Minggu, 24 Agustus 2008

MAKALAH SEMINAR

Ini makalah yang saya bawa pada seminar yang diadakan atas kerjasama FISIP UNIVERSITAS HALUOLEO DAN DEPARTEMEN LUAR NEGERI RI, pada tanggal 21 Agustus 2008, Bertempat di Auditorium Fisip Unhalu
MENYOAL INDEPENDENSI DAN NETRALITAS DKK PBB
I. Mukadimah
Sejak berdirinya Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) hampir 63 tahun lalu, banyak masyarakat dunia yang menaruh harapan agar lembaga internasional ini mampu memposisikan dirinya sebagai salah satu lembaga yang secara ideal, aktif, dan berkesinambungan, untuk turut serta menjaga perdamaian dunia dalam tatanan masyarakat dunia yang satu (one world only).
Komitmen PBB dalam kerangka menempatkan posisinya sebagai lembaga internasional yang ikut menjaga ketertiban dan keamanan dunia, tereksis dalam salah satu pasal Piagam PBB, sebagai berikut:
“Tujuan PBB adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan untuk tujuan-tujuan itu: mengadakan tindakan-tindakan bersama yang tepat untuk mencegah dan melenyapkan ancaman-ancaman bagi perdamaian, dan meniadakan tindakan-tindakan penyerangan ataupun tindakan lainnya yang mengganggu perdamaian, dan akan menyelesaiakannya dengan jalan damai, dan sesuai dengan azas-azas keadilan dan hukum internasional, mengatur atau menyelesaikan pertikaian-pertikaian internasional atau keadaan-keadaan yang dapat mengganggu perdamaian”[1]

Ketentuan tersebut, sudah merupakan dalil normatif bagi PBB untuk mengeksiskan posisinya yang secara strategis berkewajiban menjaga keamanan dan perdamaian dunia dalam kerangka yang menjunjung azas-azas netralitas serta keadilan.
Guna merealisasikan secara konkrit amanah yang diemban PBB tersebut, maka keberadaan Dewan Keamanan (the Security Council), sebagai salah satu organ kerja dari PBB, adalah dipandang sangat signifikan yang tampaknya tidak bisa dianggap abai. Karena memang prinsip dasar pembentukan Dewan Kemanan (DK) PBB, antara lain adalah keharusan untuk turut bertanggung jawab membantu tugas-tugas PBB dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional.
Amanah yang diemban DK PBB dalam rangka menjalankan tugas dan kewajiban memelihara perdamaian dunia dan keamanan internasional, sebagaimana yang menjadi azas dan tujuan PBB itu sendiri, memang sudah tersurat secara normatif dalam Piagam PBB. Hal itu, terdeskripsi secara gamblang dalam Piagam PBB berkenaan dengan tugas dan kekuasaan DK PBB, berikut ini:
“Untuk menjamin agar PBB dapat menjalankan tindakannya dengan lancar dan sempurna maka anggota-anggotanya memberikan tanggung jawab utama kepada DK untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan menyetujui agar supaya DK PBB dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya di bawah tanggung jawab ini bertindak atas nama mereka”[2]
Selanjutnya dalam Piagam PBB, disebutkan bahwa “dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya, DK PB akan bertindak sesuai dengan tujuan dan azas-azas PBB...[3]
Ketentuan tersebut tampak jelas, mengartikulasikan posisi DK PBB, yang mestinya mengedepankan prinsip-prinsip netralitas dan keadilan dalam upaya menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai “aparat” yang menjaga perdamaian dunia dan keamanan internasional.
Secara idealitas (das sollen), memang agaknya terlalu banyak harapan yang dialamatkan kepada DK PBB sebagai pembawa kesegaran bagi perdamaian dunia, sekaligus segudang pertanyaan yang akan menjadi bahan kajian menarik kita pada seminar hari ini, BETULKAH DK PBB SAMPAI HARI INI MASIH TETAP BERKOMITMEN DENGAN POSISINYA YANG NETRAL, INDEPENDEN, DAN ADIL DALAM MENJALANKAN MISI PEMBAWA PERDAMAIAN DUNIA?
Lantas bagaimana pula dengan peran dan sumbangsih Indonesia, terhadap perdamaian dunia? Yang pada 16 Oktober 2006 telah ditasbihkan sebagai anggota tidak tetap DK PBB, setelah mendapat dukungan dari 158 negara.
