Selasa, 19 Juni 2012

Kepergian Professor Achmad Ali, Sang Realis Hukum Oleh: Muh Sjaiful SH MH Dosen Fakultas Hukum Unhalu Kemarin dulu Minggu 17 Juni, saya dikejutkan sebuah berita dari seorang teman yang kini sedang menempuh Program Doktor Hukum di Universitas Hasanuddin, melalui ponsel, teman saya itu mengatakan bahwa Professor Achmad Ali, Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, telah berpulang kerahmatullah, sekitar pukul 9.15 WIT di Makassar. Saya yang pernah menempuh pendidikan hukum di Universitas Hasanuddin, mulai strata satu (S1), sarjana hukum, sampai strata dua (S2), magister hukum, memang cukup akrab dengan pemikiran-pemikiran hukum almarhum, baik melalui beberapa perkuliahan yang saya ikuti maupun lewat tulisan-tulisan almarhum yang dipublikasikan dalam bentuk buku serta artikel tingkat regional maupun nasional. Salah satu pemikiran hukum almarhum yang membuat saya terkesan yaitu pemikiran tentang konstruksi hukum nasional Indonesia yang semestinya mentransformasikan nilai-nilai relijiusitas, karena menurut almarhum, masyarakat bangsa ini adalah mayoritas memegang teguh keyakinan relijiusitas. Lantas almarhum juga pernah mengkritik pedas konstruksi hukum nasional kita yang masih mengadopsi hukum barat yang sekuler, seperti yang tampak dari produk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai produk warisan Kolonial Belanda, yang hingga saat ini masih berlaku. Menurut almarhum, kontur sekulerisme KUHPidana kita tampak antara lain dari pemuatan perbuatan zinah dalam Pasal 284 KUHPidana, yang menetapkan bahwa zinah (overspel) sebagai perbuatan pidana jika salah satu pasangan yang melakukan hubungan seksual secara tidak sah, telah terikat perkawinan sah dengan orang lain. Kata Almarhum Prof AA, begitu sapaan kepada beliau semasa hidupnya, kultur hukum masyarakat bangsa ini yang mayoritas muslim, tetap memandang hubungan seksual yang tidak sah antara laki-laki dengan perempuan, baik terikat perkawinan dengan orang lain maupun tidak, tetap dipandang sebagai perbuatan kriminal atau kejahatan. Disinilah titik krusial KUHPidana produk warisan Kolonial Belanda yang sudah tidak relevan dengan kultur hukum masyarakat Indonesia yang relijius. Sehingga secara sosiologis, kata almarhum, sesuai cita rasa dan nilai-nilai hukum sebagai hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat bangsa ini, sangat rasional bila konfigurasi hukum bangsa ini mentrasformasikan secara formal nilai-nilai hukum yang mengedepankan relijiusitas. Satu lagi pemikiran hukum almarhum, adalah menyangkut keterpurukan hukum negeri ini yang masih menjadi fenomena yang menghadang. Pada akhirnya semakin menggerus perasaan keadilan bagi para pencari kebenaran hukum. Menurut almarhum, salah satu soalnya adalah masih bersarangnya para penegak hukum bermental keropos. Para penegak hukum demikian, sejatinya merupakan “sapu-sapu kotor” (the dirty sweeps) yang bercokol di lembaga-lembaga peradilan serta lembaga penegakan hukum lainnya. Ketika mencermati realitas sosial keterpurukan penegakan hukum negeri ini yang ditenggarai mangkraknya aparat hukum berlabel sapu-sapu kotor, sebagaimana menjadi kegalauan almarhum, barangkali juga ia sebagai guru besar hukum, tidak hanya melihatnya sebagai persoalan personalitas tetapi lebih kepada persoalan yang lebih sistemik yang mengemuka sebagai sebuah realitas sosial. Persoalan sistemik yang ia maksud adalah kegandrungan pemikiran liberal serta materialistik yang masih mengkooptasi sebahagian besar pemikiran bangsa ini yang tentu berekses kepada cara berpikir para aparat hukum bangsa ini kepada kecenderungan materialistik. Almarhum Professor Achmad Ali, yang pernah dicalonkan Jaksa Agung RI semasa Presiden Megawati Soekarno Putri, menurut