Selasa, 02 September 2008

Tulisan tentang MLM

Hukum Syara Multilevel Marketing
Oleh Drs. Hafidz Abdurrahman, MA.*)

Pengantar
Multilevel marketing secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down line umumnya mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan bawah, maka seseorang disebut up line jika mempunyai down line, baik satu maupun lebih. Bisnis yang menggunakan multilevel marketing ini memang digerakkan dengan jaringan, yang terdiri dari up line dan down line. Meski masing-masing perusahaan dan pebisnisnya menyebut dengan istilah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan bentuk jaringannya, antara satu perusahaan dengan yang lain, mempunyai aturan dan mekanisme yang berbeda; ada yang vertikal, dan horisontal. Misalnya, Gold Quest dari satu orang disebut TCO (tracking centre owner), untuk mendapatkan bonus dari perusahaan, dia harus mempunyai jaringan; 5 orang di sebelah kanan, dan 5 orang di sebelah kiri, sehingga baru disebut satu level. Kemudian disambung dengan level-level berikutnya hingga sampai pada titik level tertentu ke bawah yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Masing-masing level tersebut kemudian mendapatkan bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan yang bersangkutan. Meski perusahaan ini tidak menyebut dengan istilah multilevel marketing, namun diakui atau tidak, sejatinya praktek yang digunakan adalah praktek multilevel marketing.
Demikian halnya dengan praktek pebisnis yang lainnya dengan aturan dan mekanisme yang berbeda. Misalnya, dari atas ke bawah, tanpa ditentukan struktur horizontalnya, tetapi langsung dari atas ke bawah. Setelah itu, masing-masing level tadi mendapatkan bonus dari perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang dipatok oleh masing-masing perusahaan yang diikutinya,
Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran seperti ini, biasanya setiap orang harus menjadi member (anggota jaringan) – ada juga yang diistilahkan dengan sebutan distributor -; kadangkala membership tersebut dilakukan dengan mengisi formulir membership dengan membayar sejumlah uang pendaftaran, disertai dengan pembelian produk tertentu agar member tersebut mempunyai point, dan kadang tanpa pembelian produk. Dalam hal ini, perolehan point menjadi sangat penting, karena kadangkala suatu perusahaan multilevel marketing menjadi point sebagai ukuran besar kecilnya bonus yang diperoleh. Point tersebut bisa dihitung berdasarkan pembelian langsung, atau tidak langsung. Pembelian langsung biasanya dilakukan oleh masing-masing member, sedangkan pembelian tidak langsung biasanya dilakukan oleh jaringan member tersebut. Dari sini, kemudian ada istilah bonus jaringan. Karena dua kelebihan inilah, biasanya bisnis multilevel marketing ini diminati banyak kalangan. Ditambah dengan potongan harga yang tidak diberikan kepada orang yang tidak menjadi member.
Namun, ada juga point yang menentukan bonus member ditentukan bukan oleh pembelian baik langsung maupun tidak, melainkan oleh referee (pemakelaran) – sebagaimana istilah mereka – yang dilakukan terhadap orang lain, agar orang tersebut menjadi member dan include di dalamnya pembelian produk. Dalam hal ini, satu member Gold Quest harus membangun formasi 5-5 untuk satu levelnya, dan cukup sekali pendaftaran diri menjadi membership, maka member tersebut tetap berhak mendapatkan bonus. Tanpa dihitung lagi, berapa pembelian langsung maupun tak langsungnya. Pada prinsipnya tidak berbeda dengan perusahaan lain. Seorang member/distributor harus menseponsori orang lain agar menjadi member/distributor dan orang ini menjadi down line dari orang yang menseponsorinya (up line-nya). Begitu seterusnya up line “harus” membimbing down line-nya untuk mensponsori orang lain lagi dan membentuk jaringan. Sehingga orang yang menjadi up line akan mendapat bonus jaringan atau komisi kepemimpinan. Sekalipun tidak ditentukan formasi jaringan horizontal maupun vertikalnya.

Fakta Umum Multilevel Marketing
Dari paparan di atas, jelas menunjukkan bahwa multilevel marketing – sebagai bisnis pemasaran --- tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan), dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan), yang berupa bonus. Bentuknya, bisa berupa (1) potongan harga, (2) bonus pembelian langsung, (3) bonus jaringan – istilah lainnya komisi kepemimpinan -. Dari ketiga jenis bonus tersebut, jenis bonus ketigalah yang diterapkan di hampir semua bisnis multilevel marketing, baik yang secara langsung menamakan dirinya bisnis MLM ataupun tidak ,seperti Gold Quest. Sementara bonus jaringan adalah bonus yang diberikan karena faktor jasa masing-masing member dalam membangun formasi jaringannya. Dengan kata lain, bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan, karena telah berjasa menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meski, perusahaan tersebut tidak menyebutkan secara langsung dengan istilah referee (pemakelaran) seperti kasus Gold Quest, - istilah lainnya sponsor, promotor – namun pada dasarnya bonus jaringan seperti ini juga merupakan referee (pemakelaran).
Karena itu, posisi member dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi : (1) pembeli langsung, (2) makelar. Disebut pembeli langsung manakala sebagai member, dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock. Disebut makelar, karena dia telah menjadi perantara – melalui perekrutan yang telah dia lakukan – bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut. Inilah praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan multilevel marketing, maupun refereal business.
Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di atas, yaitu fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya, pembelian langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa potongan, juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan dengan sejumlah uang tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya, orang tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.

Hukum Syara’ Seputar Dua Akad dan Makelar
Dari fakta-fakta umum yang telah dikemukakan di atas, bisa disimpulkan bahwa praktek multilevel marketing tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua hukum, bisa salah satunya, atau kedua-duanya sekaligus:
1. Hukum dua akad dalam satu transaksi, atau yang dikenal dengan istilah shafqatain fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Akad pertama adalah akad jual-beli (bay’), sedangkan akad kedua akad samsarah (pemakelaran).
2. Hukum pemakelaran atas pemakelaran, atau samsarah ‘ala samsarah. Up line atau TCO atau apalah namanya, adalah simsar (makelar), baik bagi pemilik (malik) langsung, atau tidak, yang kemudian memakelari down line di bawahnya, dan selanjutnya down line di bawahnya menjadi makelar bagi down line di bawahnya lagi.

Mengenai kasus shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, telah banyak dinyatakan dalam hadits Nabis SAW, antara lain, sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an Nasa’i dan at Tirmidzi, dari Abu Hurairah ra. Yang menyatakan :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

“Nabi SAW, telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian”.1

Dalam hal ini, as Syafi’i memberikan keterangan (syarh) terhadap maksud bay’atayn fi bay’ah (dua pembelian dalam satu pembelian), dengan menyatakan:


Jika seseorang mengatakan : Saya jual budak ini kepada anda dengan harga 1000, dengan catatan anda menjual rumah anda kepada saya dengan harga segini. Artinya, jika anda menetapkan milik anda menjadi milik saya, sayapun menetapkan milik saya menjadi milik anda.2
Dalam konteks ini, maksud dari bay’atayn fi bay’ah adalah melakukan dua akad dalam satu transaksi, akad yang pertama adalah akad jual beli budak, sedangkan yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Namun, masing-masing dinyatakan sebagai ketentuan yang mengikat satu sama lain, sehingga terjadilah dua transaksi tersebut include dalam satu aqad.
2. Hadits dari al-Bazzar dan Ahmad, dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan :

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

Rasululllah SAW telah melarang dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).3

Hadits yang senada dikemukan oleh at Thabrani dalam kitabnya, al-Awsath, dengan redaksi sebagai berikut:
لا تحل صفقتان في صفقة
Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).4

Maksud hadits ini sama dengan hadits yang telah dinyatakan dalam point 1 di atas. Dalam hal ini, Rasulullah SAW, dengan tegas melarang praktek dua akad (kesepakatan) dalam satu aqad (kesepakatan).

