Rabu, 16 Desember 2009

Surga Para Koruptor

KPK vs Kepolisian dan Kebenaran Hukum
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Dosen Fakultas Hukum Unhalu
Boleh dibilang sangat tragis. Dunia penegakan hukum negeri ini bercoreng noda. Gara-garanya, dalam Sidang Mahkamah Konstitusi 3/11 lalu yang menggelar gugatan uji materil Undang-Undang KPK, terungkap konspirasi jahat beberapa petingi hukum yang konon untuk mengkriminalisasi KPK dengan modus menahan dua pimpinan non-aktif KPK, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah melalui tuduhan keduanya terlibat pemerasan. Konspirasi jahat terungkap melalui rekaman percakapan antara Anggodo Widjojo dengan Ong Yuliana Gunawan. Dan sungguh mengejutkan, isi rekaman percakapan yang diperdengarkan hampir seantero negeri melalui siaran televisi yang juga diperdengarkan di hadapan Ketua Mahkamah Konstitusi, Professor Mahfud MD, telah menyeret-nyeret nama Wisnu Subroto (Mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelejen), Abdul Hakim Ritonga (mantan Wakil Jaksa Agung), Komjen Susno Duaji (mantan Kabareskrim Polri), sebagai pihak-pihak yang turut andil dalam upaya mengkriminalisasi KPK.
Rekaman isi percakapan yang membuka borok prilaku petinggi hukum, seolah memperbenar sinyalemen banyak orang, kalau sistem hukum negeri ini masih terjebak mafia peradilan dan cara-cara kotor, terutama berkenaan dengan pengungkapan kasus-kasus hukum, misalnya pada perkara perampokan uang negara alias korupsi, yang menyeret-nyeret nama orang penting di negeri ini.
Ibarat orang yang kebakaran jenggot, heboh rekaman percakapan tersebut, tentu akan banyak pihak yang tersudutkan, apalagi itu sampai melibatkan institusi negara penegak hukum yang malah sampai mencatut lembaga kepresidenan. Meskipun, faktanya pasti ada pihak-pihak yang harus tersudutkan, namun sesungguhnya itu adalah persoalan lain. Tetapi ada satu hal yang memang menjadi prinsip yang harus ditegakkan dalam setiap kasus-kasus hukum yang menguak, yaitu soal kebenaran hukum. Secara dogmatis, kebenaran hukum yang dimaksud adalah kebenaran untuk mengungkap siapa sesungguhnya dianggap terbukti bersalah dalam sebuah kasus hukum serta pertanggunggungjawaban hukum apa yang harus ditanggung oleh pelaku yang terbukti bersalah itu.
Secara akademis, soal mengungkap kebenaran hukum, tentu harus berjalan berdasar tata cara atau prosedur hukum yang secara normatif diberlakukan, yaitu melalui prosedur hukum yang dikenal dengan nama prosedur hukum acara. Baik itu dalam tataran perkara hukum publik maupun perkara hukum privat.
Pada perseteruan KPK versus Kepolisian yang kemudian berbuntut dari penahanan dua pimpinan non-aktif KPK hingga gugatan uji materil Pasal 32 huruf c Undang-Undang KPK ke Mahkamah Konstitusi, maka benang merah dibalik perseteruan itu, sesungguhnya hanya ada 2 (dua) soal kebenaran yang harus dikuak. Pertama: Betulkah ada upaya pihak-pihak tertentu untuk melakukan kiriminalisasi alias pelemahan kepada KPK? Kedua: Betulkah Bibit Slamet Rianto dan Chandra M Hamzah, ditenggarai turut terlibat melakukan pemerasan?
Berkenaan dengan tahapan prosedur hukum yang harus ditempuh dalam kerangka menguak dua soal kebenaran hukum dimaksud, maka ada tahapan krusial yang harus diperhatikan, yaitu yang disebut dengan tahapan pembuktian serta kualitas alat bukti yang diperlukan. Pada bahagian ini, penulis tidak akan berpretensi terlibat terlalu jauh dalam perdebatan hujat menghujat salah satu dari perseteruan cicak versus buaya. Penulis hanya berkehendak menganalisis dasar legitimasi keberadaan alat bukti yang digunakan untuk menguak dua soal kebenaran hukum tersebut.
Pertama, betulkah ada upaya kriminalisasi terhadap institusi KPK? Menguak kebenaran soal ini, Bibit Slamet Rianto dan Chandra M Hamzah telah menempuh prosedur hukum dengan mengajukan gugat materil terhadap Pasal 32 huruf c Undang-Undang KPK, ke Mahkamah Konstitusi. Ketika gugatan ini digelar, Bibit dan Candra mengajukan alasan yuridis melalui kuasa hukumnya, kalau keberadaan Pasal 32 huruf c UUKPK justru bisa menjadi legitimasi untuk melakukan pelemahan (baca kriminalisasi) terhadap KPK oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan. Atas dasar inilah, pihak kuasa hukum Bibit dan Candra, meminta kepada pihak MK untuk dipedengarkan cakram rekaman hasil pembicaraan Anggodo dengan beberapa petinggi hukum yang secara substansi mengarah pada upaya kriminalisasi kepada MK.
Secara hukum acara, merujuk Pasal 36 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Nomor 24 Tahun 2003, alat bukti rekaman yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk mendalilkan suatu argumentasi hukum, memang dapat dibenarkan, sebab pasal ini telah mencantumkan kata-kata... “alat bukti ialah antara lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu...”. Juga terdapat kata-kata dalam pasal ini yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam persidangan
Jadi secara normatif, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan sah atau tidaknya alat bukti dalam persidangan. Inilah yang kemudian bisa dibenarkan ucapan Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, bahwa alat bukti rekaman bisa saja relevan dengan untuk mendalilkan terhadap apa yang menjadi argumentasi hukum dalam mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Sebetulnya cukup dengan pasal tersebut, harusnya bisa dipahami oleh semua pihak berperkara, bahwa secara prosedur hukum (baca hukum acara), Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan hukum absolut, untuk menilai semua alat bukti apapun jika dikehendaki oleh Mahkamah Konstitusi, jika itu menurut pendapat majelis hakim konstitusi relevan dengan objek sengketa.
Kedua, betulkah Bibit Slamet Rianto dan Chandra M Hamzah, terlibat dalam pemerasan sejumlah uang terhadap Anggoro Widjojo? Untuk menguak kebenaran hukum ini, memang merupakan ranah tugas dari pihak kepolisian dan kejaksaan. Sebab ini dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana (delik), yang secara prosedur hukum, menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, adalah tugas kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan terjadinya suatu suatu peristiwa pidana.
Dalam konteks hukum acara pidana, mendalilkan seseorang melakukan suatu perbuatan pidana, baik dalam tataran penyelidikan maupun penyidikan, KUHPidana mengatur perlunya sejumlah alat bukti sebagai dalil untuk mengungkap kejelasan dan kebenaran siapa pelaku kejahatan/pelanggaran. Untuk itu, pasal 184 ayat 1 KUHPidana, telah mengatur alat bukti yang dapat digunakan secara sah yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Jika saja kepolisian hendak menjerat Bibit dan Chandra, telah melakukan pemerasan terhadap Anggoro, maka pihak penyidik Polri mestinya juga bisa melakukan verifikasi serta menguji kualitas alat bukti yang dapat membuat terang dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis, bahwa telah terjadi delik (tindak pidana) pemerasan.
Kalau kita menelisik perseteruan KPK versus Kepolisian, terkesan seperti telah terjadi adu kuat, yang bagi masyarakat luas (kalangan publik), terlihat pada permukaan ada upaya untuk saling melakukan kriminalisasi.
Menurut pendapat penulis, dalam perspektif akademis, perseteruan KPK versus Polri merupakan satu keniscayaan dari paradigma hukum dalam kondisi masyarakat pragmatis dimana hukum tidak bisa dilihat dalam spektrum yang normatif an sich. Artinya, postur hukum dalam kondisi demikian tidak tunggal sifatnya, meski hukum merupakan norma yang tertuang dalam teks-teks mati tetapi teks penerjemahannya dalam realitas sosial, ia akan selalu tergantung dari siapa yang berkepentingan. Itulah takdir dari sebuah postur hukum yang pijakan normatifnya lahir dari hasil sebuah kompromi politik dari kelompok elitis, yang implikasinya, kalau isi produk hukum tidak menimbulkan persoalan hukum yang bersifat “debatable” maka barangkali dalam tataran praktis penerapannya bakal menjadi bandul yang bergoyang kearah tergantung pada sudut pandang siapa yang berkepentingan.
Sekali lagi mari kita telisik pada perseteruan KPK versus Kepolisian. Tampaknya arus kuat publik dan kelompok media massa lebih berada pada kubu KPK, ini terlihat dari opini yang berkembang di media massa serta dukungan di dunia maya melalui “facebook” yang berderak mensupport KPK, sementara pihak kepolisian terlanjur diadili sebahagian besar publik dalam posisi pesakitan.
Mengapa itu terjadi? Fenomena semacam ini mungkin bisa dijawab ketika realitas publik sudah semakin muak dengan kondisi penegakan hukum kita yang makin akut dengan prilaku hukum para penegaknya yang masih sering mempermainkan hukum. Apalagi penanganan kasus-kasus korupsi kelas kakap yang tak kujung selesai. Maka klimaksnya, publik kemudian ramai-ramai menghujat lembaga kepolisian sebagai representasi garda terdepan penegakan hukum di negeri ini, yang barangkali menurut persepsi masyarakat turut andil menciptakan borok dalam realitas penegakan hukum saat ini.
Namun menurut penulis, bobroknya sistem peradilan saat ini, kita tidak bisa melihatnya dari sudut pandang menyalahkan lembaga kepolisian semata. Secara fundamental, tampaknya kita seharusnya merekonstruksi wajah sistem hukum kita yang sejak dulu masih terkontaminasi kepentingan-kepentingan pragmatis dan materialistik. Sehingga nilai-nilai hukum tidak lagi dilihat dari sudut pandang yang lebih bisa menjamin keadilan, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum warga masyarakat yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak.
Ketika Hukum Dikendalikan Para Cukong
Oleh: Muh Sjaiful SH MH

Sungguh memalukan! Dunia hukum dan sistem peradilan kita makin tercoreng ketika boroknya terungkap melalui hasil rekaman perbincangan sang cukong hukum, Anggodo Widjojo dengan beberapa pejabat tinggi penegak hukum di negeri ini yang bertujuan untuk mengkriminalisasi atau melakukan pelemahan terhadap KPK. Konon dari hasil rekaman perbincangan yang berhasil disadap KPK, terungkap kalau Anggodo berjanji untuk menggelontorkan segepok uang miliaran rupiah kalau itu bisa dilakukan dengan modus operandi menahan Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah yang sekarang berstatus pimpinan non-aktif KPK. Konon skenario dijalankan pihak kepolisian dengan menahan Bibit dan Chandra. Keduanya disangka melakukan pemerasan ketika menyidik kasus penilepan dana Bank Century.
Terungkapnya aib rekaman mafia hukum tersebut, tampaknya semakin memperbenar asumsi sebahagian besar orang kalau sesungguhnya dunia peradilan kita masih merupakan panggung sandiwara hukum yang di dalamnya berseliweran para cukong hukum yang siap meladeni transaksi hukum. Pada akhirnya hukum tidak mempan bagi para pemilik modal lantaran mereka bisa membeli hukum. Ia hanya ditegakkan bagi orang-orang yang tidak memiliki cukup modal atau kurang memiliki kedekatan dengan pusat-pusat kekuasaan.
Itulah salah satu tanda kehancuran masyarakat, sebagaimana yang disinyalir Baginda Nabi Muhammad SAW, “sesungguhnya kehancuran suatu kaum (baca masyarakat) yaitu ketika kalangan pembesar (baca pemilik modal dan para pemegang kekuasaan) di antara kamu melakukan kejahatan, hukum tidak ditegakkan. Namun bila yang melakukan kejahatan adalah masyarakat bawah (baca kelompok miskin), maka barulah hukum ditegakkan”.
Ulah para cukong hukum di negeri ini tampak ketika mereka berperan menjadi makelar kasus alias markus yang konon bisa memberikan jaminan kepada orang-orang tertentu yang terkait sebuah perkara hukum untuk kebal terhadap hukum asal mau menggelontorkan sejumlah uang tertentu. Kata sang cukong, konon uang tersebut merupakan tip kepada para penegak hukum yang menangani perkaranya.
Seorang pengusaha tambang yang penulis kenal (jangan paksa penulis menyebut siapa namanya karena tidak etis) menceritakan pengalamannya ketika terkait sebuah perkara hukum. Secara jujur ia mengaku pernah dimintai uang sebanyak sepuluh juta, oleh oknum jaksa terkait dengan perkara hukum yang sedang diproses pihak kejaksaan. Ini hanya salah satu contoh, betapa jual beli hukum telah menggurita dalam sistem peradilan kita saat ini.
Sebenarnya, jika kita mau mencermati secara fundamental, fenomena para cukong yang berseliweran dalam dunia peradilan kita, maka problem utamanya adalah pada konfigurasi ideologi hukum yang menyangga sistem peradilan kita saat ini, yang jadi biang kerok carut marutnya dunia peradilan.
Jujur saja, sistem peradilan kita masih disangga oleh ideologi hukum berbasis materialisme yang merupakan anak kandung dari ideologi sekulerisme. Postulat hukum yang lahir dari sistem sekulerisme, selalu menafikan nilai-nilai ilahiah (baca keagamaan) dalam semua komponen hukumnya, maka yang terlihat adalah hukum kadangkala tidak akan mempan kepada para cukong, yang siap membayar agar tidak terjamah hukum.
Berseliwerannya para cukong hukum tidak hanya bergentayangan dalam praktik-praktik kotor mafia peradilan, namun juga merasuk pada saat penggodokan sebuah rancangan peraturan-peraturan hukum tertulis di legislatif. Di sana para cukong akan membayar para legislator agar merancang sebuah produk hukum tertulis yang isi serta muatannya dapat menjaga kepentingan serakah para pemilik modal (kaum kapitalis), meski untuk itu harus menjungkirbalikkan asas-asas dan logika hukum tertulis tertinggi di negeri ini yaitu Konstitusi UUD 1945.
Bisa dicermati dari keberadaan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UUBHP) dan Undang-Undang Sumber Daya Alam (UUSDA), yang muatan dan substansi pasal-pasalnya terkesan meminggirkan peran dan tanggungjawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengelolaan sumber-sumber daya alam. Padahal Konstitusi UUD 1945 sebagai hukum tertulis tertinggi yang disepakati the founding fathers negara ini, telah menetapkan tanggungjawab negara secara penuh untuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam dalam kerangka untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Begitu pula, pendidikan dan pengajaran merupakan hak setiap warga negara untuk memperolehnya, dan negara punya kewajiban untuk menyediakan berbagai akses dan fasilitas pendidikan kepada setiap warga negaranya.
Namun kenyataannya, logika konstitusi tersebut, dijungkirbalikkan dan dipreteli oleh para pemilik modal dengan memperalat para cukong untuk menjadi makelar yang boleh jadi digunakan membeli para legislator yang siap sedia menghasilkan sebuah produk hukum yang isinya tentu saja sebagai legitimasi meminggirkan peran negara beralih ke tangan para pemilik modal dalam mengendalikan semua yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Bahasa yang sering diperhalus untuk menutup kedok kepentingan para pemilik modal, yaitu dengan menggunakan istilah privatisasi dan pasar bebas.
Padahal istilah privatisasi dan pasar bebas merupakan dua istilah yang menghasilkan akibat hukum yang tujuannya sama, yaitu demi kemanfaatan para cukong dan pemilik modal. Rakyat cuma menjadi objek penderita. Karena bagaimanapun, istilah privatisasi dan pasar bebas merupakan istilah yang secara prinsip lahir dari konstruksi berpikir kapitalisme sebagai buah sekulerisme. Dan sangat wajar kalau pada faktanya, privatisasi belum pernah sekalipun memberikan jaminan kesejahteraan rakyat. Malah yang tampak adalah kemiskinan dan penderitaan ekonomi makin menggelayut di pundak rakyat bawah.
Buktinya, tatkala privatisasi pengelolaan tambang emas di Timika Provinsi Papua dialihkan ke perusaahan asing PT Freeport milik Mc Morant di Amerika Serikat, sampai saat ini lebih tiga puluh tahun lamanya, rakyat Papua yang hidup lama di seputaran lokasi penambangan emas tersebut, tetap dirundung derita kemiskinan. Lebih aneh lagi, ada rakyat di wilayah tertentu Papua, menderita busung lapar dan gizi buruk. Padahal hasil penambangan emas dari eksplorasi yang dilakukan PT Freeport, bisa menghasilkan ribuan ton butiran emas. Menurut kalkulasi, harga yang didapat dari ribuan ton butiran emas tersebut, sangat cukup untuk membiayai gratis pendidikan seluruh putra putri bangsa Indonesia sampai ke perguruan tinggi sekalipun.
Menurut penulis, sebetulnya hantu para cukong hukum dan makelar kasus yang sampai hari ini berseliweran dalam sistem hukum dan sistem peradilan bangsa Indonesia, bukanlah terletak pada persoalan degradasi moral personalitas penegak hukum kita.
Bergentayangannya para cukong hukum dan makelar kasus, sebagai suatu fenomena yang sangat menyakitkan hati, sekali lagi bisa dikatakan merupakan akibat dari adanya kelemahan fundamental dari paradigma ideologis yang menyangga sistem hukum kita. Ini pulalah yang menjadi biang kerok tumbuh suburnya para cukong hukum serta makelar kasus yang menambah carut marutnya dunia peradilan di tanah air.
Ditenggarai bahwa sistem hukum bangsa Indonesia berdiri tegak di atas landasan ideologi hukum yang sekuleristik yang kemudian berbuah dihasilkannya nilai-nilai hukum dengan kecenderungan pragmatis dan materialistik. Nilai-nilai hukum demikian itu selalu berada pada tataran kalkulasi siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Terus menerus terjadi perputaran arus perdebatan yang tidak kunjung selesai, terutama soal siapa berbuat zalim dan tidak, serta keadilan itu untuk siapa. Di tengah perdebatan itulah maka para cukong dan makelar kasus sering dipergunakan secara licik dan cerdik oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan pragmatis lebih besar.
Di tengah arus permainan hukum yang dikangkangi oleh para cukong hukum, maka titik nadir penegakan hukum, ditandai dengan makin maraknya jual beli keputusan hukum di Indonesia. Artinya, hukum memang dapat diperjualbelikan. Argumentasi yang penulis kemukakan ini, bukanlah sebuah pernyataan provokatif. Karena terbukti, hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 4-5 November 2009, terhadap 850 responden terpilih yang berdomisili di beberapa kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, Medan, Padang, Banjarmasin, Pontianak, Manado, Makassar, dan Jayapura, dengan tingkat kepercayaan 95%, sungguh mengejutkan, sebanyak 89,9% responden percaya kalau keputusan hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang.
Itulah fakta yang tak terbantahkan kalau hukum kita masih dikangkangi oleh para cukong hukum. Sehingga untuk mengganyang mafia peradilan di Indonesia, mestinya dilakukan dengan merekonstruksi wajah sistem hukum kita yang sejak dulu masih terkontaminasi kepentingan-kepentingan pragmatis dan materialistik. Sehingga nilai-nilai hukum tidak lagi dilihat dari sudut pandang yang lebih bisa menjamin keadilan, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum warga masyarakat yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak.

Dosen Tetap Fakultas Hukum Unhalu juga Pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta

Selasa, 10 Februari 2009

Cerpen Terbaru

Cerpen Muh Sjaiful
Mengaku Jadi Nabi
Matahari sangat terik. Sinaran panasnya seumpama berasal dari lontaran bola api yang menghanguskan jagad raya. Sesosok laki-laki setengah tua, bertubuh jangkung wajah tirus, berdiri angkuh di tengah kerumunan penduduk desa yang bermandikan peluh. Kendati terpanggang di bawah sengat matahari, para penduduk desa itu tetap khidmat mendengar celotehan khotbah laki-laki setengah tua barusan. Ia oleh penduduk desa sering dipanggil Tuan Opu Guru. “Wahai kalian pengikutku, aku adalah laki-laki terbaik di antara kalian yang datang sebagai nabi. Sebagai Imam Mahdi akhir zaman yang dijanjikan. Dalam kitab Taskirah yang tertulis sebagai hasil perenungan suciku bahwa titah Tuhan yang agung telah menoreh ke lidahku. Akulah juga sang nabi. Maka dengarlah kata-kataku”
Penduduk desa semakin terpesona dengan kata-kata Tuan Opu Guru. Seperti sedang menerima setetes air dingin yang jatuh dari tujuh petala langit lalu menyusuri kerongkongan-kerongkongan yang dahaga. Ya...memang mereka penduduk desa itu sedang dahaga akan nilai-nilai spiritual. Jiwa mereka kering bak oase di musim kemarau yang sedang menanti tetes hujan.
Apalagi sejak dirubuhkannya surau desa untuk alasan pengembangan jalan desa. Sebuah alasan yang memang tidak masuk akal. Lantaran untuk kepentingan segepok duit, aparat desa rela berkolaborasi dengan para begundal pihak developer. Meruntuhkan bangunan surau menjadi puing-puing tanpa bekas. Praktis penduduk desa sudah tidak punya tempat sebagai wahana mendengar petuah-petuah kesejukan Islam sebagai mabda.
Fatir, Seorang ustadz muda yang tidak pernah bosan melakukan tasqif kepada penduduk desa, terpaksa harus hengkang. Surau desa sebagai sentrum dakwahnya kepada penduduk sudah tidak berdiri kokoh. Kendati ia sudah mengajukan berbagai argumentasi yang masuk akal supaya surau desa jangan dirubuhkan. Namun aparat desa tidak bergeming. Surau desa tetap harus dirubuhkan. Ustadz Fatir malah dituding menghasut warga untuk melakukan makar dan mengganggu ketertiban desa. Untuk alasan strategi dakwah, ia memilih untuk hengkang dulu dimana suatu saat ia pasti kembali lagi menata dakwah yang sudah dibangunnya selama satu tahun. Ia hengkang bukan karena takut atau sudah bosan berdakwah.
Kedatangan sosok Tuan Opu Guru disambut penduduk desa, terutama yang lemah iman, bak juru selamat yang membawa air kesejukan spiritual. Namun hakikatnya, air yang disangka sejuk itu, ternyata membawa racun yang siap mematikan pohon-pohon keimanan serta aqidah Islam di dalam dada sebahagian penduduk desa yang sejatinya belum berakar kokoh.
“Bacalah kitab Taskirah yang kutulis. Isinya menorehkan sebuah perjalanan spiritual dari hasil pertemuan ruh-ku yang suci dengan Sang Pencipta. Di dalamnya memuat sejumlah kata-kata Tuhan yang tergurat melalui lidahku. Ikutilah titahnya. Maka Murtadlah dan kafirlah orang-orang yang menolak Taskirah-ku itu”. Mulut Tuan Opu Guru terus nyerocos. Kata-kata yang dikeluarkannya sudah menelikung serta merusak kitab suci mulia yang dulunya sering diperdengarkan kepada penduduk desa oleh Ustadz Fatir pada tiap-tiap ba’da magrib atau Isya.
“Maaf Tuan Opu Guru!!!” Salah seorang pemuda krempeng berkulit legam dengan suara bergetar mengacungkan tangan. “Setiap nabi yang diutus Sang Pencipta pasti memiliki mukjizat. Tuan Opu Guru pasti memiliki mukjizat untuk membuktian kenabiannya. Bisakah Tuan Guru menunjukkan mukjizat itu?”
“Ha...ha...ha...”, Suara tawa Tuan Opu Guru menggelak membelah angkasa. Seperti lengkingan tawa iblis yang mengejek orang dungu yang menghamba kebatilan.
Tangan Tuan Opu Guru menengadah ke langit, sejurus di balik tangannya menyembur mirip asap yang membuat kabut putih. Mata penduduk desa jadi nanar lalu terjatuh tak sadarkan diri. Perlahan-lahan suara Tuan Opu Guru yang tadinya menggelegar bak suara iblis, tiba-tiba menghilang. Bersamaan dengan itu, raga Tuan Opu Guru lenyap.
Lima menit bentang waktu, penduduk desa itu siuman. Di hadapan mereka sudah tidak ada lagi Tuan Opu Guru. Tercium bau kemenyan yang menusuk-nusuk hidung. Sebuah keanehan telah dibuat Tuan Opu Guru. Penduduk desa berdecak kagum. Satu per satu kaki mereka menindak bumi hendak meninggalkan tempat.
Sontak Tuan Opu Guru hadir lagi di tengah kerumunan pengikutnya. “Oh...Tuan Opu Guru...!!!” Berbondong penduduk desa yang sudah tersihir kebodohan, mencium tangan Tuan Opu Guru. Sementara sang Tuan Opu Guru yang mengaku nabi tetap berdiri angkuh sembari sudut bibirnya menyungging senyum kefasikan. “Pulanglah kalian...tapi jangan ragukan kenabianku!!!”
Tuan Opu Guru berjalan menyusuri jalan-jalan desa yang bercadas. Di belakangnya menyusul tiga pemuda kekar berwajah sangar, mengiringi langkah-langkah Tuan Opu Guru. Tampaknya tiga pemuda itu, meski berbadan kekar namun tidak sekekar hatinya yang menghamba kepada kebodohan Tuan Opu Guru yang berbohong atas nama Tuhan dengan doktrin mengaku nabi akhir zaman, sang Imam Mahdi penyelamat dunia.
Sekonyong-konyong, seorang anak muda mencegat langkah-langkah Tuan Opu Guru beserta tiga orang pengiring. Baju koko putih anak muda barusan, melambai-lambai lembut tertiup semilir angin desa. Karuan saja, Tuan Opu Guru kaget, tak menyangka kalau ada orang yang begitu kurang ajar mencegat langkahnya. Tiga pemuda pengiring yang telah berbaiat menjadi pengikut setia Tuan Opu Guru, lebih kaget lagi.
“Oh...Fatir rupanya...!!! Bukankah kamu sudah meninggalkan desa ini?” Tiga pemuda pengiring Tuan Opu Guru mendelik.
“Aku masih punya tanggung jawab dakwah di desa ini. Aku sangat bertanggung jawab terhadap akar-akar keimanan yang sudah mulai tercerabut di dada para penduduk desa. Akar keimanan itu kini sedang dicabut oleh orang yang mengaku rasul palsu. Itu sudah pasti menghianati ajaran Allah. Tepatnya, itu adalah makar terhadap titah Allah yang sudah dinisbahkan sejak di Lauh Mahfudz, bahwa Muhammad adalah nabi penutup dan utusannya di akhir zaman, dialah khataman nabiyyin.” Sergah Ustadz Fatir.
“Maka demi Islam yang mengalir dalam urat nadi-ku, aku harus kembali di desa ini untuk melawan kemungkaran yang melumuri kesucian Nabi Muhammad dari setiap kebohongan dan kedustaan. Meskipun aku harus mati karenanya”
Bagai menerima ribuan tusukan anak panah yang menghujam dadanya. Lalu darah Tuan Opu Guru menggelegak panas, didihannya sampai membumbung ke saraf-saraf batok kepala Tuan Opu Guru. Ia marah mendengar kata-kata Ustadz Fatir. Ia sadar sedang dipojokkan sekaligus dituduh sebagai orang yang terlalu nyeleneh menelikung ajaran Tuhan sang Maha Pemilik Semesta.
Yang paling membuat Tuan Opu Guru jengkel dan merasa terhina, lantaran ia sedang merasa didakwa oleh seorang anak muda yang menurutnya masih kemarin sore. Apalagi ucapan anak muda itu tepat menohok tatkala ia sedang berada dalam kawalan pengikut setianya. “Cih!!! Anak muda brengsek!!!” Umpat Tuan Opu Guru dalam hati.
“Anak muda!!! Jadi kedatanganmu adalah untuk mendebatku?” Mata Tuan Opu Guru merah saga, lalu menyusuri raut-raut wajah Ustadz Fatir yang sejak tadi tampak mengumbar senyum sinis, dingin, dan kaku.
“Ketahuilah anak muda. Tuduhanmu sangat keji!!! Tampak kedalaman pemahaman agamamu yang sangat dangkal. Aku sudah memiliki selaksa penafsiran terhadap terhadap ajaran Tuhan yang mulia. Aku bukan menelikung ajaran Tuhan. Kita hanya beda soal penafsiran.” Ucapan Tuan Opu Guru seumpama vonis berupa pembunuhan karakter yang tentu saja bersasar untuk Ustadz Fatir.
“Kamu bukanlah Imam Mahdi yang dijanjikan itu. Tapi kamu adalah salah seorang dari Dajjal Sang Pendusta akhir zaman!!! Kamu nabi palsu, persis sosok Musailamah yang mengaku nabi, yang pernah diperangi oleh salah seorang sahabat paling dicintai Rasulullah, Abu Bakar ash Shiddiq Radhiallahu Anhu!!! Andai Daulah Islam berdiri, maka pasti sudah lama kepalamu menggelinding di tanah oleh pancungan pedang sang Ulil Amri.” Kata-kata Ustadz Fatir makin meranggas. Suara angin semilir dan riuh rendah suara-suara burung rajawali nun di angkasa sana, saling bersahut-sahutan merangkai jadi satu melodi seumpama orkestra kemudian menukik makin mempertegas refrain kata-kata kebenaran yang disampaikan Ustadz Fatir.
“Bertobatlah!!! Bala tentara iblis dan gelombang hawa nafsu sedang mengangkangi ruh kebenaran yang bersemayam di sanubari kalian. Ingatlah!!! Azab Tuhan sangat pedih mengoyak-ngoyak raga kalian. Tuhan tidak akan memaafkan penghinaan kalian terhadap-Nya.”
Tapi sayangnya, kata-kata kebenaran itu sedang ditampik oleh melodi sumbang kebatilan. Tuan Opu Guru bukannya semakin tercerahkan. Ia malah murka. Sepasukan bala tentara iblis terlanjur menggerus kebenaran dalam sanubari Tuan Opu Guru.
“Anak muda!!! Ucapanmu sangat menghina kesejatian atas kenabianku. Tidak pantas ucapanmu kepada diriku sebagai salamullah. Kamu pantas mati sebagai azab dariku.” Amarah Tuan Opu Guru menggelegar seumpama suara api jahannam yang menghanguskan wajah orang-orang munafik.
Tiba-tiba mata Ustadz Fatir jadi nanar, kepulan serbuk-serbuk putih yang menggelontor dari tangan Tuan Opu Guru, merangsek ke lorong-lorong pernapasan Ustadz Fatir. Ia tersesak. Samar-samar terdengar suara gertakan, “Pukul…!!!” Suara amarah Tuan Opu Guru.
Gelaplah pandangan Ustadz Fatir. Tangan-tangan kekar menjambak rambutnya, lalu bertubi-tubi pukulan telak menghujam ke dada, pelipis, rahang dan tengkuknya. Terdengar suara gemeretak tulang rusuk Ustadz Fatir. Darah menggelinang di lorong hidung dan sudut bibir pemuda malang itu. Tapi kala itu batinnya berdesah harap bahwa setidaknya ia bisa mati syahid. Terkulai raga Ustadz Fatir, lalu diseret-seret bagai hewan sembelihan oleh tiga pengiring Tuan Opu Guru.
“Buang raga anak muda ini ke dasar jurang di pinggiran desa!!!” Perintah Tuan Opu Guru.
“Bruuk!!!” Raga Ustadz Fatir, terhempas di dasar jurang yang curam namun tak begitu dalam. Sekonyong-konyong, raga Ustadz Fatir bergerak lamat-lamat. Matahari dengan garang menembakkan sengatan sinarannya ke sekujur tubuh Ustadz Fatir yang mengerang dan menggapai-gapai tepi jurang.
Sudah tujuh pekan Tuan Opu Guru membual kepada para penduduk desa bahwa ia adalah sang juru selamat akhir zaman yang turun dari nirwana. Kendati ia hampir mencapai titik kulminasi sukses, tapi sekelompok anak muda pengusung kebenaran sejati yang hitungannya mencapai dua puluh orang, tidak tinggal diam. Mereka anak muda yang terbekali tsaqofah keislaman yang cukup kuat, tidak seperti orang-orang desa kebanyakan yang rapuh dalam beriman terhadap Islam.
Dua puluh orang itu adalah buah gembelengan dan kaderisasi yang tangguh dari Ustadz Fatir untuk meneruskan cita-cita tegaknya kemuliaan Islam. Memang demikian galibnya, segelap apapun gelinjang kebatilan, namun Tuhan pasti berkenan memelihara cahaya kebenarannya, meski seumpama seberkas cahaya lilin.
Kedua puluh anak muda itu lalu menyusun strategi untuk menghentikan semua kebohongan yang gencar dikampanyekan Tuan Opu Guru. Mereka harus menghentikan kebatilan yang semakin meranggas penduduk desa. “Ajaran orang tua itu harus segera dihentikan. Kalau tidak, bisa-bisa mewabah ke wilayah desa lainnya. Ini adalah kebatilan yang harus diperangi, Allahu Akbar!!!” Pekik salah seorang anak muda penuh semangat.
Lalu kedua puluh anak muda tadi seumpama segerombolan pasukan lebah menuju alun-alun desa, berjalan bershaf-shaf, bertapak tilas untuk menyampaikan kepada kepala desa, bahwa Tuan Opu Guru meski hengkang di desa ini, sebelum racun-racun kebatilan yang ditebarnya terlanjur mewabah secara epidemik di seantero desa.
Kepala desa cuma bersikap acuh tak acuh. Dengan tatapan dingin menemui para pengunjuk rasa, kepala desa berucap…”itu adalah kebebasan berekspresi seseorang. Agama adalah soal keyakinan, soal person. Bukan urusan desa mengintervensi keyakinan seseorang. Desa hanya mengurus soal-soal pemerintahan. Agama bukan urusan desa…”
Salah seorang pengunjuk rasa memekik, “Ulah Opu Guru telah mengganggu ketertiban desa. Melanggar konstitusi desa.”
Yang lain menyahut, “betul!!!... Konstitusi desa ini, mengatur bahwa agama yang sah dianut warga desa adalah yang hanya mengenal satu rasul, yaitu Nabi Muhammad, tidak yang lain. Ini sudah menjadi kontrak politik warga desa. Keyakinan yang dibawa Tuan Opu Guru, jelas-jelas sudah menyimpang konstitusi desa.”
Lalu suara-suara kedua puluh anak muda pengunjuk rasa, memekik alun-alun desa, bersengau-sengau seumpama suara barisan tentara lebah yang berputar-putar. “Bubarkan ajaran sesat Tuan Opu Guru!!! Tuan Opu Guru kafir!!! Tuan Opu Guru murtad!!!” Suara-suara pengunjuk rasa itu makin membahana, berderak alun keras membuat resonansi yang cepat berdetak seumpama suara tari saman tanpa melodi.
Pekak telinga kepala desa. Lalu cepat-cepat beringsut meninggalkan para pengunjuk rasa. Sekonyong-konyong dari kejauhan segerombolan penduduk desa mengepung dua puluh anak muda pengunjuk rasa di alun-alun desa. “Serbuu!!! Seraang!!!” Suara pekik amarah Tuan Opu Guru meraung-raung. Bom-bom Molotov melayang ke udara. Terdengar suara ledakan api bergemuruh. Lalu api merah menyala-nyala nelangsa menjilat-jilat balai ruang alun-alun desa. Nyala api menari-nari semerah saga. Suara-suara pekik histeris dan amarah berbaur jadi satu membahana di angkasa. Beberapa di antara pemuda pengunjuk rasa yang menentang ajaran sesat Tuan Opu Guru pingsan yang lainnya terluka. Mereka dianiaya penduduk desa di bawah komando Tuan Opu Guru.
Beruntung, sepasukan berkuda pamong keamanan desa datang mengamankan kerusuhan di alun-alun desa. Lalu dengan sigap memadamkan lidah api yang sudah menghanguskan hampir lebih separuh gedung balai ruang alun-alun desa.
Tuan Opu Guru ditangkap sebagai otak pembakaran balai ruang desa. Lalu digelendang di hadapan hakim desa untuk diadili sebagai terdakwa.
Kini Tuan Opu Guru didudukkan sebagai terdakwa di hadapan hakim desa. Banyak penduduk desa memadati ruang pengadilan.
“Saudara Musadiq alias Tuan Opu Guru…Saudara disidang atas tuduhan menggerakkan penduduk desa membakar balai ruang di alun-alun desa…” Lalu sang hakim melanjutkan, "di saku baju anda di temukan serbuk bubuk putih jenis obat bius..." Belum sempat hakim desa mengetuk palu sidang. Sekelebat bayangan merangsek pengunjung sidang. Lalu tepat bersetindak di hadapan kursi pesakitan Tuan Opu Guru. Sebilah belati keluar dari balik baju koko lalu dihujamkan ke ulu hati Tuan Opu Guru. Darah muncrat menggenangi lantai ruang pengadilan hakim desa. Tuan Opu Guru merenggang nyawa. Matanya mendelik… kini Tuan Opu Guru sudah tidak bernyawa.
Para pengunjung sidang berteriak histeris. Hakim desa terperangah. Sekelabat bayangan tadi yang menyarangkan belati ke raga Tuan Opu Guru, kini berbalut baju koko yang sobek-sobek. Semak-semak jurang masih tampak melekat. Kakinya agak pincang dan wajah biru lebam. Dialah Ustadz Fatir, tangannya berlumuran darah lalu diacungkan ke udara. Suaranya memekik…”Allahu Akbar!!! Hanya kematianlah yang dapat menghentikan ajaran sesat orang murtad ini!!!”
Makassar, Akhir Desember 2008
Muh Sjaiful SH MH, Dosen Tetap Fakultas Hukum Unhalu

Tulisan Akhir Tahun 2008

Penegakan Hukum yang Masih Tertatih
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Tahun 2008 sudah kita tinggalkan. Ada banyak kenangan penting yang bisa diambil selama 2008, untuk dijadikan sebagai instrospeksi dalam menapak jalan menuju 2009. Pun dibidang penegakan hukum selama 2008, ada banyak catatan penting yang bisa ditoreh, terutama dalam konteks penegakan dan dinamika hukum di Sultra, dimana yang masih mengerucut antara lain pada persoalan korupsi. Kendati, lembaga kejaksaan Sultra sudah berani mengkerangkeng, beberapa pejabat Sultra yang ditenggarai menilep uang negara alias korupsi, semisal Abd Samad cs anggota DPRD Konawe dan Hino Biohanis cs, anggota DPRD Provinsi Sultra. Dan beberapa di antaranya kini sedang masih dalam penyidikan, seperti Mashur Masie Abunawas pada kasus gratifikasi. Tapi persoalan korupsi sejatinya akan masih merupakan geliat hukum yang mewarnai dinamika penegakan hukum di Sultra, hatta memasuki 2009 nanti.
Sebab persoalan korupsi, adalah budaya yang tampaknya secara epidemik masih menjangkiti sebahagian oknum pejabat yang duduk di ranah-ranah kekuasaan. Sehingga kesulitan untuk memberantas korupsi pada 2009 mendatang tetap akan terkendala oleh budaya hukum (legal culture) yang menumbuhsuburkan prilaku korupsi itu sendiri. Analisis penulis secara empirik, budaya hukum yang materialistik serba pragmatis, ditenggarai merupakan muasal yang melahirkan praktik-praktik korupsi yang tidak hanya dalam konteks Sultra tetapi juga dalam konteks hukum nasional kita.
Tahun 2008 lalu, dalam konteks Sultra, juga merupakan tahun yang ditandai oleh masa-masa pergolakan hukum pada level akar rumput. Paling sering adalah aksi massa beberapa elemen masyarakat yang mengepung kantor-kantor kejaksaan untuk menuntut keseriusan lembaga penegak hukum guna menuntaskan kasus-kasus korupsi yang merebak.
Selain itu, aksi anarkisme dan gelombang konflik yang berbuntut bentrok berdarah antara mahasiswa Unhalu dengan aparat kepolisian Sultra, medio penghujung 2008 lalu, juga adalah salah satu di antara pergolakan hukum yang paling menggurat wajah penegakan hukum Sultra.
Dari deskripsi inilah, maka sudah dapat diduga bila teodolit penegakan hukum Sultra akan ditoreh oleh dua titik persoalan, yaitu persoalan korupsi dan penyalahgunaan uang rakyat (negara) yang tak kunjung selesai serta pergolakan hukum pada level akar rumput terhadap pelbagai persoalan hukum yang mengemuka.
Dengan belajar pengalaman wajah penegakan hukum pada 2008 tersebut, serta dengan menggunakan pendekatan analisis menurut teori hukum responsif versi Nonet dengan sedikit perubahan, maka paling tidak 2009 nanti, wajah penegakan hukum Sultra akan ditandai oleh responsi hukum yang berkutat pada dua kutub yaitu kutub akar rumput (massa mengambang), dan kutub penentu kebijakan (the ruling class). Pada kutub penentu kebijakan (the ruling class), masih paling menonjol adalah pada persoalan korupsi yang kemungkinan belum terkuak.
Pada kutub akar rumput, akan ditandai oleh persoalan-persoalan hukum di seputar pemilu legislatif yang bakal dihelat pada 2009 mendatang. Dan sudah dapat diduga apabila persoalan hukum yang menyeruak itu adalah menyangkut gelombang aksi gugatan hukum dari kelompok-kelompok yang merasa tidak puas terhadap hasil perolehan pemilu atau menyangkut mekanisme pemilu yang sedang dijalankan. Boleh jadi juga aroma politik uang dan penggelembungan suara bakal meranggas sebagai persoalan hukum di seputar pemilu 2009 nanti.
Korupsi serta aksi gugatan hukum seputaran pemilu 2009, sekali lagi menjadi persoalan krusial yang membetot wajah penegakan hukum di Wilayah Sultra. Dari dua titik krusial itulah, maka besar kemungkinan, pengaruh politik bakal berkelindan dengan persoalan-persoalan hukum dimaksud.
Karena betapapun, korupsi dan persoalan pemilu merupakan dua persoalan yang tidak pernah terlepas dari pengaruh politik. Dan lazimnya, proses keberlangsungan penegakan hukum, yang tidak pernah senyap oleh benturan kepentingan politik, hukum tak ubahnya menjadi parodi bagi para pialang politik.

Tulisan Saya tentang Israel Sang Penjajah Bangsa Simpanse

Kejahatan Kemanusiaan di Jalur Gaza

Oleh: Muh Sjaiful SH MH

Hari Sabtu tanggal 27 Desember 2008, Jalur Gaza Wilayah Palestina kembali terkoyak oleh bombardir jet-jet tempur milik pasukan Zionis Israel. Menteri Pertahanan Israel, Ehud Barak, berdalih bahwa serangan bombardir tersebut, dimaksudkan sebagai balasan dari serangan roket yang dilancarkan kelompok militan Hamas ke Israel. Tak dinyana bila serangan bombardir Israel ke Jalur Gaza dilakukan secara membabi buta dan sporadis. Tidak satupun yang bisa selamat dari serangan itu. Lebih sepuluh hari serangan bombardir Israel, telah menewaskan lebih 800 jiwa penduduk sipil, di antaranya bayi-bayi dan anak-anak tidak berdosa serta wanita. Sudah tidak terhitung pula ratusan jiwa penduduk sipil yang luka-luka.

Kebiadaban serangan tentara Zionis Israel yang telah memakan korban ratusan ribu jiwa penduduk sipil tak berdosa, tentu merupakan tindakan yang melanggar tata krama dalam pergaulan internasional, sebagaimana yang sudah menjadi konsensus umum (common sense) masyarakat internasional yang termaktub dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Den Haag 1907.

Konvensi Jenewa 1949 sebagai kompromi politik dari negara-negara pemenang perang dunia II, mewajibkan perlindungan secara permanen dan terus-menerus kepada golongan penduduk sipil tertentu dari akibat langsung perbuatan-perbuatan perang seperti pemboman dari udara, penembakan arteleri, termasuk peluru-peluru kendali, dan perbuatan-perbuatan perang lainnya (Pasal 14 Konvensi). Dalam Konvensi Den Haag 1907, juga memberikan larangan bagi pihak militer untuk menyerang penduduk sipil yang tidak turut berperang dimanapun mereka berada.

Pasal 24 Konvensi Jenewa 1949, mewajibkan pihak-pihak berperang untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak sebagai akibat korban perang. Termasuk juga perlindungan terhadap wanita, khususnya menyangkut harkat dan martabatnya itu sendiri (Pasal 27 Konvensi).

Konteks penyerangan Israel di Jalur Gaza dalam sudut pandang Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Den Haag 1907 merupakan sebuah kejahatan perang. Sedangkan dalam konteks Piagam PBB dan Perjanjian Briand Kellog Pact 1929, adalah kejahatan kemanusiaan. Dari sudut pandang normatif inilah, telah menjadi konsensus internasional yang disepakati dalam tata krama pergaulan internasional, bahwa negara-negara tidak diperkenankan melakukan aksi militer yang mengorbankan penduduk sipil tak bersenjata (non-kombatan) dalam situasi apapun. Sehingga tindakan “holocaust” dan “genocide” (pembantaian massal), sekali lagi merupakan kejahatan kemanusiaan. Pelakunya harus diadili di pengadilan internasional.

Namun dalam kasus agresi milter Israel ke Jalur Gaza, kembali seolah menjadi uji efektivitas konvensi internasional yang memberikan perlindungan kepada penduduk sipil. Yang pada faktanya Zionis Israel masih terus menerus melakukan serangan udara milter yang kebanyakan bertitik sasar pada kawasan-kawasan yang dihuni penduduk sipil. Teguran PBB dalam bentuk resolusi agar Israel menghentikan serangan militer yang bertitiksasar kepada warga sipil di Jalur Gaza, dan gelombang kecaman masyarakat internasional kepada pasukan Israel, dianggap angin lalu oleh petinggi Ohed Olmert. Dari sinilah kegamangan Konvensi Jenewa sebagai salah satu instrument hukum internasional yang tampak tidak berdaya pada prilaku brutal tentara Zionis Israel.

Mestinya menurut logika hukum Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Den Haag 1907, PBB tidak sekedar mengeluarkan resolusi gencatan senjata kepada pasukan Israel, tetapi juga menyeret para petinggi militer Israel termasuk PM Ohed Olmert sebagai penjahat kemanusiaan ke Mahkamah Internasional.

Namun problem yuridis yang masih melingkupi Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag, untuk mengeksekusi para petinggi militer Israel dan Ohed Olmert ke pengadilan internasional, yaitu konvensi ini tidak mengatur secara substansial, struktur kelengkapan badan-badan internasional, yang memiliki kekuatan eksekutorial untuk menyeret secara langsung para penjahat kemanusiaan tersebut.

Atas alasan inilah maka John Austin, salah seorang penulis hukum beraliran positivis, memandang hukum internasional pada praktiknya bukanlah hukum dalam arti sebenarnya. Ketidakberdayaan hukum internasional itulah, dengan mengambil contoh kasus penyerangan Israel ke Jalur Gaza, yang kemudian meniscayakan pandangan sebahagian besar masyarakat internasional, bahwa hukum internasional sesungguhnya boleh jadi hanya merupakan mitos. Ia tidak begitu berdaya untuk menghukumi negara-negara pelanggar hukum internasional yang memiliki kepentingan politik begitu kuat.

Kita semua mahfum kalau di Kawasan Jalur Gaza, tidak hanya ada kepentingan Negara Yahudi Israel, tetapi juga ada kepentingan yang sama negara-negara yang menjadi penyokong berdirinya Israel seperti Inggris dan Amerika Serikat, terhadap kawasan Timur Tengah termasuk Jalur Gaza. Inipula yang menjadi alasan mengapa AS sering menggunakan hak vetonya di Dewan keamanan PBB, untuk melempangkan kepentingan Israel di Kawasan Timur Tengah.

Kalau kita merujuk pada kasus agresi militer Israel ke Jalur Gaza, maka sesungguhnya telah terjadi pembenaran mitosisasi hukum internasional. Terbukti PBB sangat tidak berdaya untuk memberikan sanksi hukum kepada Negara Yahudi Israel yang terang-terangan melakukan “holocaust” dan “genocide” kepada penduduk sipil Palestina di Jalur Gaza sebagai sebuah pelanggaran hukum internasional.

Adalah sungguh tidak beralasan untuk menganggap tindakan Israel itu sebagai tindakan “self defense” alias pembelaan diri dari serangan roket yang pernah dilancarkan oleh Hamas, sebagaimana yang didalihkan oleh George W Bush. Karena dalam ketentuan Konvensi Jenewa 1949, disebutkan untuk alasan apapun sangat tidak dibenarkan menjadikan warga sipil tak bersenjata sebagai sasaran militer (Pasal 28 Konvensi Jenewa).

Dan pada faktanya, sasaran militer pasukan Israel, bukan diarahkan pada sasaran-sasaran militer strategis, tetapi justeru diarahkan pada pemukiman-pemukiman sipil, rumah sakit, pusat-pusat pendidikan dan tempat ibadah. Inilah yang menurut ketentuan konvensi sebagai tindakan pembunuhan, pemusnahan, dan penganiayaan yang sangat dilarang. Pelanggaran ketentuan ini dapat disebut sebagai kejahatan kemanusiaan (genocide).

Jadi untuk alasan apapun, serangan militer Israel ke Jalur Gaza yang sudah berjalan lebih sepuluh hari, dengan fakta puluhan ribu warga sipil jadi korban, dalam perspektif Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Den Haag 1907, adalah sebuah pelanggaran kemanusiaan. Namun ironisnya, instrumen hukum kedua konvensi tersebut, ternyata hanya tulisan-tulisan mati yang tak pernah berdaya di hadapan negara Israel. Sehingga apa yang ditesiskan oleh John Austin, bahwa hukum internasional bukanlah hukum yang benar-benar, tampaknya masih relevan digunakan sebagai kerangka teori dalam khasanah kajian hukum saat ini.

Karena dari replika kasus serangan Israel ke Jalur Gaza, meski sudah mendapat kecaman dari masyarakat internasional, Israel toh tetap bebal dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Ehud Olmert dengan angkuh berkata “kami akan tetap melakukan serangan bom ke kawasan Jalur Gaza sampai tujuan menghancurkan pertahanan Hamas tercapai meski untuk itu warga sipil harus jadi tumbal”.

Jadi sesungguhnya, berharap pada hukum internasional untuk menekuk Israel ke luar dari Jalur Gaza, menghentikan serangan militernya, hanyalah mitos. Pandangan Israel selama ini terhadap hukum internasional adalah pandangan ala zionis. Seperti pandangan Ehud Olmert yang merepresentasikan komunitas Yahudi pada umumnya, “international law is not anything but it is for the Jews. Hukum internasional bukanlah apa-apa bila demi untuk kepentingan bangsa Yahudi.

Berdasar argumentasi tersebut, maka masih bisakah kita berharap lagi kepada hukum internasional untuk menyelesaikan persoalan konflik Jalur Gaza yang terus menerus di dera oleh kejahatan kemanusiaan oleh warga komunitas Yahudi di tanah para nabi itu? Atau masih adakah alternatif lain untuk mencari solusi bagi penyelesaian konflik di Jalur Gaza yang tampaknya terus berkepanjangan?