Rabu, 16 Desember 2009

Surga Para Koruptor

KPK vs Kepolisian dan Kebenaran Hukum
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Dosen Fakultas Hukum Unhalu
Boleh dibilang sangat tragis. Dunia penegakan hukum negeri ini bercoreng noda. Gara-garanya, dalam Sidang Mahkamah Konstitusi 3/11 lalu yang menggelar gugatan uji materil Undang-Undang KPK, terungkap konspirasi jahat beberapa petingi hukum yang konon untuk mengkriminalisasi KPK dengan modus menahan dua pimpinan non-aktif KPK, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah melalui tuduhan keduanya terlibat pemerasan. Konspirasi jahat terungkap melalui rekaman percakapan antara Anggodo Widjojo dengan Ong Yuliana Gunawan. Dan sungguh mengejutkan, isi rekaman percakapan yang diperdengarkan hampir seantero negeri melalui siaran televisi yang juga diperdengarkan di hadapan Ketua Mahkamah Konstitusi, Professor Mahfud MD, telah menyeret-nyeret nama Wisnu Subroto (Mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelejen), Abdul Hakim Ritonga (mantan Wakil Jaksa Agung), Komjen Susno Duaji (mantan Kabareskrim Polri), sebagai pihak-pihak yang turut andil dalam upaya mengkriminalisasi KPK.
Rekaman isi percakapan yang membuka borok prilaku petinggi hukum, seolah memperbenar sinyalemen banyak orang, kalau sistem hukum negeri ini masih terjebak mafia peradilan dan cara-cara kotor, terutama berkenaan dengan pengungkapan kasus-kasus hukum, misalnya pada perkara perampokan uang negara alias korupsi, yang menyeret-nyeret nama orang penting di negeri ini.
Ibarat orang yang kebakaran jenggot, heboh rekaman percakapan tersebut, tentu akan banyak pihak yang tersudutkan, apalagi itu sampai melibatkan institusi negara penegak hukum yang malah sampai mencatut lembaga kepresidenan. Meskipun, faktanya pasti ada pihak-pihak yang harus tersudutkan, namun sesungguhnya itu adalah persoalan lain. Tetapi ada satu hal yang memang menjadi prinsip yang harus ditegakkan dalam setiap kasus-kasus hukum yang menguak, yaitu soal kebenaran hukum. Secara dogmatis, kebenaran hukum yang dimaksud adalah kebenaran untuk mengungkap siapa sesungguhnya dianggap terbukti bersalah dalam sebuah kasus hukum serta pertanggunggungjawaban hukum apa yang harus ditanggung oleh pelaku yang terbukti bersalah itu.
Secara akademis, soal mengungkap kebenaran hukum, tentu harus berjalan berdasar tata cara atau prosedur hukum yang secara normatif diberlakukan, yaitu melalui prosedur hukum yang dikenal dengan nama prosedur hukum acara. Baik itu dalam tataran perkara hukum publik maupun perkara hukum privat.
Pada perseteruan KPK versus Kepolisian yang kemudian berbuntut dari penahanan dua pimpinan non-aktif KPK hingga gugatan uji materil Pasal 32 huruf c Undang-Undang KPK ke Mahkamah Konstitusi, maka benang merah dibalik perseteruan itu, sesungguhnya hanya ada 2 (dua) soal kebenaran yang harus dikuak. Pertama: Betulkah ada upaya pihak-pihak tertentu untuk melakukan kiriminalisasi alias pelemahan kepada KPK? Kedua: Betulkah Bibit Slamet Rianto dan Chandra M Hamzah, ditenggarai turut terlibat melakukan pemerasan?
Berkenaan dengan tahapan prosedur hukum yang harus ditempuh dalam kerangka menguak dua soal kebenaran hukum dimaksud, maka ada tahapan krusial yang harus diperhatikan, yaitu yang disebut dengan tahapan pembuktian serta kualitas alat bukti yang diperlukan. Pada bahagian ini, penulis tidak akan berpretensi terlibat terlalu jauh dalam perdebatan hujat menghujat salah satu dari perseteruan cicak versus buaya. Penulis hanya berkehendak menganalisis dasar legitimasi keberadaan alat bukti yang digunakan untuk menguak dua soal kebenaran hukum tersebut.