3. Hadits Ibn Majah, al Hakim dan Ibn Hibban dari ‘Amr bin Syuyb, dari bapaknya, dari kakeknya, dengan redaksi:
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ

Tidak dihalalkan salaf (akad pemesanan barang) dengan jual-beli, dan tidak dihalalkan dua syarat dalam satu transaksi jual-beli.5

Hadits ini menegaskan larangan dalam dua konteks hadits sebelumnya, dengan disertai contoh kasus, yaitu akad salaf, atau akad pemesanan barang dengan pembayaran di depan, atau semacam inden barang, dengan akad jual-beli dalam satu transaksi, atau akad. Untuk mempertegas konteks hadits yang terakhir ini, penjelasan as-Sarakhsi – penganut mazhab Hanafi – bisa digunakan. Beliau juga menjelaskan, bahwa melakukan transaksi jual-beli dengan ijarah (kontrak jasa) dalam satu akad juga termasuk larangan dalam hadits tersebut.6

Dari dalalah yang ada, baik yang menggunakan lafadz: naha (melarang), maupun laa tahillu/yahillu (tidak dihalalkan) menunjukkan, bahwa hukum muamalah yang disebutkan dalam hadits tersebut jelas haram. Sebab, ada lafadz dengan jelas menunjukkan keharamannya, seperti: la tahillu/yahillu. Ini mengenai dalil dan hukum yang berkaitan dengan dua transaksi dalam satu akad, serta manath hukumnya.
Mengenai akad (shafqah)-nya para ulama’ mendefinisikannya sebagai :

Akad merupakan hubungan antara ijab dan qabul dalam bentuk yang disyariatkan, dengan dampak yang ditetapkan pada tempatnya.7

Maka, suatu tasharruf qawli (tindakan lisan) dikatakan sebagai akad, jika ada ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan), ijab (penawaran) dari pihak pertama, sedangkan qabul (penerimaan) dari pihak kedua. Ijab dan qabul ini juga harus dilakukan secara syar’i, sehingga dampaknya juga halal bagi masing-masing pihak. Misalnya, seorang penjual barang menyakan : Saya jual rumah saya ini kepada anda dengan harga 50 juta, adalah bentuk penawaran (ijab), maka ketika si pembeli menyakan : Saya beli rumah anda dengan harga 50 juta, adalah penerimaan (qabul). Dampak ijab-qabul ini adalah masing-masing pihak mendapatkan hasil dari akadnya; si penjual berhak mendapatkan uang si pembeli sebesar Rp. 50 juta, sedangkan si pembeli berhak mendapatkan rumah si penjual tadi. Inilah bentuk akad yang diperbolehkan oleh syara’.
Di samping itu, Islam telah menetapkan bahwa akad harus dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara; zat (barang atau benda) atau jasa (manfaat). Misalnya, akad syirkah dan jual beli adalah akad yang dilakukan terhadap zat (barang atau benda), sedangkan akad ijarah adalah akad yang dilakukan terhadap jasa (manfaat). Selain terhadap dua hal ini, maka akad tersebut statusnya batil.
Adapun praktek pemakelaran secara umum, hukumnya adalah boleh berdasarkan hadits Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani, yang menyatakan:

Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah, dan biasa menyebut diri kami dengan samasirah (bentuk plural dari simsar, makelar), kemudian Rasulullah SAW. Keluar menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: Wahai para tujjar (bentuk plural dari tajir, pedagang), sesungguhnya jual-beli itu selalu dihinggapi kelalaian dan sesumpah, maka bersihkan dengan sedekah.8

Hanya, yang perlu dipahami adalah fakta pemakelaran yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah SAW sebagaimana yang dijelaskan oleh as Sarakhsi ketika mengemukakan hadits ini adalah:

Simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain dengan kompensasi (upah atau bonus). Baik untuk menjual maupun membeli.9

Ulama penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Mutalli’, telah meyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyakan:

Jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli; dikatakan: saya telah menunjukkan anda pada sesuatu – dengan difathah dal-nya, dalalat(an), dan dilalat(an), serta didahmmah dalnya, dalul(an), atau dululat(an) – jika anda menunjukkan kepadanya, yaitu jika seorang pembeli menunjukkan kepadanya, maka orang itu adalah simsar (makelar) antara keduanya (pembeli dan penjual), dan juga disebut dalal.10

Dari batasan-batasan tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan, bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (maalik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah (mutawassith). Atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawwith al mutawwith), maka statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai penengah, atau makelar. Inilah fakta makelar dan pemakelaran.

Hukum Dua Akad dan Makelar dalam Praktek MLM
Mengenai status MLM, maka dalam hal ini perlu diklasifikasikan berdasarkan fakta masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:
1. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, yang untuk itu orang yang akan menjadi member tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member – apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun yang lain – disertai membeli produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee (makelar) bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, maka praktek MLM seperti ini, jelas termasuk dalam kategori hadits : shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut telah melakukan transaksi jual-beli dengan pemakelaran secara bersama-sama dalam satu akad. Maka, praktek seperti ini jelas diharamkan sebagaimana hadits di atas.
2. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk, meski untuk itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari pembelian yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya, maka praktek ini juga termasuk dalam kategori shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, membership tersebut merupakan bentuk akad, yang mempunyai dampak tertentu. Dampaknya, ketika pada suatu hari dia membeli produk – meski pada saat mendaftar menjadi member tidak melakukan pembelian – dia akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point) karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member. Dengan demikian pada saat itu ia menandatangani dua akad yaitu akad membership dan akad samsarah (pemakelaran).
3. Pada saat yang sama, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli barang. Kasus ini, persis seperti orang yang mendaftar sebagai anggota asuransi, dengan membayar polis asuransi untuk mendapatkan jaminan P.T. Asuransi. Berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon, yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dan karenanya, MLM seperti ini juga telah melanggar ketentuan akad syar’i, sehingga hukumnya tetap haram.

Ini dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, yang jelas hukumnya haram. Adapun dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, maka bisa disimpulkan, semua MLM hampir dipastikan mempraktekkan samsarah ‘ala samsarah (pemakelarah terhadap pemakelaran). Karena justru inilah yang menjadi kunci bisnis multilevel marketing. Karena itu, dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, bisa dikatakan MLM yang ada saat ini tidak ada yang terlepas dari praktek ini. Padahal, sebagaimana yang dijelaskan di atas, praktek samsarah ‘ala samsarah jelas bertentangan dengan praktek samsarah dalam Islam. Maka, dari aspek yang kedua ini, MLM yang ada saat ini, prakteknya jelas telah menyimpang dari syariat islam. Dengan demikian hukumnya haram.

Kesimpulan
Inilah fakta, dalil-dalil, pandangan ulama’ terhadap fakta dalil serta status tahqiq al-manath hukum MLM, dilihat dari aspek muamalahnya. Analisis ini berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan produk barangnya, yang dikembangkan dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum MLM dirumuskan dengan hanya melihat atau berpijak pada produknya – apakah halal ataukah haram – maka hal itu justru meninggalkan realita pokoknya, karena MLM adalah bentuk transaksi (akad) muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus dirumuskan dengan menganalisis keduanya, baik akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi yang ada dalam MLM telah dijelaskan dalam paparan di atas.
Adapun dari aspek produknya, memang ada yang halal dan haram. Meski demikian, jika produk yang halal tersebut diperoleh dengan cara yang tidak syar’i, maka akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah. Sebab, kepemilikan itu merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn asy-syari’) untuk memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam kasus ini diperoleh, jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari aspek muamalahnya, maupun barangnya.
Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran); pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah haram.
Namun, jika ada MLM yang produknya halal, dan dijalankan sesuai dengan syariat Islam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran). Serta ketentuan hukum syara’ yang lain, maka tentu diperbolehkan. Masalahnya adakah MLM yang demikian?!

*****


---------------------------------------------------
*) Drs. Hafidz Abdurrahman MA , menyelesaikan S-1 di IKIP Malang jurusan bahasa Asing-Arab, menyelesaikan S-2 di University of Malaya, Malaysia, program studi Islamic Studies.

Catatan kaki :
1. Lihat, as-Syawkani, Nayl al-Awthar, Dar al-Jil, Beirut, 1973, Juz V, hal 248.
2. Lihat, as-Syawkani, Nayl al-Awthar, Dar al-Jil, Beirut, 1973, Juz V, hal 249.
3. Lihat, al-Haytsami, Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, Dar al-Kitab Al-Arabi, Beiurut, 1973, Juz IV, hal 84.
4. Lihat, al-Haytsami, Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, Dar al-Kitab Al-Arabi, Beiurut, 1973, Juz IV, hal 84.
5. Lihat, al-Asqalani, Talhish al-Habir, ed. Abdullah Hasyim al Yamani, t.p., Madinah, 1964, Juz III, hal. 12.
6. As-Sarakhsi, al-Mabsuth li as-Sarakhsi, Juz XX, hal 166.
7. Ibn al-Abidin, Hasyiyah Ibn Abidin, Juz II, h. 355, Wahbah az Syhayli, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz IV, hal 2918.
8. As-Sarakhsi, al-Mabsuth li as-Sarakhsi, juz XV, hal 115.
9. As-Sarakhsi, al-Mabsuth li as-Sarakhsi, juz XV, hal 116.
10. Muhammad bin Abi al-Fath, al-Muthalli’, ed. Muhammad Basyir al-Adlabi, al-Maktab al-Islami, Beirut, 1981, hal. 279.

Tulisan Menyambut Ramadhan

Meraih Ketakwaan Sosial di Bulan Ramadhan
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Pada hari ini bulan Ramadhan, menurut penanggalan Hijriyah, kaum muslimin seluruh dunia, sedang bergembira melaksanakan ibadah “shaum” puasa selama sebulan lamanya. Pentaklifan ibadah puasa di bulan Ramadhan bagi kaum muslimin, sesungguhnya merupakan kewajiban syar’i yang bersifat fardhu ‘ain. Ia adalah salah satu prinsip dari rukun Islam. Pentasbihan kewajiban melaksanakan ibadah “shaum” puasa bagi seluruh kaum muslimin, terpatri secara tegas dalam Qur’an Surah Al Baqarah yaitu “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelumnya, mudah-mudahan kamu menjadi orang-orang yang bertakwa”.
Kewajiban ibadah “shaum” puasa bagi kaum muslimin, terumus dalam bentuk tindakan menahan makan dan minum, termasuk menahan untuk melakukan hubungan seksual suami isteri, serta segala aktifitas yang dapat membatalkan puasa, pada siang hari terhitung mulai terbit fajar sampai pada tebenamnya. Kewajiban menahan di bulan Ramadhan itu merupakan titah Allah SWT dus merupakan salah satu kehendak dari sang Maha Tinggi “Rabbul Izzati” kepada hamba-hambanya yang beriman guna meraih derajat takwa.
Namun sesungguhnya titah melaksanakan “shaum” puasa di bulan Ramadhan, tidaklah sekadar bermakna formalistik dan metaforis. Bukan sekadar menahan makan dan minum tetapi juga mesti mengelaborasi pada tataran tindakan menahan diri (tazkiyah an nafs) dalam segala aspek, untuk tidak bermaksiat kepada Allah SWT. Terminologi maksiat dimaksud dengan meminjam tafsiran Ulama Imam ash Shabuni dalam kitabnya at Tafsir, yaitu pelanggaran terhadap semua hukum Allah SWT baik dalam cakupan aspek individual maupun cakupan aspek sosial serta moral.
Berdasar acuan Imam ash Shabuni itu, maka pengejawentahan ketakwaan bagi pribadi muslim, hakikatnya terdeskripsi pada segenap tingkah laku termasuk cara berpikirnya sebagai hamba yang secara kaffah tetap tunduk terhadap semua aturan yang diturunkan oleh Allah SWT. Sehingga ketakwaan seorang hamba sekaligus berkomitmen untuk mengaplikasikan segenap syariat Allah dalam seluruh aspek kehidupan sosial, penegakan hukum, aturan ekonomi (muamalah), pergaulan antara laki-laki dan perempuan (nizhamul ijtima’i), sistem pemerintahan dan kehidupan politik (as siyasah), dan lain-lain.
Bagaimanapun, Islam adalah ajaran yang mengusung tema sentral sebagai ajaran pembawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Konsekuensi sebagai ajaran yang berkarakter rahmatan lil alamin, tak pelak mengharuskan bagi pribadi muslim yang saleh, untuk senantiasa tetap komitmen menjaga Syariat Allah dalam kerangka meraih derajat takwa serta termasuk kelompok orang yang beruntung (muflihun).
Betapa tidak, dalam pandangan Islam, keseimbangan sebuah sistem sosial yang mewujudkan keamanan dan kesejahteraan masyarakat dalam batas-batas yang holistik dan egaliter, hanya bisa tercapai dengan mentransformasikan nilai-nilai ketakwaan secara komprehensif dan tidak parsial. Ancaman Allah, jelas terpatri dalam Qur’an Surah ar Rum Ayat 41, bahwa telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia yang tidak mengindahkan koridor ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam risalah Allah SWT. Ini bisa diterjemahkan bahwa komprehsivitas ketakwaan seorang hamba mestinya jauh mengelaborasi terhadap semua tindakan tatkala mengelola semesta ini sebagai amanah sang khalik yang dibebankan kepadanya.
Kerusakan sistem sosial yang mendera umat manusia selama ini, yang ditenggarai dengan makin merebaknya prilaku korupsi dalam segala level birokrasi, prilaku seks bebas yang menjalar baik di kalangan generasi muda maupun generasi tua, belum lagi pembodohan serta manipulasi politik yang dipertontonkan tanpa malu-malu oleh para elit politik di tanah air, krisis ekonomi yang makin menghimpit masyarakat ekonomi menengah ke bawah, pengangguran yang makin membengkak. Kesemua itu sesungguhnya merupakan dampak implikatif dari pengabaian regulasi syariat Allah SWT oleh manusia tatkala diamanahkan untuk mengelola semesta. Inilah yang disebut dengan pengabaian untuk mengejawentahkan nilai-nilai ketakwaan sosial, yang akhirnya berbuntut pada terjadinya kerusakan sistem sosial yang semakin akut.
Melalui momentum bulan Ramadhan ini, sebagai bulan “tazkiyah an nafs”, semestinya menjadi masa pelatihan bagi seorang hamba yang berikrar sebagai orang beriman, untuk membuktikan konsistensi ketawaannya dengan cara berkomitmen menjaga dan atau lebih mengedepankan syariat Allah daripada mengikuti hawa nafsu atau cara berpikir egoistik. Sabda Nabi Muhammad SAW, terurai dengan kata-kata tegas...”Kamu sesungguhnya bukan orang yang beriman selama tidak menjadikan hawa nafsu atau cara berpikir egoistik kalian tunduk pada risalah yang aku bawa...”. Ini adalah hadist shahih yang tidak perlu diperdebatkan periwayatannya.
Kata-kata mulia Rasulullah tersebut, sudah cukup menjadi dalil naqli normatif bagi seorang hamba yang saleh bahwa sejatinya kadar ketakwaan seseorang tidak sekedar terukur pada intensitas praktik-praktik ibadah mahdahnya saja, namun juga terukur pada tataran sejauhmana kesadaran intrinksifnya mengamalkan syariat Allah dalam aspek kehidupan sosialnya, seperti ekonomi, pergaulan hidup, akhlak berpolitik dan berpemerintahan. Artinya, ketakwaan yang dibangun seyogyanya mengelaborasi pada ketakwaan sosial bukan semata pada ketakwaan individual.
Untuk itu, seharusnya bagi seorang mukmin sejati, momentum bulan Ramadhan ini bukan juga sekedar sebuah perhelatan ritual yang “an sich” menahan makan, minum, dan hubungan suami isteri, tetapi berlatih diri meng-up grade sinerjitas antara ketakwaan individu dengan ketakwaan sosial. Peningkatan ketakwaan individu antara lain dengan tetap menyemarakkan ibadah-ibadah mahdah sunnah, seperti Shalat Lail, Tadarus Qur’an, memperbanyak infaq dan sadaqah, serta amalan kebajikan sunnah lainnya. Peningkatan ketakwaan sosial misalnya, secara selektif dapat memilah mana harta yang asalnya haram atau halal. Sehingga paling tidak prilaku korupsi dan menilep uang rakyat dapat diminimalisir. Begitu pula, penerjemahan ketakwaan sosial dimaksud, terartikulasi dalam bentuk mempraktikkan amalan sunnah Rasulullah SAW ketika menerapkan aturan-aturan transaksi ekonomi, kehidupan politik dan pemerintahan, pergaulan hidup sosial kemasyrakatan, dan lain-lain.
Melalui sinerjitas kesalehan individual dan kesalehan sosial itulah, maka syarat untuk mencapai masyarakat yang aman, tentram, dan sejahtera secara hakiki, dapat tercapai. Sebagaimana yang dijanjikan Allah SWT, dalam salah satu firmannya, bahwa “...seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa maka pasti kami (Allah) menurunkan berkah dari langit serta berkah yang keluar dari perut bumi, namun sayang banyak di antara mereka yang ingkar...”
Maraknya penyakit-penyakit sosial termasuk berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang kini makin kronis menimpa sebahagian besar peradaban umat manusia di berbagai pelosok, bisa dipastikan merupakan isyarat betapa umat telah mengabaikan transformasi ketakwaan sosial.
Untuk itulah, bulan Ramadhan ini sekali lagi mestinya menjadi momentum bagi seluruh kaum muslimin untuk tetap menjaga sinerjitas ketakwaan individu dan ketakwaan sosial guna meraih predikat umat terbaik sebagaimana janji Allah dalam Qur’an Surah Ali Imran bahwa kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk menyerukan kebenaran dan mencegah kemungkaran (keburukan).
Namun demikian, sinerjitas ketakwaan individu dan ketakwaan sosial tersebut, sesungguhnya tidak cuma bersifat temporal pada sebatas bulan Ramadhan tetapi hendaknya juga mengejawentah pada bulan-bulan lainnya di luar Ramadhan. Lantaran gegap gempita kesemarakan Islam bukanlah konsumsi untuk bulan Ramadhan tetapi menjalar sampai pada akhir zaman.