pendapat penulis, adalah seorang realis hukum. Sebab konsentrasi pemikiran hukumnya lebih mengelaborasi kepada hukum dalam perspektif sosiologis. Yaitu pemikiran hukum yang mencermati hukum dalam tataran prilaku masyarakat serta faktor-faktor sosial lainnya yang mempengaruhi penegakan hukum terutama dalam konteks masyarakat Indonesia. Konsistensi almarhum sebagai seorang realis hukum begitu kukuh, sehingga tatkala menjadi anggota Komnas HAM RI periode 2001-2007, ia begitu getol menyuarakan perang terhadap korupsi, yang menurutnya baik secara langsung maupun tidak langsung, korupsi adalah malapetaka terbesar negeri ini yang sama bahayanya dengan penyalahgunaan narkoba. Saking getolnya almarhum semasa hidupnya menyatakan perang terhadap korupsi, ia pernah mengusulkan hukuman mati bagi para koruptor kelas kakap. Suatu ketika almarhum pernah ditanya tentang hukum pidana Islam oleh salah satu tabloid mingguan nasional, almarhum serta merta menyatakan respektasinya yang tinggi kepada sanksi pidana dalam hukum Islam, sebab menurutnya ketegasan dan kekerasan sanksi dalam hukum pidana Islam, seperti para pencuri dipotong tangannya atau para koruptor kelas kakap yang harus dibuang jauh alias diasingkan ke suatu tempat tertentu, sangat menjamin keampuhan hukum serta membuat jera bagi setiap para pelanggar hukum. Demikian beberapa pemikiran sang realis hukum yang telah pergi meninggalkan dunia ini, dalam usia 59 tahun lebih, ia pergi untuk menghadap Sang Khalik Pencipta semesta alam. Menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Pendidikan Makassar, ia terkena penyakit diabetes yang sudah lama dideritanya. Almarhum Professor Achmad Ali, semasa hidupnya sangat bersahaja dengan kehidupan yang sederhana, seingat saya ia tidak punya harta melimpah, konon mobil pun yang ia miliki hanyalah mobil dinas dekan ketika menjabat dekan Fakultas Hukum Unhas selama dua periode. Selepas menjabat dekan, ia tidak punya mobil lagi. Kata orang dekatnya, almarhum hanya meninggalkan rumah sederhana yang terletak di Kompleks Perumahan Dosen Unhas, serta sebidang tanah 1 hektar yang dihibahkan rektor Unhas kepada almarhum. Konon tanah tersebut dibiarkan begitu saja lantaran almarhum tidak punya cukup uang untuk memagarinya serta membeli bibit tanaman untuk diolah. Tampaknya Almarhum Professor Achmad Ali, begitu menikmati sebagai seorang idealis dan ilmuwan hukum, Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rojiun. (*)

Jumat, 03 Februari 2012

CATATAN HUKUM

Ruang Rapat DPR 20 M
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Anggota DPR RI yang duduk di panitia anggaran, sekali lagi harus menghadapi hujatan dari masyarakat Indonesia, terkait dengan pengerjaan rehabilitas ruang rapat DPR RI yang bertengger pada angka 20 miliar rupiah. Angka tersebut, memang boleh dibilang sangat fantastis, di tengah kondisi rakyat bangsa ini yang sedang diterpa himpitan ekonomi yang cukup akut, yang ditandai dengan angka kemiskinan cukup tinggi termasuk sulitnya mencari lapangan kerja bagi jutaan angkatan kerja di negeri ini.
Pengrehaban ruang rapat DPR dengan angka anggaran 20 M, memang patut mencurigakan, sebab aroma korupsi bisa terendus dengan mendasarkan pada logika bahwa barangkali anggaran sebanyak itu sangat mubasir digunakan untuk sekedar rehabilitasi ruang rapat.
Mungkin bagi Marzuki Alie, bisa berkelit dengan dalih tidak mengetahui secara persis teknis rincian kucuran anggaran yang lumayan besar itu. Artinya, Marzuki Ali akan melempar tanggungjawab, bahwa teknis anggaran yang dikucurkan untuk kebutuhan DPR, merupakan tanggung jawab pihak sekretaris jenderal yang menangani kebutuhan anggaran rumah tangga DPR, bukan tangung jawab dia yang hanya berkompeten pada persoalan kebijakan politik.
