Selasa, 19 Juni 2012

Kepergian Professor Achmad Ali, Sang Realis Hukum Oleh: Muh Sjaiful SH MH Dosen Fakultas Hukum Unhalu Kemarin dulu Minggu 17 Juni, saya dikejutkan sebuah berita dari seorang teman yang kini sedang menempuh Program Doktor Hukum di Universitas Hasanuddin, melalui ponsel, teman saya itu mengatakan bahwa Professor Achmad Ali, Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, telah berpulang kerahmatullah, sekitar pukul 9.15 WIT di Makassar. Saya yang pernah menempuh pendidikan hukum di Universitas Hasanuddin, mulai strata satu (S1), sarjana hukum, sampai strata dua (S2), magister hukum, memang cukup akrab dengan pemikiran-pemikiran hukum almarhum, baik melalui beberapa perkuliahan yang saya ikuti maupun lewat tulisan-tulisan almarhum yang dipublikasikan dalam bentuk buku serta artikel tingkat regional maupun nasional. Salah satu pemikiran hukum almarhum yang membuat saya terkesan yaitu pemikiran tentang konstruksi hukum nasional Indonesia yang semestinya mentransformasikan nilai-nilai relijiusitas, karena menurut almarhum, masyarakat bangsa ini adalah mayoritas memegang teguh keyakinan relijiusitas. Lantas almarhum juga pernah mengkritik pedas konstruksi hukum nasional kita yang masih mengadopsi hukum barat yang sekuler, seperti yang tampak dari produk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai produk warisan Kolonial Belanda, yang hingga saat ini masih berlaku. Menurut almarhum, kontur sekulerisme KUHPidana kita tampak antara lain dari pemuatan perbuatan zinah dalam Pasal 284 KUHPidana, yang menetapkan bahwa zinah (overspel) sebagai perbuatan pidana jika salah satu pasangan yang melakukan hubungan seksual secara tidak sah, telah terikat perkawinan sah dengan orang lain. Kata Almarhum Prof AA, begitu sapaan kepada beliau semasa hidupnya, kultur hukum masyarakat bangsa ini yang mayoritas muslim, tetap memandang hubungan seksual yang tidak sah antara laki-laki dengan perempuan, baik terikat perkawinan dengan orang lain maupun tidak, tetap dipandang sebagai perbuatan kriminal atau kejahatan. Disinilah titik krusial KUHPidana produk warisan Kolonial Belanda yang sudah tidak relevan dengan kultur hukum masyarakat Indonesia yang relijius. Sehingga secara sosiologis, kata almarhum, sesuai cita rasa dan nilai-nilai hukum sebagai hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat bangsa ini, sangat rasional bila konfigurasi hukum bangsa ini mentrasformasikan secara formal nilai-nilai hukum yang mengedepankan relijiusitas. Satu lagi pemikiran hukum almarhum, adalah menyangkut keterpurukan hukum negeri ini yang masih menjadi fenomena yang menghadang. Pada akhirnya semakin menggerus perasaan keadilan bagi para pencari kebenaran hukum. Menurut almarhum, salah satu soalnya adalah masih bersarangnya para penegak hukum bermental keropos. Para penegak hukum demikian, sejatinya merupakan “sapu-sapu kotor” (the dirty sweeps) yang bercokol di lembaga-lembaga peradilan serta lembaga penegakan hukum lainnya. Ketika mencermati realitas sosial keterpurukan penegakan hukum negeri ini yang ditenggarai mangkraknya aparat hukum berlabel sapu-sapu kotor, sebagaimana menjadi kegalauan almarhum, barangkali juga ia sebagai guru besar hukum, tidak hanya melihatnya sebagai persoalan personalitas tetapi lebih kepada persoalan yang lebih sistemik yang mengemuka sebagai sebuah realitas sosial. Persoalan sistemik yang ia maksud adalah kegandrungan pemikiran liberal serta materialistik yang masih mengkooptasi sebahagian besar pemikiran bangsa ini yang tentu berekses kepada cara berpikir para aparat hukum bangsa ini kepada kecenderungan materialistik. Almarhum Professor Achmad Ali, yang pernah dicalonkan Jaksa Agung RI semasa Presiden Megawati Soekarno Putri, menurut pendapat penulis, adalah seorang realis hukum. Sebab konsentrasi pemikiran hukumnya lebih mengelaborasi kepada hukum dalam perspektif sosiologis. Yaitu pemikiran hukum yang mencermati hukum dalam tataran prilaku masyarakat serta faktor-faktor sosial lainnya yang mempengaruhi penegakan hukum terutama dalam konteks masyarakat Indonesia. Konsistensi almarhum sebagai seorang realis hukum begitu kukuh, sehingga tatkala menjadi anggota Komnas HAM RI periode 2001-2007, ia begitu getol menyuarakan perang terhadap korupsi, yang menurutnya baik secara langsung maupun tidak langsung, korupsi adalah malapetaka terbesar negeri ini yang sama bahayanya dengan penyalahgunaan narkoba. Saking getolnya almarhum semasa hidupnya menyatakan perang terhadap korupsi, ia pernah mengusulkan hukuman mati bagi para koruptor kelas kakap. Suatu ketika almarhum pernah ditanya tentang hukum pidana Islam oleh salah satu tabloid mingguan nasional, almarhum serta merta menyatakan respektasinya yang tinggi kepada sanksi pidana dalam hukum Islam, sebab menurutnya ketegasan dan kekerasan sanksi dalam hukum pidana Islam, seperti para pencuri dipotong tangannya atau para koruptor kelas kakap yang harus dibuang jauh alias diasingkan ke suatu tempat tertentu, sangat menjamin keampuhan hukum serta membuat jera bagi setiap para pelanggar hukum. Demikian beberapa pemikiran sang realis hukum yang telah pergi meninggalkan dunia ini, dalam usia 59 tahun lebih, ia pergi untuk menghadap Sang Khalik Pencipta semesta alam. Menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Pendidikan Makassar, ia terkena penyakit diabetes yang sudah lama dideritanya. Almarhum Professor Achmad Ali, semasa hidupnya sangat bersahaja dengan kehidupan yang sederhana, seingat saya ia tidak punya harta melimpah, konon mobil pun yang ia miliki hanyalah mobil dinas dekan ketika menjabat dekan Fakultas Hukum Unhas selama dua periode. Selepas menjabat dekan, ia tidak punya mobil lagi. Kata orang dekatnya, almarhum hanya meninggalkan rumah sederhana yang terletak di Kompleks Perumahan Dosen Unhas, serta sebidang tanah 1 hektar yang dihibahkan rektor Unhas kepada almarhum. Konon tanah tersebut dibiarkan begitu saja lantaran almarhum tidak punya cukup uang untuk memagarinya serta membeli bibit tanaman untuk diolah. Tampaknya Almarhum Professor Achmad Ali, begitu menikmati sebagai seorang idealis dan ilmuwan hukum, Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rojiun. (*)