Keberadaan Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB, terhitung mulai pada tanggal 1 Januari 2007 hingga tanggal 31 Desember 2008, jelas merupakan tantangan yang dibebankan kepada Indonesia sebagai salah satu anggota yang mewakili kawasan Asia dan sekaligus wakil dari negara berkembang dan berpenduduk mayoritas Muslim. Ada harapan agar Indonesia mampu memberikan warna terhadap kerja Dewan Keamanan, termasuk dalam menentukan prioritas, pendekatan serta upaya reformasi kerja Dewan Keamanan.
Namun yang menjadi pertanyaan penting, dan juga cukup relevan bagi bahan pengkajian kita adalah mampukah Indonesia, dengan keberadaannya sebagai anggota tidak tetap DK PBB, memposisikan diri secara strategis untuk memberikan pengaruh yang signifikan terhadap DK PBB dalam kerangka membawa perdamaian dunia dan keamanan internasional ke arah yang lebih baik? Ataukah malah sebaliknya, Indonesia justru hanya menjadi “penghias” bagi DK PBB, yang tidak mampu berbuat apa-apa demi terciptanya perdamaian dunia dan keamanan internasional?
II. Menyoal Netralitas dan Independensi DK PBB
Dunia saat ini penuh hiruk pikuk yang tergelontori dengan berbagai konflik internasional. Pencuatan konflik itu sesungguhnya berakar dari konflik kepentingan antara negara-negara besar terhadap negara-negara dunia ketiga, dan apabila dicermati secara mendalam motivasi dan pemicu konflik antara lain lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat ideologis serta perebutan sumber-sumber kekayaan alam.
Konflik Timur Tengah misalnya, antara Arab-Israel, adalah lebih bersifat karena berlatar belakang ideologis. Begitu pula konflik di wilayah Irak, Korea Utara menyangkut isu senjata nuklir, sebetulnya karena dipicu oleh sebab-sebab kepentingan perebutan sumber-sumber kekayaan alam. Misalnya, konflik pendudukan AS atas wilayah Irak yang kemudian sampai menggantung Saddam Husein, mantan Presiden Irak, akar pemicu sebetulnya bermula dari ada kepentingan minyak AS di sana, dimana konon Irak ditenggarai memiliki kolam minyak terbesar kedua di dunia.
Dalam konteks konflik internasional yang saban hari makin menyeruak itulah, maka kehadiran DK PBB, tampaknya diharap untuk bisa meredam berbagai konflik dengan tetap berpijak pada paradigma asas yang menjunjung prinsip-prinsip netralitas dan keadilan. Dalam kenyataan memang tak dapat dipungkiri bahwa andil DK PBB, sebagai misi pembawa perdamaian dunia, dalam banyak konflik internasional, senantiasa hadir untuk itu. Bisa kita saksikan secara riil misalnya kehadiran DK PBB sebagai pasukan penjaga perdamaian di beberapa wilayah konflik seperti konflik kawasan yang Timur Tengah, Kongo, Vietnam, Namibia, Kamboja, Somalia, Bosnia-Herzegovina, Mozambik, Filipina, Tajikistan, Sierra Leone, dan Liberia, dan masih banyak lagi yang lain. Termasuk konflik yang terjadi di kawasan Rwanda, yang mendapatkan sanksi embargo senjata melalui Resolusi DK-PBB no 918 tahun 1994.
Melalui Resolusi Dewan Keamanan No 1717 tahun 2006, PBB telah membentuk Pengadilan Kejahatan Internasional bagi semua, termasuk warga negara Rwanda, pelaku pembersihan etnis dan bentuk-bentuk kejahatan lain yang melanggar hukum kemanusiaan internasional di wilayah Rwanda dan negara-negara tetangganya antara 1 Januari hingga 31 Desember 1994. Menurut catatan media, pembantaian atau juga disebut genosida di Rwanda oleh sekelompok ekstrimis suku Hutu telah menewaskan sekitar 800.000 warga suku Tutsi dan Hutu moderat dalam kurun waktu 100 hari saja pada tahun 1994. Serangkaian pembantaian itu dipicu oleh penembakan terhadap Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana, yang berasal dari suku Hutu.
DK PBB yang saat ini beranggotakan lima negara anggota tetap dengan hak veto, seperti AS, Inggris, Perancis, China dan Rusia, serta 10 anggota tidak tetap, yaitu Indonesia, Belgia, Italia, Slovakia, Panama, Peru, Qatar, Afrika Selatan, Republik Demokratik Kongo, dan Ghana. Namun kenyataan menunjukkan pada perjalanan kiprahnya sebagai penjaga perdamaian dunia, DK PBB seolah-olah membisu, terhadap beberapa konflik internasional yang seharusnya ditangani secara serius. Apalagi ketika konflik tersebut sebetulnya merupakan sebuah tindakan terorisme yang mengatasnamakan negara.