Menarik benang merah untuk menjerat pelaku korupsi dibalik penggunaan anggaran 20 M rehab ruang rapat DPR, memang harus dilakukan secara cermat dan hati-hati. Tetapi sebenarnya tidak begitu sulit. Paling tidak ada pihak-pihak tertentu, yang menurut logika berpikir hukum, bisa ditarik pertanggungjawabannya secara hukum.
Dalam ilmu hukum yang dipelajari sekarang, dikenal teori kesalahan yang disebut “vicarious strict liability”, menurut teori ini, seseorang dapat disebut melakukan kesalahan atau perbuatan pidana, meskipun ia tidak terlibat secara langsung dalam suatu perbuatan yang menyebabkan timbulnya kesalahan tersebut. Kerangka teori ini menjelaskan bahwa seseorang dianggap melakukan kesalahan apabila ia memiliki keterkaitan erat dengan lahirnya perbuatan tersebut.
Dengan menggunakan kerangka teori tersebut, beberapa anggota DPR yang terlibat dalam rapat anggaran penggelontoran dana 20 M untuk pengalokasian rehabilitasi ruang rapat DPR RI, mungkin saja dapat dijerat sebagai pihak yang turut serta bertanggungjawab. Alur berpikirnya, dana 20 M yang digelontorkan, tentu saja sudah melalui mekanisme kebijakan politik anggaran yang disepakati bersama dalam rapat anggaran.
Artinya, pihak-pihak seperti Marzuki Alie, Ketua DPR penentu otoritas kebijakan politik tertinggi di parlemen serta Pius Lustrilanang sebagai Wakil Ketua Anggaran Rumah Tangga dan Perlengkapan DPR RI yang mengeksekusi anggaran, lalu diteruskan secara operasional penggunaan dananya oleh Sekretariat Jendral, tentu saja mereka dianggap tahu tentang penggelontoran dana dimaksud.
Bisa saja Marzuki Alie dan Pius Lustrilanang berkilah, tapi yang harus dipahami bahwa penggunaan anggaran yang sumbernya dari keuangan negara tidak bisa serta merta dibahasakan secara simplikatif bahwa status legislatif hanya untuk urusan politik. Kita tidak boleh lupa kalau lembaga DPR merupakan salah satu lembaga publik yang dalam sistem ketatanegaraan kita juga memiliki tanggung jawab hukum administratif.
Disini saya hendak menjelaskan bahwa ketika para wakil rakyat yang tengah bekerja dalam status sebagai anggota legislatif dalam kerangka tugas yang berkenaan dengan tetek bengek kenegaraan, tidak bisa dikatakan mereka memiliki imunitas hukum atau bekerja dalam koridor yang tidak bisa tersentuh oleh hukum. Jadi ketika Marzuki Alie dan Pius Lustrilanang, dan para anggota DPR yang lain, menggodok uang bancakan 20 M untuk kepentingan rehabilitas ruang rapat DPR RI, keduanya sudah dapat dipandang melakukan kewenangan dalam tataran publik yang harus dimintakan pertanggungjawaban hukumnya secara administratif. Karena sudah jelas anggaran 20 M berasal dari keuangan negara yang penggunaannya berkaitan erat dengan penyelenggaraan publik. Dari sisi pertanggujawaban hukum secara administratif, Marzuki Alie, Pius Lustrilanang, serta siapa saja anggota DPR yang terlibat dalam kesepakatan penggunaan anggaran, dapat dianggap bertanggung jawab. Ini dari sisi hukum administrasi.
Lantas dimana letak pertanggungjawaban pidana untuk menempatkan kerangka penggunaan dana 20 M yang di dalamnya terindikasi penyalahgunaan keuangan negara? Yang pertama harus digeledah, perlu dicari pembuktian dengan melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan yang bekerja secara independen dan objektif, guna memastikan proporsionalitas serta rasionalitas penggunaan anggaran 20 M. Artinya, ada tim audit keuangan independen semisal BPK, yang ditunjuk guna memastikan ada tidaknya mark up anggaran rehabilitasi ruang rapat DPR RI.
Bila laporan keuangan BPK dapat membuktikan secara sah dan meyakinkan tentang terdapatnya mark up anggaran rehabilitasi gedung DPR RI, maka berpegang pada teori “vicarious strict liability”, dapat dikatakan terdapat unsur pidana dalam penggunaan anggaran 20 M, yang siapapun harus bertanggung jawab secara renteng terhadap penyalahgunaan anggarannya.