Pertama, betulkah ada upaya kriminalisasi terhadap institusi KPK? Menguak kebenaran soal ini, Bibit Slamet Rianto dan Chandra M Hamzah telah menempuh prosedur hukum dengan mengajukan gugat materil terhadap Pasal 32 huruf c Undang-Undang KPK, ke Mahkamah Konstitusi. Ketika gugatan ini digelar, Bibit dan Candra mengajukan alasan yuridis melalui kuasa hukumnya, kalau keberadaan Pasal 32 huruf c UUKPK justru bisa menjadi legitimasi untuk melakukan pelemahan (baca kriminalisasi) terhadap KPK oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan. Atas dasar inilah, pihak kuasa hukum Bibit dan Candra, meminta kepada pihak MK untuk dipedengarkan cakram rekaman hasil pembicaraan Anggodo dengan beberapa petinggi hukum yang secara substansi mengarah pada upaya kriminalisasi kepada MK.
Secara hukum acara, merujuk Pasal 36 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Nomor 24 Tahun 2003, alat bukti rekaman yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk mendalilkan suatu argumentasi hukum, memang dapat dibenarkan, sebab pasal ini telah mencantumkan kata-kata... “alat bukti ialah antara lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu...”. Juga terdapat kata-kata dalam pasal ini yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menentukan sah atau tidak sahnya alat bukti dalam persidangan
Jadi secara normatif, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi mengatur kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan sah atau tidaknya alat bukti dalam persidangan. Inilah yang kemudian bisa dibenarkan ucapan Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, bahwa alat bukti rekaman bisa saja relevan dengan untuk mendalilkan terhadap apa yang menjadi argumentasi hukum dalam mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Sebetulnya cukup dengan pasal tersebut, harusnya bisa dipahami oleh semua pihak berperkara, bahwa secara prosedur hukum (baca hukum acara), Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan hukum absolut, untuk menilai semua alat bukti apapun jika dikehendaki oleh Mahkamah Konstitusi, jika itu menurut pendapat majelis hakim konstitusi relevan dengan objek sengketa.
Kedua, betulkah Bibit Slamet Rianto dan Chandra M Hamzah, terlibat dalam pemerasan sejumlah uang terhadap Anggoro Widjojo? Untuk menguak kebenaran hukum ini, memang merupakan ranah tugas dari pihak kepolisian dan kejaksaan. Sebab ini dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana (delik), yang secara prosedur hukum, menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, adalah tugas kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan terjadinya suatu suatu peristiwa pidana.
Dalam konteks hukum acara pidana, mendalilkan seseorang melakukan suatu perbuatan pidana, baik dalam tataran penyelidikan maupun penyidikan, KUHPidana mengatur perlunya sejumlah alat bukti sebagai dalil untuk mengungkap kejelasan dan kebenaran siapa pelaku kejahatan/pelanggaran. Untuk itu, pasal 184 ayat 1 KUHPidana, telah mengatur alat bukti yang dapat digunakan secara sah yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Jika saja kepolisian hendak menjerat Bibit dan Chandra, telah melakukan pemerasan terhadap Anggoro, maka pihak penyidik Polri mestinya juga bisa melakukan verifikasi serta menguji kualitas alat bukti yang dapat membuat terang dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis, bahwa telah terjadi delik (tindak pidana) pemerasan.
Kalau kita menelisik perseteruan KPK versus Kepolisian, terkesan seperti telah terjadi adu kuat, yang bagi masyarakat luas (kalangan publik), terlihat pada permukaan ada upaya untuk saling melakukan kriminalisasi.