Dalam kasus konflik bersenjata antara Hizbullah dan Israel, yang kemudian berimplikasi pada serangan Israel terhadap desa Qana menewaskan sebanyak 60 warga sipil dalam satu serangan yang merenggut paling banyak korban jiwa dalam 19 hari agresinya terhadap pejuang Hizbullah, lalu pendudukan tentara Israel di tepi Jalur Gaza, dan kekejaman Israel terhadap ribuan penduduk sipil Palestina. Sehingga menurut catatan sudah ratusan bahkan ribuan penduduk sipil palestina, yang diantaranya anak-anak dan wanita, tewas menggenaskan akibat bombardir dari tentara Israel. Lalu yang tak pernah dilupakan oleh masyarakat internasional adalah tatkala AS mengagresi Afganistan dan Irak, dengan mengatasnamakan demokrasi, Puluhan ribu orang tewas dan ratusan ribu lainnya luka-luka di Irak dan Afganistan.
Sederet tragedi kemanusiaan itu, tampaknya bisa menjadi catatan penting untuk menyoal kembali netralitas serta keseriusan DK PBB sebagai penganjur perdamaian. Karena tampaknya, DK PBB diam saja ter­hadap tragedi kemanusiaan yang terjadi di Jalur Gaza, serta konflik yang menimpa wilayah Timur Tengah, diman rumah-rumah dan infrastruktur hancur Beserta ratusan manusia te­was dan luka. Ironisnya Jalur Gaza hingga saat ini masih menghadapi blokade yang tidak berperikemanusiaan. DK PBB tidak berbuat apa-apa untuk menolong tangisan penduduk Ja­lur Gaza.
Suatu ketika Presiden Iran, Ahmadinejad, pernah berseloroh tentang keberadaan DK PBB selama bertahun-tahun hanya terkesan melindungi negara kuat dan menjadi bemper negara kaya. Sebaliknya, ujar dia, DK PBB mengabaikan kaum lemah.
Asumsi dan sinyalemen Presiden Irak itu, bukanlah sebuah statement kosong yang tanpa didasari oleh argumentasi faktual. Dalam masalah nuklir misalnya, menjadi keanehan adalah justeru kelima negara anggota tetap DK PBB, mereka diberikan keleluasaan untuk tetap memiliki senjata nuklir, yang mengherankan juga adalah tidak berdayanya DK PBB mencegah produksi dan parade senjata nuklir yang semakin berani dipertontonkan oleh Israel. Padahal untuk kasus yang sama seperti energi tenaga nuklir yang disimpan oleh Iran dan Korea Utara, DK PBB begitu getol mendesak kedua negara untuk “mengamankan” nuklir disimpan kedua negara itu.
Pada kasus kekejaman serta penyiksaan oleh tentara AS terhadap tawanan perang di penjara Guantanamo dan penjara Abu Ghuraib, tampaknya DK PBB seolah menutup mata dan diam, terhadap kejahatan-kejahatan tersebut, yang jelas merupakan pelanggaran hukum internasional, terutama pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan terhadap korban dan tawanan perang.
Sederet deskripsi kejahatan kemanusiaan dan kejahatan internasional yang terpampang tersebut, semakin memperkuat argumentasi faktual, untuk menyimpulkan gugatan terhadap independensi serta netralitas DK PBB dalam kerangka sebagai lembaga penganjur perdamaian dunia.
Hal paling krusial yang secara akademik untuk kembali menggugat netralitas PBB adalah soal keberadaan hak veto dari lima anggota tetap DK PBB, masing-masing AS, Inggris, Perancis, China dan Rusia. Pada faktanya keberadaan hak veto justeru hanya menjadi alat legitimasi sepihak dari negara-negara tertentu yang terepresentasi dari sikap setiap anggota tetap DK PBB, demi kepentingan-kepentingan politik yang avonturistik serta bersifat sepihak. Artinya, tidak jarang hak veto dari anggota tetap DK PBB, lebih bernuansa politis, bukan untuk kepentingan menempatkan keberadaan DK PBB, sebagai lembaga perdamaian yang netral dan tidak berat sebelah dengan berbagai konflik kepentingan antar negara.
III. Posisi dan Peran Strategis Indonesia sebagai Anggota Tidak Tetap DK PBB
Indonesia telah dinobatkan sebagai anggota tidak tetap DK PBB untuk masa tugas 2007-2008. Duduknya Indonesia sebagai anggota, paling tidak dukungan yang luas terhadap keanggotaan Indonesia di Dewan Keamanan ini, tampaknya merupakan cerminan pengakuan masyarakat internasional terhadap peran dan sumbangan Indonesia selama ini dalam upaya menciptakan keamanan dan perdamaian baik pada tingkat kawasan maupun global. Peran dan kontribusi Indonesia tersebut, mencakup antara lain keterlibatan pasukan Indonesia di berbagai misi penjagaan perdamaian PBB sejak tahun 1957; upaya perdamaian di kawasan seperti Kamboja dan Filipina Selatan. Begitu juga, dalam konteks ASEAN, Indonesia pernah ikut serta menciptakan tatanan kawasan di bidang perdamaian dan keamanan, serta peran aktif di berbagai forum pembahasan isu perlucutan senjata dan non-proliferasi nuklir.
Dengan terpilih menjadi anggota, berarti Indonesia akan mengemban kepercayaan masyarakat internasional untuk berpartisipasi menjadikan Dewan Keamanan sebagai badan yang efektif untuk menghadapi tantangan-tantangan global di bidang perdamaian dan keamanan saat ini.
Keanggotaan Indonesia di Dewan Keamanan merupakan wujud dari upaya di bidang diplomasi untuk melaksanakan amanah Pembukaan UUD 1945, yang memandatkan Indonesia untuk “turut serta secara aktif dalam upaya menciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kebebasan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Meski posisi kunci telah dimiliki Indonesia dengan menjadi anggota tidak tetap DK PBB, sekaligus menjadi tonggak baru bagi Indonesia untuk menjalankan misi politik luar negerinya yang bebas aktif sesuai amanat Pembukaan UUD 1945. Namun, menjadi soal adalah ketidakberdayaan pemerintah Indonesia untuk mendesak DK PBB guna melakukan tindakan konkrit berupa sanksi internasional terhadap negara-negara tertentu yang melakukan “premanisme internasional” yang berdampak pada jatuhnya korban ribuan penduduk sipil tak berdosa.
Dalam kasus serangan militer Israel atas Wilayah Beit Hanun, Gaza bagian utara pada tanggal 8 November 2006, yang telah menewaskan 18 warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, serta melukai beberapa orang lainnya. Indonesia gagal mendesak DK PBB mengeluarkan sebuah resolusi untuk menghukum tindakan biadab Israel tersebut. Pada kasus ini, Indonesia paling banter hanya mengeluarkan press release (siaran pers) Nomor 86/PR/XI/2006 tentang Pernyataan Sikap Pemerintah Indonesia yang mengutuk keras serangan militer Israel terhadap wilayah Beit Hanun, Gaza bagian utara pada tanggal 8 November 2006.
Kekhawatiran penulis adalah jangan sampai posisi Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK PBB yang dapat diibaratkan sebagai satria penjaga perdamaian tanpa samurai. Yaitu posisi yang justru menempatkan Indonesia sebagai penghias DK PBB, sungguh sangat disayangkan.
IV Penutup
Berbagai konflik kepentingan internasional yang saat ini mendera masyarakat internasional dengan dominasi banyak kepentingan yang direpresentasikan Negara-negara besar semisal AS, kemudian fakta dari berbagai kriminalitas yang ditunjukkan oleh negara-negara maju terhadap negara-negara dunia ketiga. Konflik Arab Israel yang tak kunjung selesai. Lalu kejahatan tentara AS di Irak dan Afganistan. Menjadi bahan renungan kita, masih bisakah kita menaruh harapan kepada DK PBB sebagai penganjur perdamaian dunia? Wallahu a’lam bi ash shawab.
BIODATA
Nama : MUH SJAIFUL SH MH
Alamat Kantor : Kampus III Universitas Haluoleo, Fakultas Hukum
Pekerjaan : Dosen Pada
1. Fakultas Hukum Universitas Haluoleo
2. Fisip Unhalu
3. Fakultas Teknik Universitas Haluoleo
4. Pascasarjana Kerjasama Universitas Muhammadiyah Kendari dan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Program Studi Ilmu-Ilmu Hukum
Lain-Lain : Kolumnis tetap Pada Harian Kendari Pos, Harian Kendari Ekspres dan Harian Media Sultra
Menjadi pembicara pada berbagai seminar lokal dan seminar nasional untuk wilayah Provinsi Sultra
Email : hamadsaiful@yahoo.com
Situs :hamadsaiful.blogspot.com

[1] Piagam PBB Pasal Ayat 1
[2] Piagam PBB Pasal 24 Ayat 1
[3] Piagam PBB Pasal 24 Ayat 2