Konsep “vicarious strict liability”, adalah teori kepidanaan yang menetapkan tanggung jawab kesalahan yang harus dibebankan kepada siapa saja yang dianggap tahu dan berada pada siklus terjadinya suatu perbuatan. Sederhananya untuk memahami konsep ini adalah sebagai berikut: Seorang pencuri ketika sedang mengendap-endap memasuki sebuah rumah, kemudian para petugas ronda malam, mengetahui ada pencuri dan tidak berusaha untuk menelpon polisi atau membekap sang pencuri, namun masih asyik main gaple, maka menurut konsep “vicarious strict liability”, para petugas ronda dianggap turut membantu kejahatan pencurian.
Celotehan Marzuki Alie yang berniat melaporkan ke KPK bahwa pemalakan anggaran 20 M murni tanggung jawab Sekretariat Jenderal yang dipandang tahu tentang teknis penggunaan anggaran rumah tangga, maka yang jadi persoalan yaitu Marzuki Alie cs juga termasuk pihak yang meneken hasil rapat porsi anggaran yang digunakan untuk keperluan rehabilitasi gedung DPR. Logikanya, Ketua DPR dan Panitia Anggaran yang meneken hasil rapat penggunaan uang negara, memiliki otoritas kewenangan administratif berapa pagu anggaran yang harus dikeluarkan. Sangat mustahil kalau rapat anggaran hanya membicarakan penggunaan anggaran secara umum tanpa ada detil perincian anggaran, sebab ini menyangkut penggunaan anggaran negara yang peruntukannya adalah untuk kepentingan fasilitas publik.
Beda ceritanya, seandainya dalam rapat anggaran diputuskan penggunaan anggaran sebesar 1 miliar tetapi realisasi anggaran melebihi 1 miliar atau katakanlah menembus angka 20 M, maka tentu saja Marzuki Alie bisa lolos dari jeratan hukum. Yang menanggung kesalahan tersebut adalah pihak pelaksana proyek, taruhlah misalnya dalam hal ini pihak sekretariat jenderal.
Namun persoalannya, mungkinkah seorang Marzuki Alie dan Pius Lustrilanang, tidak tahu menahu penggunaan anggaran 20 M, yang luar biasa banyaknya itu? Karena dalam teknis pencairan anggaran dalam sistem keuangan negara kita, sepengetahuan saya, bahwa dana untuk proyek-proyek strategis, hanya bisa cair apabila sudah ada tanda tangan persetujuan dari pemegang otoritas tertinggi dari suatu lembaga atau institusi.
Apakah mungkin, Marzuki Alie selaku pemegang kuasa anggaran, menutup mata menandatangani persetujuan kucuran dana 20 M yang akan digelontorkan? Atau pertanyaannya begini. Apakah pihak sekretariat jenderal begitu berani memalsukan tanda tangan Marzuki Alie? Tidak ada yang tahu pasti. Hanya Tuhan dan Marzuki Alie yang tahu.

Masih tentang Korupsi

Problematika Pemberantasan Korupsi
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Dosen Fakultas Hukum Unhalu
Ketika Dr Fachmi SH MH, menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sultra, ia langsung membuat gebrakan. Beberapa pejabat dan mantan pejabat Sultra langsung dikerangkeng, atas dugaan tindak pidana korupsi. Malah Kajati Sultra yang baru itu, berencana mengkerangkeng sejumlah kepala daerah di Sultra yang selama ini ditenggarai menguras uang rakyat dan konon merasa aman dari sentuhan hukum. Tak tanggung-tanggung juga, Haekal seorang anak bupati harus menerima nasib dijerat tindak pidana korupsi oleh sang Kajati baru.
Kini sejumlah idealis hukum serta kalangan pejuang hukum di daerah ini, menanti gebrakan dari sang Kajati baru. Mungkinkah gebrakan pemberantasan korupsi yang ditabuh sang Kajati, bisa membawa pencerahan keadilan bagi masyarakat yang sudah lama mengimpikan Sultra bebas korupsi, ataukah justru sebaliknya, gagasan pemberantasan korupsi hanya mengulang lagu lama, yaitu sekadar nyanyian penggembira seorang penegak hukum, yang mungkin karena hanya untuk mengejar target. Karena faktanya, gebrakan pemberantasan korupsi yang ditabuh para Kajati Sultra terdahulu mulai semasa Antasari Azhar sampai Timbang Hutahuruk, tampaknya harus macet. Kabarnyapun jadi tenggelam, seiring dengan berjalannya waktu.
Sultra yang selama ini seolah menjadi “suratan takdir” sebagai daerah yang tergerus oleh kasus-kasus korupsi, tampak bahwa penanganan korupsi di daerah ini sudah terlalu jelimet dan ibarat lingkaran setan, selama beberapa kali pergantian Kajati, penanganan kasus-kasus korupsi sepertinya tak pernah tuntas alias beberapa di antaranya terpaksa macet di tengah jalan.
Tidak tuntasnya beberapa penanganan kasus korupsi di tanah air, dengan mengambil ilustrasi daerah Sultra, bila dilakukan pengkajian analitis secara empirik, menurut penulis, sangat mungkin lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor fundamental yang ini lebih bersifat paradigmatik ketimbang bersifat pragmatis semata. Faktor-faktor fundamental inilah yang kemudian berpengaruh cukup signifikan terhadap konfigurasi format serta struktur yang menopang sistem hukum kita yang kemudian berimplikasi tidak cukup kuatnya sistem hukum di negeri ini untuk mengeleminir berbagai tindak pidana korupsi yang makin mengkerat.
Faktor-faktor fundamental dimaksud, yang dapat diperinci antara lain, pertama: landasan substansial pasal-pasal Undang-undang Anti Korupsi di negeri ini yang tampak masih ambigu (standar ganda), malah beberapa pasalnya membuka ruang interpertasi yang bersifat debatable sehingga membuka peluang banyak pihak berkepentingan untuk diloloskan dari jeratan tindak pidana korupsi. Sebagai misal Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, yang sampai sekarang masih menjadi instrumen yuridis, dalam konteks “lex specialis”, untuk memberantas tindak pidana korupsi di tanah air. Terdapat beberapa pasal tertentu, yang menurut penulis cukup krusial serta jadi kendala terutama bagi aparat penegak hukum untuk mengkerangkeng pejabat negara atau orang-orang dekat seputarannya yang diduga menguras uang rakyat. Contoh, Pasal 37 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan kata-kata “...Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi...”, selanjutnya kata-kata “...Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti...”
Kata-kata hukum tersebut, boleh jadi justeru menjadi pamungkas para oknum penilep uang negara mencari celah hukum untuk lolos dari jeratan tindak pidana korupsi. Soalnya, sangat besar kemungkinan bagi tersangka untuk melakukan “kongkalikong” pun juga menyewa seorang analis keuangan profesional yang dengan rekayasa teknik penyusunan anggaran keuangan yang barangkali cukup masuk akal untuk menyatakan anggaran negara yang digunakan, bukanlah kategori korupsi. Atau juga dengan teknik penyusunan administratif keuangan yang cukup masuk akal untuk meloloskan oknum pejabat tertentu dari jeratan sebagai aktor intelektual (pelaku utama) penilep uang negara, kemudian sebagai gantinya ada pihak-pihak yang harus dijadikan sebagai “tumbal” guna menyelamatkan “invisible hand”, tangan-tangan tersembunyi aktor intelektual dimaksud dari jerat tindak pidana korupsi.
Menurut penulis, argumentasi tersebut bisa diterima, apalagi dengan mencermati kualitas alat bukti petunjuk yang bisa dijadikan dalil untuk mengkerangkeng seseorang sebagai pelaku tindak pidana korupsi, satu-satunya hanya alat bukti bersifat formil bukan berdasarkan alat bukti materil yaitu dengan melihat kenyataan sesungguhnya, seperti antara lain pada proyek-proyek fisik yang macet pengerjaannya lantaran duit proyek sudah terlanjur ditilep. Ataukah dengan melihat secara materil pada kenyataan profit (baca keuntungan dalam bentuk gaji, honor, tunjangan, uang terima kasih dalam kapasitas sebagai pejabat atau penanggung jawab proyek) yang diterima seseorang atau oknum tertentu, pada saat berstatus sebagai pejabat negara atau penanggung jawab proyek, yang sungguh sangat tidak logis bila dibandingkan dengan limpahan harta kekayaan yang diperolehnya, yang malah sampai pada digit mendekati milyaran rupiah.
Inilah musabab persoalannya, satu-satunya alat bukti petunjuk yang ditetapkan undang-undang anti korupsi untuk mengkerangkeng seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi, yaitu alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, berupa rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dan dibaca.