Menurut pendapat penulis, dalam perspektif akademis, perseteruan KPK versus Polri merupakan satu keniscayaan dari paradigma hukum dalam kondisi masyarakat pragmatis dimana hukum tidak bisa dilihat dalam spektrum yang normatif an sich. Artinya, postur hukum dalam kondisi demikian tidak tunggal sifatnya, meski hukum merupakan norma yang tertuang dalam teks-teks mati tetapi teks penerjemahannya dalam realitas sosial, ia akan selalu tergantung dari siapa yang berkepentingan. Itulah takdir dari sebuah postur hukum yang pijakan normatifnya lahir dari hasil sebuah kompromi politik dari kelompok elitis, yang implikasinya, kalau isi produk hukum tidak menimbulkan persoalan hukum yang bersifat “debatable” maka barangkali dalam tataran praktis penerapannya bakal menjadi bandul yang bergoyang kearah tergantung pada sudut pandang siapa yang berkepentingan.
Sekali lagi mari kita telisik pada perseteruan KPK versus Kepolisian. Tampaknya arus kuat publik dan kelompok media massa lebih berada pada kubu KPK, ini terlihat dari opini yang berkembang di media massa serta dukungan di dunia maya melalui “facebook” yang berderak mensupport KPK, sementara pihak kepolisian terlanjur diadili sebahagian besar publik dalam posisi pesakitan.
Mengapa itu terjadi? Fenomena semacam ini mungkin bisa dijawab ketika realitas publik sudah semakin muak dengan kondisi penegakan hukum kita yang makin akut dengan prilaku hukum para penegaknya yang masih sering mempermainkan hukum. Apalagi penanganan kasus-kasus korupsi kelas kakap yang tak kujung selesai. Maka klimaksnya, publik kemudian ramai-ramai menghujat lembaga kepolisian sebagai representasi garda terdepan penegakan hukum di negeri ini, yang barangkali menurut persepsi masyarakat turut andil menciptakan borok dalam realitas penegakan hukum saat ini.
Namun menurut penulis, bobroknya sistem peradilan saat ini, kita tidak bisa melihatnya dari sudut pandang menyalahkan lembaga kepolisian semata. Secara fundamental, tampaknya kita seharusnya merekonstruksi wajah sistem hukum kita yang sejak dulu masih terkontaminasi kepentingan-kepentingan pragmatis dan materialistik. Sehingga nilai-nilai hukum tidak lagi dilihat dari sudut pandang yang lebih bisa menjamin keadilan, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum warga masyarakat yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak.
Ketika Hukum Dikendalikan Para Cukong
Oleh: Muh Sjaiful SH MH

Sungguh memalukan! Dunia hukum dan sistem peradilan kita makin tercoreng ketika boroknya terungkap melalui hasil rekaman perbincangan sang cukong hukum, Anggodo Widjojo dengan beberapa pejabat tinggi penegak hukum di negeri ini yang bertujuan untuk mengkriminalisasi atau melakukan pelemahan terhadap KPK. Konon dari hasil rekaman perbincangan yang berhasil disadap KPK, terungkap kalau Anggodo berjanji untuk menggelontorkan segepok uang miliaran rupiah kalau itu bisa dilakukan dengan modus operandi menahan Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah yang sekarang berstatus pimpinan non-aktif KPK. Konon skenario dijalankan pihak kepolisian dengan menahan Bibit dan Chandra. Keduanya disangka melakukan pemerasan ketika menyidik kasus penilepan dana Bank Century.
Terungkapnya aib rekaman mafia hukum tersebut, tampaknya semakin memperbenar asumsi sebahagian besar orang kalau sesungguhnya dunia peradilan kita masih merupakan panggung sandiwara hukum yang di dalamnya berseliweran para cukong hukum yang siap meladeni transaksi hukum. Pada akhirnya hukum tidak mempan bagi para pemilik modal lantaran mereka bisa membeli hukum. Ia hanya ditegakkan bagi orang-orang yang tidak memiliki cukup modal atau kurang memiliki kedekatan dengan pusat-pusat kekuasaan.