Penulis, adalah salah satu Dewan Pembina Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Mahasiswa (BKLDM) Universitas Haluoleo
Meraih Ketakwaan Sosial di Bulan Ramadhan
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Pada hari ini bulan Ramadhan, menurut penanggalan Hijriyah, kaum muslimin seluruh dunia, sedang bergembira melaksanakan ibadah “shaum” puasa selama sebulan lamanya. Pentaklifan ibadah puasa di bulan Ramadhan bagi kaum muslimin, sesungguhnya merupakan kewajiban syar’i yang bersifat fardhu ‘ain. Ia adalah salah satu prinsip dari rukun Islam. Pentasbihan kewajiban melaksanakan ibadah “shaum” puasa bagi seluruh kaum muslimin, terpatri secara tegas dalam Qur’an Surah Al Baqarah yaitu “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelumnya, mudah-mudahan kamu menjadi orang-orang yang bertakwa”.
Kewajiban ibadah “shaum” puasa bagi kaum muslimin, terumus dalam bentuk tindakan menahan makan dan minum, termasuk menahan untuk melakukan hubungan seksual suami isteri, serta segala aktifitas yang dapat membatalkan puasa, pada siang hari terhitung mulai terbit fajar sampai pada tebenamnya. Kewajiban menahan di bulan Ramadhan itu merupakan titah Allah SWT dus merupakan salah satu kehendak dari sang Maha Tinggi “Rabbul Izzati” kepada hamba-hambanya yang beriman guna meraih derajat takwa.
Namun sesungguhnya titah melaksanakan “shaum” puasa di bulan Ramadhan, tidaklah sekadar bermakna formalistik dan metaforis. Bukan sekadar menahan makan dan minum tetapi juga mesti mengelaborasi pada tataran tindakan menahan diri (tazkiyah an nafs) dalam segala aspek, untuk tidak bermaksiat kepada Allah SWT. Terminologi maksiat dimaksud dengan meminjam tafsiran Ulama Imam ash Shabuni dalam kitabnya at Tafsir, yaitu pelanggaran terhadap semua hukum Allah SWT baik dalam cakupan aspek individual maupun cakupan aspek sosial serta moral.
Berdasar acuan Imam ash Shabuni itu, maka pengejawentahan ketakwaan bagi pribadi muslim, hakikatnya terdeskripsi pada segenap tingkah laku termasuk cara berpikirnya sebagai hamba yang secara kaffah tetap tunduk terhadap semua aturan yang diturunkan oleh Allah SWT. Sehingga ketakwaan seorang hamba sekaligus berkomitmen untuk mengaplikasikan segenap syariat Allah dalam seluruh aspek kehidupan sosial, penegakan hukum, aturan ekonomi (muamalah), pergaulan antara laki-laki dan perempuan (nizhamul ijtima’i), sistem pemerintahan dan kehidupan politik (as siyasah), dan lain-lain.
Bagaimanapun, Islam adalah ajaran yang mengusung tema sentral sebagai ajaran pembawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Konsekuensi sebagai ajaran yang berkarakter rahmatan lil alamin, tak pelak mengharuskan bagi pribadi muslim yang saleh, untuk senantiasa tetap komitmen menjaga Syariat Allah dalam kerangka meraih derajat takwa serta termasuk kelompok orang yang beruntung (muflihun).
Betapa tidak, dalam pandangan Islam, keseimbangan sebuah sistem sosial yang mewujudkan keamanan dan kesejahteraan masyarakat dalam batas-batas yang holistik dan egaliter, hanya bisa tercapai dengan mentransformasikan nilai-nilai ketakwaan secara komprehensif dan tidak parsial. Ancaman Allah, jelas terpatri dalam Qur’an Surah ar Rum Ayat 41, bahwa telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia yang tidak mengindahkan koridor ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam risalah Allah SWT. Ini bisa diterjemahkan bahwa komprehsivitas ketakwaan seorang hamba mestinya jauh mengelaborasi terhadap semua tindakan tatkala mengelola semesta ini sebagai amanah sang khalik yang dibebankan kepadanya.
Kerusakan sistem sosial yang mendera umat manusia selama ini, yang ditenggarai dengan makin merebaknya prilaku korupsi dalam segala level birokrasi, prilaku seks bebas yang menjalar baik di kalangan generasi muda maupun generasi tua, belum lagi pembodohan serta manipulasi politik yang dipertontonkan tanpa malu-malu oleh para elit politik di tanah air, krisis ekonomi yang makin menghimpit masyarakat ekonomi menengah ke bawah, pengangguran yang makin membengkak. Kesemua itu sesungguhnya merupakan dampak implikatif dari pengabaian regulasi syariat Allah SWT oleh manusia tatkala diamanahkan untuk mengelola semesta. Inilah yang disebut dengan pengabaian untuk mengejawentahkan nilai-nilai ketakwaan sosial, yang akhirnya berbuntut pada terjadinya kerusakan sistem sosial yang semakin akut.
Melalui momentum bulan Ramadhan ini, sebagai bulan “tazkiyah an nafs”, semestinya menjadi masa pelatihan bagi seorang hamba yang berikrar sebagai orang beriman, untuk membuktikan konsistensi ketawaannya dengan cara berkomitmen menjaga dan atau lebih mengedepankan syariat Allah daripada mengikuti hawa nafsu atau cara berpikir egoistik. Sabda Nabi Muhammad SAW, terurai dengan kata-kata tegas...”Kamu sesungguhnya bukan orang yang beriman selama tidak menjadikan hawa nafsu atau cara berpikir egoistik kalian tunduk pada risalah yang aku bawa...”. Ini adalah hadist shahih yang tidak perlu diperdebatkan periwayatannya.
Kata-kata mulia Rasulullah tersebut, sudah cukup menjadi dalil naqli normatif bagi seorang hamba yang saleh bahwa sejatinya kadar ketakwaan seseorang tidak sekedar terukur pada intensitas praktik-praktik ibadah mahdahnya saja, namun juga terukur pada tataran sejauhmana kesadaran intrinksifnya mengamalkan syariat Allah dalam aspek kehidupan sosialnya, seperti ekonomi, pergaulan hidup, akhlak berpolitik dan berpemerintahan. Artinya, ketakwaan yang dibangun seyogyanya mengelaborasi pada ketakwaan sosial bukan semata pada ketakwaan individual.
Untuk itu, seharusnya bagi seorang mukmin sejati, momentum bulan Ramadhan ini bukan juga sekedar sebuah perhelatan ritual yang “an sich” menahan makan, minum, dan hubungan suami isteri, tetapi berlatih diri meng-up grade sinerjitas antara ketakwaan individu dengan ketakwaan sosial. Peningkatan ketakwaan individu antara lain dengan tetap menyemarakkan ibadah-ibadah mahdah sunnah, seperti Shalat Lail, Tadarus Qur’an, memperbanyak infaq dan sadaqah, serta amalan kebajikan sunnah lainnya. Peningkatan ketakwaan sosial misalnya, secara selektif dapat memilah mana harta yang asalnya haram atau halal. Sehingga paling tidak prilaku korupsi dan menilep uang rakyat dapat diminimalisir. Begitu pula, penerjemahan ketakwaan sosial dimaksud, terartikulasi dalam bentuk mempraktikkan amalan sunnah Rasulullah SAW ketika menerapkan aturan-aturan transaksi ekonomi, kehidupan politik dan pemerintahan, pergaulan hidup sosial kemasyrakatan, dan lain-lain.
Melalui sinerjitas kesalehan individual dan kesalehan sosial itulah, maka syarat untuk mencapai masyarakat yang aman, tentram, dan sejahtera secara hakiki, dapat tercapai. Sebagaimana yang dijanjikan Allah SWT, dalam salah satu firmannya, bahwa “...seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa maka pasti kami (Allah) menurunkan berkah dari langit serta berkah yang keluar dari perut bumi, namun sayang banyak di antara mereka yang ingkar...”
Maraknya penyakit-penyakit sosial termasuk berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang kini makin kronis menimpa sebahagian besar peradaban umat manusia di berbagai pelosok, bisa dipastikan merupakan isyarat betapa umat telah mengabaikan transformasi ketakwaan sosial.
Untuk itulah, bulan Ramadhan ini sekali lagi mestinya menjadi momentum bagi seluruh kaum muslimin untuk tetap menjaga sinerjitas ketakwaan individu dan ketakwaan sosial guna meraih predikat umat terbaik sebagaimana janji Allah dalam Qur’an Surah Ali Imran bahwa kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk menyerukan kebenaran dan mencegah kemungkaran (keburukan).
Namun demikian, sinerjitas ketakwaan individu dan ketakwaan sosial tersebut, sesungguhnya tidak cuma bersifat temporal pada sebatas bulan Ramadhan tetapi hendaknya juga mengejawentah pada bulan-bulan lainnya di luar Ramadhan. Lantaran kesemarakan Islam

Penulis, adalah salah satu Dewan Pembina Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Mahasiswa (BKLDM) Universitas Haluoleo



Minggu, 24 Agustus 2008

MAKALAH SEMINAR

Ini makalah yang saya bawa pada seminar yang diadakan atas kerjasama FISIP UNIVERSITAS HALUOLEO DAN DEPARTEMEN LUAR NEGERI RI, pada tanggal 21 Agustus 2008, Bertempat di Auditorium Fisip Unhalu
MENYOAL INDEPENDENSI DAN NETRALITAS DKK PBB
I. Mukadimah
Sejak berdirinya Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) hampir 63 tahun lalu, banyak masyarakat dunia yang menaruh harapan agar lembaga internasional ini mampu memposisikan dirinya sebagai salah satu lembaga yang secara ideal, aktif, dan berkesinambungan, untuk turut serta menjaga perdamaian dunia dalam tatanan masyarakat dunia yang satu (one world only).
Komitmen PBB dalam kerangka menempatkan posisinya sebagai lembaga internasional yang ikut menjaga ketertiban dan keamanan dunia, tereksis dalam salah satu pasal Piagam PBB, sebagai berikut:
“Tujuan PBB adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan untuk tujuan-tujuan itu: mengadakan tindakan-tindakan bersama yang tepat untuk mencegah dan melenyapkan ancaman-ancaman bagi perdamaian, dan meniadakan tindakan-tindakan penyerangan ataupun tindakan lainnya yang mengganggu perdamaian, dan akan menyelesaiakannya dengan jalan damai, dan sesuai dengan azas-azas keadilan dan hukum internasional, mengatur atau menyelesaikan pertikaian-pertikaian internasional atau keadaan-keadaan yang dapat mengganggu perdamaian”[1]

Ketentuan tersebut, sudah merupakan dalil normatif bagi PBB untuk mengeksiskan posisinya yang secara strategis berkewajiban menjaga keamanan dan perdamaian dunia dalam kerangka yang menjunjung azas-azas netralitas serta keadilan.
Guna merealisasikan secara konkrit amanah yang diemban PBB tersebut, maka keberadaan Dewan Keamanan (the Security Council), sebagai salah satu organ kerja dari PBB, adalah dipandang sangat signifikan yang tampaknya tidak bisa dianggap abai. Karena memang prinsip dasar pembentukan Dewan Kemanan (DK) PBB, antara lain adalah keharusan untuk turut bertanggung jawab membantu tugas-tugas PBB dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional.
Amanah yang diemban DK PBB dalam rangka menjalankan tugas dan kewajiban memelihara perdamaian dunia dan keamanan internasional, sebagaimana yang menjadi azas dan tujuan PBB itu sendiri, memang sudah tersurat secara normatif dalam Piagam PBB. Hal itu, terdeskripsi secara gamblang dalam Piagam PBB berkenaan dengan tugas dan kekuasaan DK PBB, berikut ini:
“Untuk menjamin agar PBB dapat menjalankan tindakannya dengan lancar dan sempurna maka anggota-anggotanya memberikan tanggung jawab utama kepada DK untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan menyetujui agar supaya DK PBB dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya di bawah tanggung jawab ini bertindak atas nama mereka”[2]
Selanjutnya dalam Piagam PBB, disebutkan bahwa “dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya, DK PB akan bertindak sesuai dengan tujuan dan azas-azas PBB...[3]
Ketentuan tersebut tampak jelas, mengartikulasikan posisi DK PBB, yang mestinya mengedepankan prinsip-prinsip netralitas dan keadilan dalam upaya menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai “aparat” yang menjaga perdamaian dunia dan keamanan internasional.
Secara idealitas (das sollen), memang agaknya terlalu banyak harapan yang dialamatkan kepada DK PBB sebagai pembawa kesegaran bagi perdamaian dunia, sekaligus segudang pertanyaan yang akan menjadi bahan kajian menarik kita pada seminar hari ini, BETULKAH DK PBB SAMPAI HARI INI MASIH TETAP BERKOMITMEN DENGAN POSISINYA YANG NETRAL, INDEPENDEN, DAN ADIL DALAM MENJALANKAN MISI PEMBAWA PERDAMAIAN DUNIA?
Lantas bagaimana pula dengan peran dan sumbangsih Indonesia, terhadap perdamaian dunia? Yang pada 16 Oktober 2006 telah ditasbihkan sebagai anggota tidak tetap DK PBB, setelah mendapat dukungan dari 158 negara.
Keberadaan Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB, terhitung mulai pada tanggal 1 Januari 2007 hingga tanggal 31 Desember 2008, jelas merupakan tantangan yang dibebankan kepada Indonesia sebagai salah satu anggota yang mewakili kawasan Asia dan sekaligus wakil dari negara berkembang dan berpenduduk mayoritas Muslim. Ada harapan agar Indonesia mampu memberikan warna terhadap kerja Dewan Keamanan, termasuk dalam menentukan prioritas, pendekatan serta upaya reformasi kerja Dewan Keamanan.
Namun yang menjadi pertanyaan penting, dan juga cukup relevan bagi bahan pengkajian kita adalah mampukah Indonesia, dengan keberadaannya sebagai anggota tidak tetap DK PBB, memposisikan diri secara strategis untuk memberikan pengaruh yang signifikan terhadap DK PBB dalam kerangka membawa perdamaian dunia dan keamanan internasional ke arah yang lebih baik? Ataukah malah sebaliknya, Indonesia justru hanya menjadi “penghias” bagi DK PBB, yang tidak mampu berbuat apa-apa demi terciptanya perdamaian dunia dan keamanan internasional?
II. Menyoal Netralitas dan Independensi DK PBB
Dunia saat ini penuh hiruk pikuk yang tergelontori dengan berbagai konflik internasional. Pencuatan konflik itu sesungguhnya berakar dari konflik kepentingan antara negara-negara besar terhadap negara-negara dunia ketiga, dan apabila dicermati secara mendalam motivasi dan pemicu konflik antara lain lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat ideologis serta perebutan sumber-sumber kekayaan alam.
Konflik Timur Tengah misalnya, antara Arab-Israel, adalah lebih bersifat karena berlatar belakang ideologis. Begitu pula konflik di wilayah Irak, Korea Utara menyangkut isu senjata nuklir, sebetulnya karena dipicu oleh sebab-sebab kepentingan perebutan sumber-sumber kekayaan alam. Misalnya, konflik pendudukan AS atas wilayah Irak yang kemudian sampai menggantung Saddam Husein, mantan Presiden Irak, akar pemicu sebetulnya bermula dari ada kepentingan minyak AS di sana, dimana konon Irak ditenggarai memiliki kolam minyak terbesar kedua di dunia.
Dalam konteks konflik internasional yang saban hari makin menyeruak itulah, maka kehadiran DK PBB, tampaknya diharap untuk bisa meredam berbagai konflik dengan tetap berpijak pada paradigma asas yang menjunjung prinsip-prinsip netralitas dan keadilan. Dalam kenyataan memang tak dapat dipungkiri bahwa andil DK PBB, sebagai misi pembawa perdamaian dunia, dalam banyak konflik internasional, senantiasa hadir untuk itu. Bisa kita saksikan secara riil misalnya kehadiran DK PBB sebagai pasukan penjaga perdamaian di beberapa wilayah konflik seperti konflik kawasan yang Timur Tengah, Kongo, Vietnam, Namibia, Kamboja, Somalia, Bosnia-Herzegovina, Mozambik, Filipina, Tajikistan, Sierra Leone, dan Liberia, dan masih banyak lagi yang lain. Termasuk konflik yang terjadi di kawasan Rwanda, yang mendapatkan sanksi embargo senjata melalui Resolusi DK-PBB no 918 tahun 1994.
Melalui Resolusi Dewan Keamanan No 1717 tahun 2006, PBB telah membentuk Pengadilan Kejahatan Internasional bagi semua, termasuk warga negara Rwanda, pelaku pembersihan etnis dan bentuk-bentuk kejahatan lain yang melanggar hukum kemanusiaan internasional di wilayah Rwanda dan negara-negara tetangganya antara 1 Januari hingga 31 Desember 1994. Menurut catatan media, pembantaian atau juga disebut genosida di Rwanda oleh sekelompok ekstrimis suku Hutu telah menewaskan sekitar 800.000 warga suku Tutsi dan Hutu moderat dalam kurun waktu 100 hari saja pada tahun 1994. Serangkaian pembantaian itu dipicu oleh penembakan terhadap Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana, yang berasal dari suku Hutu.
DK PBB yang saat ini beranggotakan lima negara anggota tetap dengan hak veto, seperti AS, Inggris, Perancis, China dan Rusia, serta 10 anggota tidak tetap, yaitu Indonesia, Belgia, Italia, Slovakia, Panama, Peru, Qatar, Afrika Selatan, Republik Demokratik Kongo, dan Ghana. Namun kenyataan menunjukkan pada perjalanan kiprahnya sebagai penjaga perdamaian dunia, DK PBB seolah-olah membisu, terhadap beberapa konflik internasional yang seharusnya ditangani secara serius. Apalagi ketika konflik tersebut sebetulnya merupakan sebuah tindakan terorisme yang mengatasnamakan negara.
Dalam kasus konflik bersenjata antara Hizbullah dan Israel, yang kemudian berimplikasi pada serangan Israel terhadap desa Qana menewaskan sebanyak 60 warga sipil dalam satu serangan yang merenggut paling banyak korban jiwa dalam 19 hari agresinya terhadap pejuang Hizbullah, lalu pendudukan tentara Israel di tepi Jalur Gaza, dan kekejaman Israel terhadap ribuan penduduk sipil Palestina. Sehingga menurut catatan sudah ratusan bahkan ribuan penduduk sipil palestina, yang diantaranya anak-anak dan wanita, tewas menggenaskan akibat bombardir dari tentara Israel. Lalu yang tak pernah dilupakan oleh masyarakat internasional adalah tatkala AS mengagresi Afganistan dan Irak, dengan mengatasnamakan demokrasi, Puluhan ribu orang tewas dan ratusan ribu lainnya luka-luka di Irak dan Afganistan.
Sederet tragedi kemanusiaan itu, tampaknya bisa menjadi catatan penting untuk menyoal kembali netralitas serta keseriusan DK PBB sebagai penganjur perdamaian. Karena tampaknya, DK PBB diam saja ter­hadap tragedi kemanusiaan yang terjadi di Jalur Gaza, serta konflik yang menimpa wilayah Timur Tengah, diman rumah-rumah dan infrastruktur hancur Beserta ratusan manusia te­was dan luka. Ironisnya Jalur Gaza hingga saat ini masih menghadapi blokade yang tidak berperikemanusiaan. DK PBB tidak berbuat apa-apa untuk menolong tangisan penduduk Ja­lur Gaza.
Suatu ketika Presiden Iran, Ahmadinejad, pernah berseloroh tentang keberadaan DK PBB selama bertahun-tahun hanya terkesan melindungi negara kuat dan menjadi bemper negara kaya. Sebaliknya, ujar dia, DK PBB mengabaikan kaum lemah.
Asumsi dan sinyalemen Presiden Irak itu, bukanlah sebuah statement kosong yang tanpa didasari oleh argumentasi faktual. Dalam masalah nuklir misalnya, menjadi keanehan adalah justeru kelima negara anggota tetap DK PBB, mereka diberikan keleluasaan untuk tetap memiliki senjata nuklir, yang mengherankan juga adalah tidak berdayanya DK PBB mencegah produksi dan parade senjata nuklir yang semakin berani dipertontonkan oleh Israel. Padahal untuk kasus yang sama seperti energi tenaga nuklir yang disimpan oleh Iran dan Korea Utara, DK PBB begitu getol mendesak kedua negara untuk “mengamankan” nuklir disimpan kedua negara itu.
Pada kasus kekejaman serta penyiksaan oleh tentara AS terhadap tawanan perang di penjara Guantanamo dan penjara Abu Ghuraib, tampaknya DK PBB seolah menutup mata dan diam, terhadap kejahatan-kejahatan tersebut, yang jelas merupakan pelanggaran hukum internasional, terutama pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan terhadap korban dan tawanan perang.
Sederet deskripsi kejahatan kemanusiaan dan kejahatan internasional yang terpampang tersebut, semakin memperkuat argumentasi faktual, untuk menyimpulkan gugatan terhadap independensi serta netralitas DK PBB dalam kerangka sebagai lembaga penganjur perdamaian dunia.
Hal paling krusial yang secara akademik untuk kembali menggugat netralitas PBB adalah soal keberadaan hak veto dari lima anggota tetap DK PBB, masing-masing AS, Inggris, Perancis, China dan Rusia. Pada faktanya keberadaan hak veto justeru hanya menjadi alat legitimasi sepihak dari negara-negara tertentu yang terepresentasi dari sikap setiap anggota tetap DK PBB, demi kepentingan-kepentingan politik yang avonturistik serta bersifat sepihak. Artinya, tidak jarang hak veto dari anggota tetap DK PBB, lebih bernuansa politis, bukan untuk kepentingan menempatkan keberadaan DK PBB, sebagai lembaga perdamaian yang netral dan tidak berat sebelah dengan berbagai konflik kepentingan antar negara.
III. Posisi dan Peran Strategis Indonesia sebagai Anggota Tidak Tetap DK PBB
Indonesia telah dinobatkan sebagai anggota tidak tetap DK PBB untuk masa tugas 2007-2008. Duduknya Indonesia sebagai anggota, paling tidak dukungan yang luas terhadap keanggotaan Indonesia di Dewan Keamanan ini, tampaknya merupakan cerminan pengakuan masyarakat internasional terhadap peran dan sumbangan Indonesia selama ini dalam upaya menciptakan keamanan dan perdamaian baik pada tingkat kawasan maupun global. Peran dan kontribusi Indonesia tersebut, mencakup antara lain keterlibatan pasukan Indonesia di berbagai misi penjagaan perdamaian PBB sejak tahun 1957; upaya perdamaian di kawasan seperti Kamboja dan Filipina Selatan. Begitu juga, dalam konteks ASEAN, Indonesia pernah ikut serta menciptakan tatanan kawasan di bidang perdamaian dan keamanan, serta peran aktif di berbagai forum pembahasan isu perlucutan senjata dan non-proliferasi nuklir.
Dengan terpilih menjadi anggota, berarti Indonesia akan mengemban kepercayaan masyarakat internasional untuk berpartisipasi menjadikan Dewan Keamanan sebagai badan yang efektif untuk menghadapi tantangan-tantangan global di bidang perdamaian dan keamanan saat ini.
Keanggotaan Indonesia di Dewan Keamanan merupakan wujud dari upaya di bidang diplomasi untuk melaksanakan amanah Pembukaan UUD 1945, yang memandatkan Indonesia untuk “turut serta secara aktif dalam upaya menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kebebasan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Meski posisi kunci telah dimiliki Indonesia dengan menjadi anggota tidak tetap DK PBB, sekaligus menjadi tonggak baru bagi Indonesia untuk menjalankan misi politik luar negerinya yang bebas aktif sesuai amanat Pembukaan UUD 1945. Namun, menjadi soal adalah ketidakberdayaan pemerintah Indonesia untuk mendesak DK PBB guna melakukan tindakan konkrit berupa sanksi internasional terhadap negara-negara tertentu yang melakukan “premanisme internasional” yang berdampak pada jatuhnya korban ribuan penduduk sipil tak berdosa.
Dalam kasus serangan militer Israel atas Wilayah Beit Hanun, Gaza bagian utara pada tanggal 8 November 2006, yang telah menewaskan 18 warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, serta melukai beberapa orang lainnya. Indonesia gagal mendesak DK PBB mengeluarkan sebuah resolusi untuk menghukum tindakan biadab Israel tersebut. Pada kasus ini, Indonesia paling banter hanya mengeluarkan press release (siaran pers) Nomor 86/PR/XI/2006 tentang Pernyataan Sikap Pemerintah Indonesia yang mengutuk keras serangan militer Israel terhadap wilayah Beit Hanun, Gaza bagian utara pada tanggal 8 November 2006.
Kekhawatiran penulis adalah jangan sampai posisi Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB yang dapat diibaratkan sebagai satria penjaga perdamaian tanpa samurai. Yaitu posisi yang justru menempatkan Indonesia sebagai penghias DK PBB, sungguh sangat disayangkan.
IV Penutup
Berbagai konflik kepentingan internasional yang saat ini mendera masyarakat internasional dengan dominasi banyak kepentingan yang direpresentasikan Negara-negara besar semisal AS, kemudian fakta dari berbagai kriminalitas yang ditunjukkan oleh negara-negara maju terhadap negara-negara dunia ketiga. Konflik Arab Israel yang tak kunjung selesai. Lalu kejahatan tentara AS di Irak dan Afganistan. Menjadi bahan renungan kita, masih bisakah kita menaruh harapan kepada DK PBB sebagai penganjur perdamaian dunia? Wallahu a’lam bi ash shawab.
BIODATA
Nama : MUH SJAIFUL SH MH
Alamat Kantor : Kampus III Universitas Haluoleo, Fakultas Hukum
Pekerjaan : Dosen Pada
1. Fakultas Hukum Universitas Haluoleo
2. Fisip Unhalu
3. Fakultas Teknik Universitas Haluoleo
4. Pascasarjana Kerjasama Universitas Muhammadiyah Kendari dan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Program Studi Ilmu-Ilmu Hukum
Lain-Lain : Kolumnis tetap Pada Harian Kendari Pos, Harian Kendari Ekspres dan Harian Media Sultra
Menjadi pembicara pada berbagai seminar lokal dan seminar nasional untuk wilayah Provinsi Sultra
Email : hamadsaiful@yahoo.com
Situs :hamadsaiful.blogspot.com

[1] Piagam PBB Pasal Ayat 1
[2] Piagam PBB Pasal 24 Ayat 1
[3] Piagam PBB Pasal 24 Ayat 2

Kamis, 03 Januari 2008

Prospek Penegakan Hukum 2008

Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Kini kita telah berada pada babak baru episode perjalanan kehidupan tahun 2008. Ada beberapa catatan yang agaknya bisa dijadikan sebagai bahan analisis guna menilai prospek penegakan hukum bangsa ini kedepan. Menurut penulis, ini penting dilakukan mengingat berbagai drama penegakan hukum sepanjang 2007, masih menimbulkan kekecewaan publik. Apalagi misalnya menurut catatan akhir tahun pemberantasan korupsi oleh Pusat Kajian Anti Korupsi atau PuKAT Universitas Gadjah Mada menyatakan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah gagal dalam upaya pemberantasan korupsi. Pada tahun 2007, pengungkapan kasus korupsi belum menyentuh aktor besar dan masih terpusat pada pemberantasan di daerah-daerah.
Kini 2007 telah berlalu, tetapi wajah penegakan hukum yang masih belepotan serta belum menunjukkan tanda-tanda kearah perbaikan berarti, paling tidak untuk kesekian kalinya, bisa menjadi rujukan utama dalam memprediksi prospek penegakan hukum kita pada 2008.
Bila saja kita jujur mencermati derap perjalanan proses penegakan hukum di tanah air pasca era reformasi. Sejatinya hanya mengulang lagu lama “masih seperti yang dulu”. Wajarlah kalau kemudian banyak kalangan masyarakat yang menaruh harapan pesimistik terhadap keberhasilan penegakan hukum di tanah air. Harapan pesimistik masyarakat itu, juga diperkuat dengan parahnya mental aparat hukum termasuk struktur politik di level kekuasaan yang menjadikan hukum tak ubahnya sebagai dagelan.
Nyaris sepuluh tahun setelah era reformasi, upaya modernisasi dan perlengkapan lembaga hukum terbukti belum mampu memberangus praktik korupsi, perampokan uang negara, dan penjarahan hasil hutan sampai keakar-akarnya. Penggerusan dan pencurian aset-aset negara dalam segala level, bukannya dapat ditebang habis tapi malah semakin parah.
Atas dasar pemikiran demikian, bercermin dari wajah penegakan hukum di tanah air yang belum mengalami perubahan secara siginifikan selama sepuluh tahun lewat, maka sudah dapat dipastikan, prospek penegakan hukum, khusus 2008 ini, masih akan tetap stagnan (baca macet).
Pada 2008 ini, kita tampaknya kembali akan siap kecewa menyaksikan suguhan drama proses penegakan hukum yang dikangkangi arus kepentingan elite penguasa dan tersamarkan dalam spekulasi politik serta pihak-pihak yang berduit. Karena itu, semangat untuk memberantas praktik-praktik korupsi serta penilepan uang negara nantinya sekadar sebuah kosmetik.
Sangat boleh jadi, wajah penegakan hukum 2008 akan lebih disemaraki oleh parade pembebasan kesalahan hukum para aktor politik yang punya kedekatan dan atau yang dianggap punya jasa-jasa politik dengan pusat-pusat kekuasaan. Ini bisa mengulang lagi seperti pada kasus yang meminggirkan dalam arti menyelamatkan Yusril Ihza Mahendra dan Taufiequrachman Ruki, yang diselesaikan secara adat oleh Presiden SBY, ketika keduanya saling tuding menilep uang Negara.
Untuk itu, ketidakberdayaan hukum untuk menegakkan asas “equal under the law” semua orang sama di hadapan hukum, kembali akan dimentahkan oleh arus penghadangan atas nama kepentingan politik. Sebab nantinya berbagai peristiwa hukum makro yang menggelinding pada 2008 ini, yang berhadapan dengan derasnya kepentingan politik, secara nyata “vis a vis” akan terjadi tarik ulur antara keharusan menegakkan keadilan serta kepastian hukum dengan selera politik para kelompok elitis.
Sehingga boleh jadi, berbagai kasus hukum yang menggelinding di 2008 ini, baik yang merupakan warisan dari 2007 maupun yang muncul kemudian, seperti korupsi kelas kakap, penjarahan hutan besar-besaran, pengrusakan lingkungan, penyalahgunaan jabatan, dan sengketa pilkada, hukum seolah tak berdaya untuk menghindarkan diri dari stigma tebang pilih. Terutama dari para aktor politik yang punya akses besar dalam melaksanakan berbagai kebijakan pemerintah saat ini. Akibatnya, pada berbagai kasus besar yang kemudian dicuatkan menjadi konsumsi publik, hukum diposisikan sebagai sarana representasi kepentingan dari aktor politik.
Begitu juga penegakan hukum pada level “grass root” (baca akar rumput), pada 2008 ini, bisa dipastikan bakal disemaraki oleh perampasan hak-hak rakyat dengan dalih atas nama kepentingan umum, seperti aksi penggusuran dan pencaplokan tanah warga. Begitu juga, penyetopan bantuan dan subsidi sebagai hak rakyat yang dijamin konstitusi berdalih negara minus anggaran belanja, akan kembali mewarnai derap penegakan hukum tahun ini.
Tidak hanya itu, warga masyarakat pencari keadilan, seperti mengulang lagu lama, tetap terganjal oleh mafia peradilan yang ditengarai dengan maraknya jual beli hukum yang memang sejak dulu menggerogoti lembaga penegakan hukum kita.
Tapi sekali lagi ironi penegakan hukum yang paling mengemuka 2008 ini, adalah seputar kekalahan hukum oleh praktik politik yang antara lain dikonstruksi dengan terjadinya represivitas politik atas hukum. Sehingga jika postur penegakan hukum kita pada 2008 ini, memang demikian, maka sekaligus memperbenar anggapan bahwa hukum model demikian hanya dimanfaatkan sebagai bagian dari komoditas politik. Hukum tak ubahnya dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi tindakan politik “cuci tangan”. Jika pemanfaatan demikian tidak segera dibetulkan, kinerja hukum tidak akan pernah beres, impartialitas hukum tidak bisa terwujud. Hukum yang diposisikan sebagai elemen yang bersifat subordinat dari politik, akan menimbulkan ketidakpastian dan mengabaikan rasa keadilan.
Atas dasar itu, wajarlah kalau kemudian banyak kasus yang berlangsung dari tahun-tahun sebelumnya tak kunjung juga selesai tertangani hingga tahun 2007. Misalnya saja penyelesaian kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir, sepertinya buntu mengungkapkan aktor intelektual di baliknya. Hiruk-pikuk penanganan korupsi pun masih banyak mewarnai wacana penegakan hukum dengan berbagai spekulasi politik di belakangnya. Bahkan, penghujung 2007 pun ditutup dengan kontroversi proses pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dituding sarat dengan kepentingan politik menjelang Pemilu 2009.
Lalu bagaimana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap wajah penegakan hukum nasional kita 2008 ini? Sepertinya kekecewaan publik atas kinerja lembaga penegakan hukum masih menguat, terlebih ketika publik menyaksikan upaya yang dilakukan lembaga penegak hukum yang tak dapat memuaskan harapan masyarakat, apalagi ketika hukum harus diperhadapkan pada pengaruh kekuatan politik, uang, kekeluargaan dan pertemanan.
Lantas mengapa, penegakan hukum sepanjang 2008 ini, akan tetap masih seperti yang dulu lagi? Paling tidak menurut pencermatan penulis, adalah sangat dipengaruhi oleh tiga indikator. Pertama, substansi produk hukum tertulis yang selama ini diberlakukan, cenderung memuat sejumlah pasal yang sangat ambigu (penuh kerancuan), akibatnya membuka ruang penafsiran bebas bagi pihak-pihak tertentu untuk mengangkangi hukum. Contohnya, sejumlah pasal dalam produk Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan berbagai penafsirannya, justru membuka ruang konflik dalam proses penyelenggaran pilkada pada berbagai tempat di tanah air. Selain itu, yang celakanya juga, kita masih saksikan sejumlah produk hukum tertulis yang tidak memberikan keberpihakan bagi kesejahteraan rakyat. Malah melegitimasi para elit politik untuk menari-nari di atas penderitaan rakyat. Lahirnya PP Nomor 37 Tahun 2006 tentang besaran tunjangan bagi anggota legislatif, merupakan contoh untuk itu.
Kedua, struktur aparat penegak hukum kita selama ini, `agaknya masih terdiri dari kelompok sapu kotor (the dirty sweeps). Merekalah kemudian yang punya andil atas morat-maritnya dunia peradilan kita selama ini. Ketiga, masyarakat bangsa ini konon tidak punya rasa takut terhadap sanksi hukum yang berlaku. Tiga faktor itulah nanti yang tampaknya mempengaruhi prospek penegakan hukum kita yang kian amburadul pada 2008 ini. Wallahu 'alam. (*)