi aparat pemerintah dan aparat hukum berlangsung terus menerus. Sumber daya alam Sultra digerus oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab alah beberapa di antaranya mulai digadai kepihak asing dan swasta. sejumlah konsesi wilayah pertambangan yang terdapat di sejumlah Pulau di Sultra seperti Pulau Kabaena, Pulau Walemo termasuk di Kabupaten Kolaka, sudah direncanakan untuk digadai kepada pihak asing ataupun pihak swasta.
Wajar kalau kemudian masyarakat Kolaka berunjuk rasa pada tanggal 19 November lalu, menentang kebijakan Bupati Kolaka, Buhari Matta yang mengeluarkan rekomendasi Kuasa Pertambangan (KP) kepada sepuluh perusahaan untuk mengeruk kekayaan alam Kolaka. Sementara rakyat Kolaka yang masih miskin di beberapa pinggiran wilayah Kolaka nyaris tidak pernah sedikitpun mendapat berkah dari eksplorasi penambangan tersebut. Aksi demo dimotori Forum Swadaya Masyarakat Daerah (Forsda) yang berlangsung panas dan penuh kemarahan rakyat. Bentrok fisikpun tak dapat dihindarkan antara Polisi Pamong Praja yang di bac up Satuan PHH Polres Kolaka yang berlangsung selama tiga jam.
Belum lagi kondisi sosial masyarakat Sultra yang saban hari digelimangi angka kriminalitas yang semakin meningkat, praktik prostitusi, judi, penyalahgunaan narkoba dan pesta miras di kalangan generasi muda. Sementara pada faktanya, beberapa elit politik yang telah duduk manis di kursi kekuasaan jarang peduli dengan kondisi tersebut. Meski berbagai aksi demo dan unjuk rasa dari rakyat Sultra meminta kepedulian pemerintah untuk itu. Namun seolah-olah para elit politik di berbagai level yang dulu rajin menabur janji berpura-pura lupa.
Para elit politik malah sibuk berebutan tender proyek menggiurkan milyaran rupiah, membangun rumah mewah, mengumpulkan modal padahal dulu saat mereka merayu simpati rakyat, janji untuk merubah nasib rakyat ke arah lebih baik sangat meyakinkan.
Itulah hasil dari pemilihan pemimpin secara langsung dalam bingkai sistem politik serba materi dan pragmatis buah dari ideologi sekulerisme-kapitalisme. Sejatinya, Pilgub Sultra yang tetap kokoh ditopang oleh sistem politik yang memelihara kelompok elitis yang rakus harta dan kekuasaan. Jangan harap bakal terjadi perubahan nasib rakyat Sultra kearah yang lebih baik.
Tak ada solusi jitu yang paling baik, memuaskan akal, sesuai dengan fitrah dan menentramkan jiwa, untuk membawa perubahan nasib rakyat sultra kearah lebih baik pada masa akan datang, selain dengan menerapkan sistem kepemimpinan yang berbasis syariah Islam. Betapa tidak, kepemimpinan yang berbasis syariah Islam sangat dipastikan menghasilkan sosok pemimpin yang kuat dan amanah. Karena pada dasarnya ia dilahirkan dalam suatu sistem kepemimpinan ideologis (qiyadah fikriyah) yang dibangun oleh akidah Islam dan syariatnya. Pemimpin demikian diikuti bukan lantaran akhlaknya semata, sebagaimana sering didengungkan oleh para kandidat gubernur Sultra dalam setiap kampanyenya, melainkan pengemban kebenaran dan amanah menerapkan Islam. Siapapun dan bagaimanapun juga, kepemimpinan yang diterapkan atas dasar Syariat Islam pasti dapat memberikan kesejahteraan, kemakmuran, dan keselamatan rakyat secara keseluruhan. Tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat kelak.