Itulah salah satu tanda kehancuran masyarakat, sebagaimana yang disinyalir Baginda Nabi Muhammad SAW, “sesungguhnya kehancuran suatu kaum (baca masyarakat) yaitu ketika kalangan pembesar (baca pemilik modal dan para pemegang kekuasaan) di antara kamu melakukan kejahatan, hukum tidak ditegakkan. Namun bila yang melakukan kejahatan adalah masyarakat bawah (baca kelompok miskin), maka barulah hukum ditegakkan”.
Ulah para cukong hukum di negeri ini tampak ketika mereka berperan menjadi makelar kasus alias markus yang konon bisa memberikan jaminan kepada orang-orang tertentu yang terkait sebuah perkara hukum untuk kebal terhadap hukum asal mau menggelontorkan sejumlah uang tertentu. Kata sang cukong, konon uang tersebut merupakan tip kepada para penegak hukum yang menangani perkaranya.
Seorang pengusaha tambang yang penulis kenal (jangan paksa penulis menyebut siapa namanya karena tidak etis) menceritakan pengalamannya ketika terkait sebuah perkara hukum. Secara jujur ia mengaku pernah dimintai uang sebanyak sepuluh juta, oleh oknum jaksa terkait dengan perkara hukum yang sedang diproses pihak kejaksaan. Ini hanya salah satu contoh, betapa jual beli hukum telah menggurita dalam sistem peradilan kita saat ini.
Sebenarnya, jika kita mau mencermati secara fundamental, fenomena para cukong yang berseliweran dalam dunia peradilan kita, maka problem utamanya adalah pada konfigurasi ideologi hukum yang menyangga sistem peradilan kita saat ini, yang jadi biang kerok carut marutnya dunia peradilan.
Jujur saja, sistem peradilan kita masih disangga oleh ideologi hukum berbasis materialisme yang merupakan anak kandung dari ideologi sekulerisme. Postulat hukum yang lahir dari sistem sekulerisme, selalu menafikan nilai-nilai ilahiah (baca keagamaan) dalam semua komponen hukumnya, maka yang terlihat adalah hukum kadangkala tidak akan mempan kepada para cukong, yang siap membayar agar tidak terjamah hukum.
Berseliwerannya para cukong hukum tidak hanya bergentayangan dalam praktik-praktik kotor mafia peradilan, namun juga merasuk pada saat penggodokan sebuah rancangan peraturan-peraturan hukum tertulis di legislatif. Di sana para cukong akan membayar para legislator agar merancang sebuah produk hukum tertulis yang isi serta muatannya dapat menjaga kepentingan serakah para pemilik modal (kaum kapitalis), meski untuk itu harus menjungkirbalikkan asas-asas dan logika hukum tertulis tertinggi di negeri ini yaitu Konstitusi UUD 1945.
Bisa dicermati dari keberadaan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UUBHP) dan Undang-Undang Sumber Daya Alam (UUSDA), yang muatan dan substansi pasal-pasalnya terkesan meminggirkan peran dan tanggungjawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengelolaan sumber-sumber daya alam. Padahal Konstitusi UUD 1945 sebagai hukum tertulis tertinggi yang disepakati the founding fathers negara ini, telah menetapkan tanggungjawab negara secara penuh untuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam dalam kerangka untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Begitu pula, pendidikan dan pengajaran merupakan hak setiap warga negara untuk memperolehnya, dan negara punya kewajiban untuk menyediakan berbagai akses dan fasilitas pendidikan kepada setiap warga negaranya.
Namun kenyataannya, logika konstitusi tersebut, dijungkirbalikkan dan dipreteli oleh para pemilik modal dengan memperalat para cukong untuk menjadi makelar yang boleh jadi digunakan membeli para legislator yang siap sedia menghasilkan sebuah produk hukum yang isinya tentu saja sebagai legitimasi meminggirkan peran negara beralih ke tangan para pemilik modal dalam mengendalikan semua yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Bahasa yang sering diperhalus untuk menutup kedok kepentingan para pemilik modal, yaitu dengan menggunakan istilah privatisasi dan pasar bebas.