Padahal galibnya, boleh jadi terdapat alat bukti petunjuk lain yang bisa digunakan aparat penegak hukum, sebagaimana yang telah penulis urai pada paragraph awal, cukup sebagai dugaan kuat untuk mencekok seorang pejabat, telah terlibat tindak pidana korupsi.
Pengalaman pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini, menunjukkan kalau alat bukti petunjuk yang dimaksud dalam Pasal 26 A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, dapat menjadi mentah dengan alasan yuridis bahwa itu tidak ada hubungannya dengan pokok perkara. Disinilah yang menurut penulis merupakan kelemahan dari alat bukti formil tersebut. Terbukti dalam skandal korupsi Bulug Gate dan dana-dana yayasan milik keluarga Soeharto, yang tidak cukup ampuh untuk menjerat pelakunya sebagai biang korupsi uang negara.
Kedua, sanksi pidana yang terkandung dalam undang-undang anti korupsi 2001, belum sepenuhnya memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi ataupun memberikan rasa takut orang yang mencoba-coba mengkorup uang negara. Undang-undang anti korupsi menyebutkan sanksi pidana paling tinggi bagi seseorang yang mengkorup uang negara, yaitu penjara seumur hidup dan denda satu milyar rupiah. Realitas penjara di tanah air yang konon mengkerangkeng orang-orang berpengaruh katakanlah mantan pejabat, jarang sampai pada ambang 20 tahun, kalaupun itu toh terjadi, biasanya yang bersangkutan akan mendapat kompensasi remisi hukuman penjara, yang bisa diberikan malah sampai tiga kali dalam satu tahun. Begitupun denda satu milyar, jarang sampai dapat diterapkan oleh pengadilan kalaupun itu terjadi maka terdakwa koruptor bisa mengkalkulasi uang denda yang sampai tidak merugikannya, apalagi digit uang yang dikorup sampai pada bilangan puluhan milyar lebih. Inilah persoalannya, sanksi pidana korupsi di negeri ini belum cukup memberikan rasa jera bagi para koruptor dan calon koruptor. Kita bisa melihat contoh, kenapa Cina dan Korea berhasil meminimalisir angka korupsi, salah satu faktornya adalah sanksi pidana mati siap menghantui para pelaku tindak pidana korupsi.
Ketiga, perebutan lahan siapa lembaga hukum yang paling berwewenang menangani tindak pidana korupsi masih mentradisi di negeri ini. Sungguh menggelikan ketika Presiden SBY beberapa waktu lalu dirisaukan oleh rebutan perkara antara KPK dengan Kejaksaan, ataupun antara KPK dengan lembaga kepolisian. Ada kecurigaan sebahagian kalangan kalau rebutan perkara itu dipicu oleh kepentingan untuk melindungi siapa ataupun balas dendam kepada siapa, atau mungkin juga rebutan perkara dilatarbelakangi oleh gengsi institusi. Persoalan rebutan perkara inilah, yang akhirnya memperlambat prosedur penyelesaian perkara pidana korupsi belakangan ini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa problematika pemberantasan korupsi yang kemudian makin membingungkannya penegakan hukum di negeri ini, sebetulnya antara lain ditenggarai oleh tiga faktor fundamental tersebut, lalu ditambah dengan makin keroposnya paradigma ideologi hukum yang menyangga sistem penegakan hukum kita yang lebih berorientasi pragmatisme. Padahal sejatinya, keberadaan penegakan hukum dalam sebuah kehidupan masyarakat, mestinya mampu memberikan keadilan holistik yang sesuai fitrah serta memuaskan logika hukum kita secara keseluruhan. (***)

Tulisan Tentang Korupsi di Indonesia

Catatan Hukum
Janji Abraham Samad
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Dosen Fakultas Hukum Unhalu

Abraham Samad atau dulu ketika masih sama-sama “kongkow” di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, kami biasa menyapanya dengan “openg gondrong”. Teman-teman satu angkatan saya dulu memanggilnya “Openg Gondrong”, karena ciri khas Abraham Samad sejak semester satu sampai semester akhir kuliah di Fakultas Hukum Unhas, memelihara rambut panjang yang dikuncir sampai punggung. Dan tahun 1999, ketika saya bertemu Abraham Samad di Makassar, ia sudah menjadi advokat yang cukup populer, yang berbeda juga adalah ciri khas kegondrongannya sudah tidak ada lagi, rambutnya dipotong pendek klimis.
Kini gemintang Abraham Samad menjadi bersinar, cukup mengejutkan, putra asal Makassar itu menang telak, berhasil menjadi pucuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam voting pemilihan Ketua KPK yang digelar Komisi III DPR RI, tak tanggung-tanggung ia menyisihkan nama-nama besar sekaliber Bambang Widjajanto, advokat senior dan Busyro Muqqaddas, mantan Ketua KPK.
Yang cukup mengejutkan adalah Abraham Samad, berani mempertaruhkan jabatanya, mundur sebagai Ketua KPK bila dalam satu tahun ia tidak berhasil menuntaskan kasus-kasus besar korupsi, sebutlah misalnya skandal Bank Century.
Barangkali janji Abraham Samad untuk mundur sebagai Ketua KPK bila ia gagal dalam melaksanakan tugas memberantas korupsi di Indonesia merupakan magnet terbesar yang menjadi harapan bagi setiap warga negara Indonesia. Namun ada beberapa hal yang hendak saya sampaikan buat Abraham “Openg” berkenaan dengan pengalaman bangsa ini menghadapi kasus-kasus mega korupsi yang merampok uang rakyat dari yang bermilyar-milyar hingga triliunan rupiah.
Kasus korupsi atau tepatnya perampokan uang rakyat yang banyak melibatkan politisi besar di negara ini, sejak dulu merupakan lingkaran setan yang begitu sulit untuk dicari ujung keluarnya. Kebanyakan kasus mega korupsi, taruhlah semisal kasus Bank Century, kasus Nazaruddin cs, mantan Bendahara Partai Demokrat, dan masih banyak lagi, selalu kandas oleh sebuah “grand design” tekanan politik yang cukup tinggi. Betapa tidak, banyak orang di negeri ini yang menaruh kecurigaan cukup besar, ketika sederet orang yang menakhodai KPK “tidak cukup tenang bekerja” membongkar dedengkot pelaku utama perampokan uang rakyat. Sebutlah misalnya, Antasari Azhar yang harus dicekok duluan dengan tuduhan berkonspirasi melakukan pembunuhan ataukah kasus Bibit-Chandra yang menjadi tumbal untuk mengadu domba KPK versus Kepolisian-Kejaksaan.
Belum lagi kasus Susno Duadji, seorang perwira tinggi kepolisian yang terpaksa harus mendekam dalam kerangkeng lebih dahulu, ia tidak sempat membuka borok korupsi yang melanda negeri ini. Yang teranyar, Waode Nurhayati, politisi asal Sultra, yang harus dijebak duluan, dituding terlibat penyalahgunaan anggaran, sebelum wanita berkerudung itu membuka tuntas mafia anggaran yang konon menurut Waode, telah menggerogoti Badan Anggaran DPR RI.
Jadi apa sebetulnya persoalan mendasar kasus korupsi yang harus dihadapi oleh Abraham Samad?
Secara dogmatik, memang tidak sulit untuk meringkus para koruptor di negeri ini, bila seseorang menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Korupsi, baik secara materil maupun formil, telah terbukti menyalahgunakan uang negara untuk kepentingan pribadi, maka tidak ada keraguan lagi untuk mencokok yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi.
Begitu juga, seseorang yang terbukti menyogok orang lain agar mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan amanah jabatannya, menurut Undang-Undang Anti Korupsi, baik penyogok maupun menerima sogok, pantas pula disebut koruptor.
Persoalannya kini, mencokok seseorang dengan tuduhan melakukan tindak pidana korupsi, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Sebab mental orang Indonesia ketika sudutkan telah menilep uang negara, tidak mau “legowo” untuk menerima status sebagai tersangka pelaku korupsi, meski kemungkinan besar sejumlah alat bukti sudah mengarah kepadanya. Apalagi kalau yang dituding itu memiliki jejaring yang sangat dekat dengan kekuasaan.
Itulah barangkali sebabnya menurut saya, telalu sulit membongkar kasus-kasus korupsi kelas kakap di negeri ini, yang sebetulnya jadi taruhan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah komando Abraham Samad. Ia sebagai pimpinan KPK, harus berhadap-hadapan “vis a vis”, karena problematika korupsi di negeri ini bukanlah semata persoalan individual tetapi lebih dari itu adalah persoalan yang sifatnya sistemik dan paradigmatik.
Memang betul, penegakan hukum di negeri memerlukan orang bernyali besar yang tidak hanya cerdas. Tapi faktanyanya, segelintir orang cerdas dan berani di negeri ini, terpaksa harus terjebak dalam sebuah lingkaran setan yang ia sendiri tidak bisa berbuat banyak membongkar kasus korupsi baik kelas teri maupun kelas kakap.
Mengapa demikian? Sebabnya, bangsa ini tengah menghadapi anomali hukum. Yaitu sebuah istilah untuk menjelaskan realitas penegakan hukum bangsa ini yang memang sejatinya tidak berkomitmen menghargai standar-standar normatif dan dogmatik hukum. Hukum berstandar dogmatik dan normatif hanya dalam wacana para akademisi hukum tetapi malangnya dalam tataran praktik, pertimbangan politik dan pertimbangan ekonomi ikut-ikutan mengintervensi dunia hukum.
Padahal dunia hukum, menurut para akademisi hukum, adalah dunia hitam putih, abstraksinya adalah normatif. Hukum sebagai suatu sistem nilai, wilayahnya bukanlah wilayah kompromistis apalagi wilayah yang harus ditafsirkan sebagai sesuatu yang harus dibijaksanai berdasarkan kepentingan tertentu.
Anehnya negeri ini, konon ada orang yang sudah terbukti memenuhi unsur melakukan tindak pidana korupsi, dan seharusnya masuk kerangkeng. Namun karena ada banyak pertimbangan politik dari jejaring kekuasaan, sehingga yang bersangkutan dicari-cari alasan pembenar untuk tidak dikualifikasikan sebagai koruptor.
Jadi kita tidak usah kaget, menyaksikan sandiwara hukum yang membuat frustasi banyak orang di negeri ini, ketika syahdan beberapa diantara tersangka pelaku korupsi tampaknya masih melenggang bebas belum terkena sanksi hukum. Dengan mengatasnamakan asas praduga tak bersalah, para tersangka, memiliki imunitas dan keistimewaan khusus agar tidak tersentuh hukum.
Inilah seharusnya menjadi inspirasi dan kontemplasi Abraham Samad dalam rangka menggiatkan KPK menangkap para begundel yang menghisap uang rakyat. Para begundel itu, tidak berjalan sendirian, mereka sebetulnya masih terproteksi oleh sebuah sistem yang menggaransi para penilep uang rakyat untuk kebal terhadap hukum.
Sebab ada kesalahan terbesar telah meracuni proses penegakan hukum di negeri ini, terutama yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Bila seseorang yang tersandung kasus korupsi, punya jejaring politik cukup kuat dengan lingkaran kekuasaan, maka ada banyak penafsiran politik dan sosiologis yang harus digunakan sebagai alasan pembenar untuk mengurai bahwa yang bersangkutan tidak cukup bukti untuk disebut pelaku tindak pidana korupsi.
Hukum tetaplah hukum, ia merupakan satu sistem nilai. Hukum sejatinya tidak boleh ditarik dalam kutub penafsiran yang keluar dari intristik nilai-nilai, yang dibangun atas dasar argumentasi logika hukum itu sendiri, seperti keadilan, ketertiban, dan pergaulan hidup damai. Apalagi bila justeru nilai-nilai hukum itu sendiri sampai dielaborasikan kepada kepentingan pragmatis dan materialistik.
Kini tantangan terbesar bagi Abraham Samad, adalah menghadapi para Mafioso di negeri ini yang terlanjur begitu kuat membentuk sebuah jejaring yang justeru makin menumbuhsuburkan budaya korupsi. Karena bagaimanapun juga, pemberantasan korupsi hari ini, bukanlah perkara yang mudah. Menjadikan hukum sebagai “panglima” dalam kerangka untuk menempatkan komitmen pemberantasan korupsi tidaklah cukup.
Karena hukum hanya akan berdaya efektif memberantas para pencoleng uang rakyat apabila hukum sebagai sistem nilai tegak pada sebuah sistem yang menggaransi adanya ketegasan sanksi kepada siapapun tanpa memandang yang kuat dan yang lemah. Kemudian ada dukungan aparat pemerintah dan penegak hukum yang bersih hati dan pikirannya untuk tetap komitmen hanya mau menerima harta halal yang bebas dari unsur korupsi.