Padahal istilah privatisasi dan pasar bebas merupakan dua istilah yang menghasilkan akibat hukum yang tujuannya sama, yaitu demi kemanfaatan para cukong dan pemilik modal. Rakyat cuma menjadi objek penderita. Karena bagaimanapun, istilah privatisasi dan pasar bebas merupakan istilah yang secara prinsip lahir dari konstruksi berpikir kapitalisme sebagai buah sekulerisme. Dan sangat wajar kalau pada faktanya, privatisasi belum pernah sekalipun memberikan jaminan kesejahteraan rakyat. Malah yang tampak adalah kemiskinan dan penderitaan ekonomi makin menggelayut di pundak rakyat bawah.
Buktinya, tatkala privatisasi pengelolaan tambang emas di Timika Provinsi Papua dialihkan ke perusaahan asing PT Freeport milik Mc Morant di Amerika Serikat, sampai saat ini lebih tiga puluh tahun lamanya, rakyat Papua yang hidup lama di seputaran lokasi penambangan emas tersebut, tetap dirundung derita kemiskinan. Lebih aneh lagi, ada rakyat di wilayah tertentu Papua, menderita busung lapar dan gizi buruk. Padahal hasil penambangan emas dari eksplorasi yang dilakukan PT Freeport, bisa menghasilkan ribuan ton butiran emas. Menurut kalkulasi, harga yang didapat dari ribuan ton butiran emas tersebut, sangat cukup untuk membiayai gratis pendidikan seluruh putra putri bangsa Indonesia sampai ke perguruan tinggi sekalipun.
Menurut penulis, sebetulnya hantu para cukong hukum dan makelar kasus yang sampai hari ini berseliweran dalam sistem hukum dan sistem peradilan bangsa Indonesia, bukanlah terletak pada persoalan degradasi moral personalitas penegak hukum kita.
Bergentayangannya para cukong hukum dan makelar kasus, sebagai suatu fenomena yang sangat menyakitkan hati, sekali lagi bisa dikatakan merupakan akibat dari adanya kelemahan fundamental dari paradigma ideologis yang menyangga sistem hukum kita. Ini pulalah yang menjadi biang kerok tumbuh suburnya para cukong hukum serta makelar kasus yang menambah carut marutnya dunia peradilan di tanah air.
Ditenggarai bahwa sistem hukum bangsa Indonesia berdiri tegak di atas landasan ideologi hukum yang sekuleristik yang kemudian berbuah dihasilkannya nilai-nilai hukum dengan kecenderungan pragmatis dan materialistik. Nilai-nilai hukum demikian itu selalu berada pada tataran kalkulasi siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Terus menerus terjadi perputaran arus perdebatan yang tidak kunjung selesai, terutama soal siapa berbuat zalim dan tidak, serta keadilan itu untuk siapa. Di tengah perdebatan itulah maka para cukong dan makelar kasus sering dipergunakan secara licik dan cerdik oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan pragmatis lebih besar.
Di tengah arus permainan hukum yang dikangkangi oleh para cukong hukum, maka titik nadir penegakan hukum, ditandai dengan makin maraknya jual beli keputusan hukum di Indonesia. Artinya, hukum memang dapat diperjualbelikan. Argumentasi yang penulis kemukakan ini, bukanlah sebuah pernyataan provokatif. Karena terbukti, hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 4-5 November 2009, terhadap 850 responden terpilih yang berdomisili di beberapa kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, Medan, Padang, Banjarmasin, Pontianak, Manado, Makassar, dan Jayapura, dengan tingkat kepercayaan 95%, sungguh mengejutkan, sebanyak 89,9% responden percaya kalau keputusan hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang.
Itulah fakta yang tak terbantahkan kalau hukum kita masih dikangkangi oleh para cukong hukum. Sehingga untuk mengganyang mafia peradilan di Indonesia, mestinya dilakukan dengan merekonstruksi wajah sistem hukum kita yang sejak dulu masih terkontaminasi kepentingan-kepentingan pragmatis dan materialistik. Sehingga nilai-nilai hukum tidak lagi dilihat dari sudut pandang yang lebih bisa menjamin keadilan, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum warga masyarakat yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak.

Dosen Tetap Fakultas Hukum Unhalu juga Pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta