Selasa, 10 Februari 2009

Cerpen Terbaru

Cerpen Muh Sjaiful
Mengaku Jadi Nabi
Matahari sangat terik. Sinaran panasnya seumpama berasal dari lontaran bola api yang menghanguskan jagad raya. Sesosok laki-laki setengah tua, bertubuh jangkung wajah tirus, berdiri angkuh di tengah kerumunan penduduk desa yang bermandikan peluh. Kendati terpanggang di bawah sengat matahari, para penduduk desa itu tetap khidmat mendengar celotehan khotbah laki-laki setengah tua barusan. Ia oleh penduduk desa sering dipanggil Tuan Opu Guru. “Wahai kalian pengikutku, aku adalah laki-laki terbaik di antara kalian yang datang sebagai nabi. Sebagai Imam Mahdi akhir zaman yang dijanjikan. Dalam kitab Taskirah yang tertulis sebagai hasil perenungan suciku bahwa titah Tuhan yang agung telah menoreh ke lidahku. Akulah juga sang nabi. Maka dengarlah kata-kataku”
Penduduk desa semakin terpesona dengan kata-kata Tuan Opu Guru. Seperti sedang menerima setetes air dingin yang jatuh dari tujuh petala langit lalu menyusuri kerongkongan-kerongkongan yang dahaga. Ya...memang mereka penduduk desa itu sedang dahaga akan nilai-nilai spiritual. Jiwa mereka kering bak oase di musim kemarau yang sedang menanti tetes hujan.
Apalagi sejak dirubuhkannya surau desa untuk alasan pengembangan jalan desa. Sebuah alasan yang memang tidak masuk akal. Lantaran untuk kepentingan segepok duit, aparat desa rela berkolaborasi dengan para begundal pihak developer. Meruntuhkan bangunan surau menjadi puing-puing tanpa bekas. Praktis penduduk desa sudah tidak punya tempat sebagai wahana mendengar petuah-petuah kesejukan Islam sebagai mabda.
Fatir, Seorang ustadz muda yang tidak pernah bosan melakukan tasqif kepada penduduk desa, terpaksa harus hengkang. Surau desa sebagai sentrum dakwahnya kepada penduduk sudah tidak berdiri kokoh. Kendati ia sudah mengajukan berbagai argumentasi yang masuk akal supaya surau desa jangan dirubuhkan. Namun aparat desa tidak bergeming. Surau desa tetap harus dirubuhkan. Ustadz Fatir malah dituding menghasut warga untuk melakukan makar dan mengganggu ketertiban desa. Untuk alasan strategi dakwah, ia memilih untuk hengkang dulu dimana suatu saat ia pasti kembali lagi menata dakwah yang sudah dibangunnya selama satu tahun. Ia hengkang bukan karena takut atau sudah bosan berdakwah.
Kedatangan sosok Tuan Opu Guru disambut penduduk desa, terutama yang lemah iman, bak juru selamat yang membawa air kesejukan spiritual. Namun hakikatnya, air yang disangka sejuk itu, ternyata membawa racun yang siap mematikan pohon-pohon keimanan serta aqidah Islam di dalam dada sebahagian penduduk desa yang sejatinya belum berakar kokoh.
“Bacalah kitab Taskirah yang kutulis. Isinya menorehkan sebuah perjalanan spiritual dari hasil pertemuan ruh-ku yang suci dengan Sang Pencipta. Di dalamnya memuat sejumlah kata-kata Tuhan yang tergurat melalui lidahku. Ikutilah titahnya. Maka Murtadlah dan kafirlah orang-orang yang menolak Taskirah-ku itu”. Mulut Tuan Opu Guru terus nyerocos. Kata-kata yang dikeluarkannya sudah menelikung serta merusak kitab suci mulia yang dulunya sering diperdengarkan kepada penduduk desa oleh Ustadz Fatir pada tiap-tiap ba’da magrib atau Isya.
“Maaf Tuan Opu Guru!!!” Salah seorang pemuda krempeng berkulit legam dengan suara bergetar mengacungkan tangan. “Setiap nabi yang diutus Sang Pencipta pasti memiliki mukjizat. Tuan Opu Guru pasti memiliki mukjizat untuk membuktian kenabiannya. Bisakah Tuan Guru menunjukkan mukjizat itu?”
“Ha...ha...ha...”, Suara tawa Tuan Opu Guru menggelak membelah angkasa. Seperti lengkingan tawa iblis yang mengejek orang dungu yang menghamba kebatilan.
Tangan Tuan Opu Guru menengadah ke langit, sejurus di balik tangannya menyembur mirip asap yang membuat kabut putih. Mata penduduk desa jadi nanar lalu terjatuh tak sadarkan diri. Perlahan-lahan suara Tuan Opu Guru yang tadinya menggelegar bak suara iblis, tiba-tiba menghilang. Bersamaan dengan itu, raga Tuan Opu Guru lenyap.
Lima menit bentang waktu, penduduk desa itu siuman. Di hadapan mereka sudah tidak ada lagi Tuan Opu Guru. Tercium bau kemenyan yang menusuk-nusuk hidung. Sebuah keanehan telah dibuat Tuan Opu Guru. Penduduk desa berdecak kagum. Satu per satu kaki mereka menindak bumi hendak meninggalkan tempat.
Sontak Tuan Opu Guru hadir lagi di tengah kerumunan pengikutnya. “Oh...Tuan Opu Guru...!!!” Berbondong penduduk desa yang sudah tersihir kebodohan, mencium tangan Tuan Opu Guru. Sementara sang Tuan Opu Guru yang mengaku nabi tetap berdiri angkuh sembari sudut bibirnya menyungging senyum kefasikan. “Pulanglah kalian...tapi jangan ragukan kenabianku!!!”
Tuan Opu Guru berjalan menyusuri jalan-jalan desa yang bercadas. Di belakangnya menyusul tiga pemuda kekar berwajah sangar, mengiringi langkah-langkah Tuan Opu Guru. Tampaknya tiga pemuda itu, meski berbadan kekar namun tidak sekekar hatinya yang menghamba kepada kebodohan Tuan Opu Guru yang berbohong atas nama Tuhan dengan doktrin mengaku nabi akhir zaman, sang Imam Mahdi penyelamat dunia.
Sekonyong-konyong, seorang anak muda mencegat langkah-langkah Tuan Opu Guru beserta tiga orang pengiring. Baju koko putih anak muda barusan, melambai-lambai lembut tertiup semilir angin desa. Karuan saja, Tuan Opu Guru kaget, tak menyangka kalau ada orang yang begitu kurang ajar mencegat langkahnya. Tiga pemuda pengiring yang telah berbaiat menjadi pengikut setia Tuan Opu Guru, lebih kaget lagi.
“Oh...Fatir rupanya...!!! Bukankah kamu sudah meninggalkan desa ini?” Tiga pemuda pengiring Tuan Opu Guru mendelik.
“Aku masih punya tanggung jawab dakwah di desa ini. Aku sangat bertanggung jawab terhadap akar-akar keimanan yang sudah mulai tercerabut di dada para penduduk desa. Akar keimanan itu kini sedang dicabut oleh orang yang mengaku rasul palsu. Itu sudah pasti menghianati ajaran Allah. Tepatnya, itu adalah makar terhadap titah Allah yang sudah dinisbahkan sejak di Lauh Mahfudz, bahwa Muhammad adalah nabi penutup dan utusannya di akhir zaman, dialah khataman nabiyyin.” Sergah Ustadz Fatir.
“Maka demi Islam yang mengalir dalam urat nadi-ku, aku harus kembali di desa ini untuk melawan kemungkaran yang melumuri kesucian Nabi Muhammad dari setiap kebohongan dan kedustaan. Meskipun aku harus mati karenanya”
Bagai menerima ribuan tusukan anak panah yang menghujam dadanya. Lalu darah Tuan Opu Guru menggelegak panas, didihannya sampai membumbung ke saraf-saraf batok kepala Tuan Opu Guru. Ia marah mendengar kata-kata Ustadz Fatir. Ia sadar sedang dipojokkan sekaligus dituduh sebagai orang yang terlalu nyeleneh menelikung ajaran Tuhan sang Maha Pemilik Semesta.
Yang paling membuat Tuan Opu Guru jengkel dan merasa terhina, lantaran ia sedang merasa didakwa oleh seorang anak muda yang menurutnya masih kemarin sore. Apalagi ucapan anak muda itu tepat menohok tatkala ia sedang berada dalam kawalan pengikut setianya. “Cih!!! Anak muda brengsek!!!” Umpat Tuan Opu Guru dalam hati.
“Anak muda!!! Jadi kedatanganmu adalah untuk mendebatku?” Mata Tuan Opu Guru merah saga, lalu menyusuri raut-raut wajah Ustadz Fatir yang sejak tadi tampak mengumbar senyum sinis, dingin, dan kaku.
“Ketahuilah anak muda. Tuduhanmu sangat keji!!! Tampak kedalaman pemahaman agamamu yang sangat dangkal. Aku sudah memiliki selaksa penafsiran terhadap terhadap ajaran Tuhan yang mulia. Aku bukan menelikung ajaran Tuhan. Kita hanya beda soal penafsiran.” Ucapan Tuan Opu Guru seumpama vonis berupa pembunuhan karakter yang tentu saja bersasar untuk Ustadz Fatir.
“Kamu bukanlah Imam Mahdi yang dijanjikan itu. Tapi kamu adalah salah seorang dari Dajjal Sang Pendusta akhir zaman!!! Kamu nabi palsu, persis sosok Musailamah yang mengaku nabi, yang pernah diperangi oleh salah seorang sahabat paling dicintai Rasulullah, Abu Bakar ash Shiddiq Radhiallahu Anhu!!! Andai Daulah Islam berdiri, maka pasti sudah lama kepalamu menggelinding di tanah oleh pancungan pedang sang Ulil Amri.” Kata-kata Ustadz Fatir makin meranggas. Suara angin semilir dan riuh rendah suara-suara burung rajawali nun di angkasa sana, saling bersahut-sahutan merangkai jadi satu melodi seumpama orkestra kemudian menukik makin mempertegas refrain kata-kata kebenaran yang disampaikan Ustadz Fatir.
“Bertobatlah!!! Bala tentara iblis dan gelombang hawa nafsu sedang mengangkangi ruh kebenaran yang bersemayam di sanubari kalian. Ingatlah!!! Azab Tuhan sangat pedih mengoyak-ngoyak raga kalian. Tuhan tidak akan memaafkan penghinaan kalian terhadap-Nya.”
Tapi sayangnya, kata-kata kebenaran itu sedang ditampik oleh melodi sumbang kebatilan. Tuan Opu Guru bukannya semakin tercerahkan. Ia malah murka. Sepasukan bala tentara iblis terlanjur menggerus kebenaran dalam sanubari Tuan Opu Guru.
“Anak muda!!! Ucapanmu sangat menghina kesejatian atas kenabianku. Tidak pantas ucapanmu kepada diriku sebagai salamullah. Kamu pantas mati sebagai azab dariku.” Amarah Tuan Opu Guru menggelegar seumpama suara api jahannam yang menghanguskan wajah orang-orang munafik.
Tiba-tiba mata Ustadz Fatir jadi nanar, kepulan serbuk-serbuk putih yang menggelontor dari tangan Tuan Opu Guru, merangsek ke lorong-lorong pernapasan Ustadz Fatir. Ia tersesak. Samar-samar terdengar suara gertakan, “Pukul…!!!” Suara amarah Tuan Opu Guru.
Gelaplah pandangan Ustadz Fatir. Tangan-tangan kekar menjambak rambutnya, lalu bertubi-tubi pukulan telak menghujam ke dada, pelipis, rahang dan tengkuknya. Terdengar suara gemeretak tulang rusuk Ustadz Fatir. Darah menggelinang di lorong hidung dan sudut bibir pemuda malang itu. Tapi kala itu batinnya berdesah harap bahwa setidaknya ia bisa mati syahid. Terkulai raga Ustadz Fatir, lalu diseret-seret bagai hewan sembelihan oleh tiga pengiring Tuan Opu Guru.
“Buang raga anak muda ini ke dasar jurang di pinggiran desa!!!” Perintah Tuan Opu Guru.
“Bruuk!!!” Raga Ustadz Fatir, terhempas di dasar jurang yang curam namun tak begitu dalam. Sekonyong-konyong, raga Ustadz Fatir bergerak lamat-lamat. Matahari dengan garang menembakkan sengatan sinarannya ke sekujur tubuh Ustadz Fatir yang mengerang dan menggapai-gapai tepi jurang.
Sudah tujuh pekan Tuan Opu Guru membual kepada para penduduk desa bahwa ia adalah sang juru selamat akhir zaman yang turun dari nirwana. Kendati ia hampir mencapai titik kulminasi sukses, tapi sekelompok anak muda pengusung kebenaran sejati yang hitungannya mencapai dua puluh orang, tidak tinggal diam. Mereka anak muda yang terbekali tsaqofah keislaman yang cukup kuat, tidak seperti orang-orang desa kebanyakan yang rapuh dalam beriman terhadap Islam.
Dua puluh orang itu adalah buah gembelengan dan kaderisasi yang tangguh dari Ustadz Fatir untuk meneruskan cita-cita tegaknya kemuliaan Islam. Memang demikian galibnya, segelap apapun gelinjang kebatilan, namun Tuhan pasti berkenan memelihara cahaya kebenarannya, meski seumpama seberkas cahaya lilin.
Kedua puluh anak muda itu lalu menyusun strategi untuk menghentikan semua kebohongan yang gencar dikampanyekan Tuan Opu Guru. Mereka harus menghentikan kebatilan yang semakin meranggas penduduk desa. “Ajaran orang tua itu harus segera dihentikan. Kalau tidak, bisa-bisa mewabah ke wilayah desa lainnya. Ini adalah kebatilan yang harus diperangi, Allahu Akbar!!!” Pekik salah seorang anak muda penuh semangat.
Lalu kedua puluh anak muda tadi seumpama segerombolan pasukan lebah menuju alun-alun desa, berjalan bershaf-shaf, bertapak tilas untuk menyampaikan kepada kepala desa, bahwa Tuan Opu Guru meski hengkang di desa ini, sebelum racun-racun kebatilan yang ditebarnya terlanjur mewabah secara epidemik di seantero desa.
Kepala desa cuma bersikap acuh tak acuh. Dengan tatapan dingin menemui para pengunjuk rasa, kepala desa berucap…”itu adalah kebebasan berekspresi seseorang. Agama adalah soal keyakinan, soal person. Bukan urusan desa mengintervensi keyakinan seseorang. Desa hanya mengurus soal-soal pemerintahan. Agama bukan urusan desa…”
Salah seorang pengunjuk rasa memekik, “Ulah Opu Guru telah mengganggu ketertiban desa. Melanggar konstitusi desa.”
Yang lain menyahut, “betul!!!... Konstitusi desa ini, mengatur bahwa agama yang sah dianut warga desa adalah yang hanya mengenal satu rasul, yaitu Nabi Muhammad, tidak yang lain. Ini sudah menjadi kontrak politik warga desa. Keyakinan yang dibawa Tuan Opu Guru, jelas-jelas sudah menyimpang konstitusi desa.”
Lalu suara-suara kedua puluh anak muda pengunjuk rasa, memekik alun-alun desa, bersengau-sengau seumpama suara barisan tentara lebah yang berputar-putar. “Bubarkan ajaran sesat Tuan Opu Guru!!! Tuan Opu Guru kafir!!! Tuan Opu Guru murtad!!!” Suara-suara pengunjuk rasa itu makin membahana, berderak alun keras membuat resonansi yang cepat berdetak seumpama suara tari saman tanpa melodi.
Pekak telinga kepala desa. Lalu cepat-cepat beringsut meninggalkan para pengunjuk rasa. Sekonyong-konyong dari kejauhan segerombolan penduduk desa mengepung dua puluh anak muda pengunjuk rasa di alun-alun desa. “Serbuu!!! Seraang!!!” Suara pekik amarah Tuan Opu Guru meraung-raung. Bom-bom Molotov melayang ke udara. Terdengar suara ledakan api bergemuruh. Lalu api merah menyala-nyala nelangsa menjilat-jilat balai ruang alun-alun desa. Nyala api menari-nari semerah saga. Suara-suara pekik histeris dan amarah berbaur jadi satu membahana di angkasa. Beberapa di antara pemuda pengunjuk rasa yang menentang ajaran sesat Tuan Opu Guru pingsan yang lainnya terluka. Mereka dianiaya penduduk desa di bawah komando Tuan Opu Guru.
Beruntung, sepasukan berkuda pamong keamanan desa datang mengamankan kerusuhan di alun-alun desa. Lalu dengan sigap memadamkan lidah api yang sudah menghanguskan hampir lebih separuh gedung balai ruang alun-alun desa.
Tuan Opu Guru ditangkap sebagai otak pembakaran balai ruang desa. Lalu digelendang di hadapan hakim desa untuk diadili sebagai terdakwa.
Kini Tuan Opu Guru didudukkan sebagai terdakwa di hadapan hakim desa. Banyak penduduk desa memadati ruang pengadilan.
“Saudara Musadiq alias Tuan Opu Guru…Saudara disidang atas tuduhan menggerakkan penduduk desa membakar balai ruang di alun-alun desa…” Lalu sang hakim melanjutkan, "di saku baju anda di temukan serbuk bubuk putih jenis obat bius..." Belum sempat hakim desa mengetuk palu sidang. Sekelebat bayangan merangsek pengunjung sidang. Lalu tepat bersetindak di hadapan kursi pesakitan Tuan Opu Guru. Sebilah belati keluar dari balik baju koko lalu dihujamkan ke ulu hati Tuan Opu Guru. Darah muncrat menggenangi lantai ruang pengadilan hakim desa. Tuan Opu Guru merenggang nyawa. Matanya mendelik… kini Tuan Opu Guru sudah tidak bernyawa.
Para pengunjung sidang berteriak histeris. Hakim desa terperangah. Sekelabat bayangan tadi yang menyarangkan belati ke raga Tuan Opu Guru, kini berbalut baju koko yang sobek-sobek. Semak-semak jurang masih tampak melekat. Kakinya agak pincang dan wajah biru lebam. Dialah Ustadz Fatir, tangannya berlumuran darah lalu diacungkan ke udara. Suaranya memekik…”Allahu Akbar!!! Hanya kematianlah yang dapat menghentikan ajaran sesat orang murtad ini!!!”
Makassar, Akhir Desember 2008
Muh Sjaiful SH MH, Dosen Tetap Fakultas Hukum Unhalu

Tulisan Akhir Tahun 2008

Penegakan Hukum yang Masih Tertatih
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Tahun 2008 sudah kita tinggalkan. Ada banyak kenangan penting yang bisa diambil selama 2008, untuk dijadikan sebagai instrospeksi dalam menapak jalan menuju 2009. Pun dibidang penegakan hukum selama 2008, ada banyak catatan penting yang bisa ditoreh, terutama dalam konteks penegakan dan dinamika hukum di Sultra, dimana yang masih mengerucut antara lain pada persoalan korupsi. Kendati, lembaga kejaksaan Sultra sudah berani mengkerangkeng, beberapa pejabat Sultra yang ditenggarai menilep uang negara alias korupsi, semisal Abd Samad cs anggota DPRD Konawe dan Hino Biohanis cs, anggota DPRD Provinsi Sultra. Dan beberapa di antaranya kini sedang masih dalam penyidikan, seperti Mashur Masie Abunawas pada kasus gratifikasi. Tapi persoalan korupsi sejatinya akan masih merupakan geliat hukum yang mewarnai dinamika penegakan hukum di Sultra, hatta memasuki 2009 nanti.
Sebab persoalan korupsi, adalah budaya yang tampaknya secara epidemik masih menjangkiti sebahagian oknum pejabat yang duduk di ranah-ranah kekuasaan. Sehingga kesulitan untuk memberantas korupsi pada 2009 mendatang tetap akan terkendala oleh budaya hukum (legal culture) yang menumbuhsuburkan prilaku korupsi itu sendiri. Analisis penulis secara empirik, budaya hukum yang materialistik serba pragmatis, ditenggarai merupakan muasal yang melahirkan praktik-praktik korupsi yang tidak hanya dalam konteks Sultra tetapi juga dalam konteks hukum nasional kita.
Tahun 2008 lalu, dalam konteks Sultra, juga merupakan tahun yang ditandai oleh masa-masa pergolakan hukum pada level akar rumput. Paling sering adalah aksi massa beberapa elemen masyarakat yang mengepung kantor-kantor kejaksaan untuk menuntut keseriusan lembaga penegak hukum guna menuntaskan kasus-kasus korupsi yang merebak.
Selain itu, aksi anarkisme dan gelombang konflik yang berbuntut bentrok berdarah antara mahasiswa Unhalu dengan aparat kepolisian Sultra, medio penghujung 2008 lalu, juga adalah salah satu di antara pergolakan hukum yang paling menggurat wajah penegakan hukum Sultra.
Dari deskripsi inilah, maka sudah dapat diduga bila teodolit penegakan hukum Sultra akan ditoreh oleh dua titik persoalan, yaitu persoalan korupsi dan penyalahgunaan uang rakyat (negara) yang tak kunjung selesai serta pergolakan hukum pada level akar rumput terhadap pelbagai persoalan hukum yang mengemuka.
Dengan belajar pengalaman wajah penegakan hukum pada 2008 tersebut, serta dengan menggunakan pendekatan analisis menurut teori hukum responsif versi Nonet dengan sedikit perubahan, maka paling tidak 2009 nanti, wajah penegakan hukum Sultra akan ditandai oleh responsi hukum yang berkutat pada dua kutub yaitu kutub akar rumput (massa mengambang), dan kutub penentu kebijakan (the ruling class). Pada kutub penentu kebijakan (the ruling class), masih paling menonjol adalah pada persoalan korupsi yang kemungkinan belum terkuak.
Pada kutub akar rumput, akan ditandai oleh persoalan-persoalan hukum di seputar pemilu legislatif yang bakal dihelat pada 2009 mendatang. Dan sudah dapat diduga apabila persoalan hukum yang menyeruak itu adalah menyangkut gelombang aksi gugatan hukum dari kelompok-kelompok yang merasa tidak puas terhadap hasil perolehan pemilu atau menyangkut mekanisme pemilu yang sedang dijalankan. Boleh jadi juga aroma politik uang dan penggelembungan suara bakal meranggas sebagai persoalan hukum di seputar pemilu 2009 nanti.
Korupsi serta aksi gugatan hukum seputaran pemilu 2009, sekali lagi menjadi persoalan krusial yang membetot wajah penegakan hukum di Wilayah Sultra. Dari dua titik krusial itulah, maka besar kemungkinan, pengaruh politik bakal berkelindan dengan persoalan-persoalan hukum dimaksud.
Karena betapapun, korupsi dan persoalan pemilu merupakan dua persoalan yang tidak pernah terlepas dari pengaruh politik. Dan lazimnya, proses keberlangsungan penegakan hukum, yang tidak pernah senyap oleh benturan kepentingan politik, hukum tak ubahnya menjadi parodi bagi para pialang politik.

Tulisan Saya tentang Israel Sang Penjajah Bangsa Simpanse

Kejahatan Kemanusiaan di Jalur Gaza

Oleh: Muh Sjaiful SH MH

Hari Sabtu tanggal 27 Desember 2008, Jalur Gaza Wilayah Palestina kembali terkoyak oleh bombardir jet-jet tempur milik pasukan Zionis Israel. Menteri Pertahanan Israel, Ehud Barak, berdalih bahwa serangan bombardir tersebut, dimaksudkan sebagai balasan dari serangan roket yang dilancarkan kelompok militan Hamas ke Israel. Tak dinyana bila serangan bombardir Israel ke Jalur Gaza dilakukan secara membabi buta dan sporadis. Tidak satupun yang bisa selamat dari serangan itu. Lebih sepuluh hari serangan bombardir Israel, telah menewaskan lebih 800 jiwa penduduk sipil, di antaranya bayi-bayi dan anak-anak tidak berdosa serta wanita. Sudah tidak terhitung pula ratusan jiwa penduduk sipil yang luka-luka.

Kebiadaban serangan tentara Zionis Israel yang telah memakan korban ratusan ribu jiwa penduduk sipil tak berdosa, tentu merupakan tindakan yang melanggar tata krama dalam pergaulan internasional, sebagaimana yang sudah menjadi konsensus umum (common sense) masyarakat internasional yang termaktub dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Den Haag 1907.

Konvensi Jenewa 1949 sebagai kompromi politik dari negara-negara pemenang perang dunia II, mewajibkan perlindungan secara permanen dan terus-menerus kepada golongan penduduk sipil tertentu dari akibat langsung perbuatan-perbuatan perang seperti pemboman dari udara, penembakan arteleri, termasuk peluru-peluru kendali, dan perbuatan-perbuatan perang lainnya (Pasal 14 Konvensi). Dalam Konvensi Den Haag 1907, juga memberikan larangan bagi pihak militer untuk menyerang penduduk sipil yang tidak turut berperang dimanapun mereka berada.

Pasal 24 Konvensi Jenewa 1949, mewajibkan pihak-pihak berperang untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak sebagai akibat korban perang. Termasuk juga perlindungan terhadap wanita, khususnya menyangkut harkat dan martabatnya itu sendiri (Pasal 27 Konvensi).

Konteks penyerangan Israel di Jalur Gaza dalam sudut pandang Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Den Haag 1907 merupakan sebuah kejahatan perang. Sedangkan dalam konteks Piagam PBB dan Perjanjian Briand Kellog Pact 1929, adalah kejahatan kemanusiaan. Dari sudut pandang normatif inilah, telah menjadi konsensus internasional yang disepakati dalam tata krama pergaulan internasional, bahwa negara-negara tidak diperkenankan melakukan aksi militer yang mengorbankan penduduk sipil tak bersenjata (non-kombatan) dalam situasi apapun. Sehingga tindakan “holocaust” dan “genocide” (pembantaian massal), sekali lagi merupakan kejahatan kemanusiaan. Pelakunya harus diadili di pengadilan internasional.

Namun dalam kasus agresi milter Israel ke Jalur Gaza, kembali seolah menjadi uji efektivitas konvensi internasional yang memberikan perlindungan kepada penduduk sipil. Yang pada faktanya Zionis Israel masih terus menerus melakukan serangan udara milter yang kebanyakan bertitik sasar pada kawasan-kawasan yang dihuni penduduk sipil. Teguran PBB dalam bentuk resolusi agar Israel menghentikan serangan militer yang bertitiksasar kepada warga sipil di Jalur Gaza, dan gelombang kecaman masyarakat internasional kepada pasukan Israel, dianggap angin lalu oleh petinggi Ohed Olmert. Dari sinilah kegamangan Konvensi Jenewa sebagai salah satu instrument hukum internasional yang tampak tidak berdaya pada prilaku brutal tentara Zionis Israel.

Mestinya menurut logika hukum Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Den Haag 1907, PBB tidak sekedar mengeluarkan resolusi gencatan senjata kepada pasukan Israel, tetapi juga menyeret para petinggi militer Israel termasuk PM Ohed Olmert sebagai penjahat kemanusiaan ke Mahkamah Internasional.

Namun problem yuridis yang masih melingkupi Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag, untuk mengeksekusi para petinggi militer Israel dan Ohed Olmert ke pengadilan internasional, yaitu konvensi ini tidak mengatur secara substansial, struktur kelengkapan badan-badan internasional, yang memiliki kekuatan eksekutorial untuk menyeret secara langsung para penjahat kemanusiaan tersebut.

Atas alasan inilah maka John Austin, salah seorang penulis hukum beraliran positivis, memandang hukum internasional pada praktiknya bukanlah hukum dalam arti sebenarnya. Ketidakberdayaan hukum internasional itulah, dengan mengambil contoh kasus penyerangan Israel ke Jalur Gaza, yang kemudian meniscayakan pandangan sebahagian besar masyarakat internasional, bahwa hukum internasional sesungguhnya boleh jadi hanya merupakan mitos. Ia tidak begitu berdaya untuk menghukumi negara-negara pelanggar hukum internasional yang memiliki kepentingan politik begitu kuat.

Kita semua mahfum kalau di Kawasan Jalur Gaza, tidak hanya ada kepentingan Negara Yahudi Israel, tetapi juga ada kepentingan yang sama negara-negara yang menjadi penyokong berdirinya Israel seperti Inggris dan Amerika Serikat, terhadap kawasan Timur Tengah termasuk Jalur Gaza. Inipula yang menjadi alasan mengapa AS sering menggunakan hak vetonya di Dewan keamanan PBB, untuk melempangkan kepentingan Israel di Kawasan Timur Tengah.

Kalau kita merujuk pada kasus agresi militer Israel ke Jalur Gaza, maka sesungguhnya telah terjadi pembenaran mitosisasi hukum internasional. Terbukti PBB sangat tidak berdaya untuk memberikan sanksi hukum kepada Negara Yahudi Israel yang terang-terangan melakukan “holocaust” dan “genocide” kepada penduduk sipil Palestina di Jalur Gaza sebagai sebuah pelanggaran hukum internasional.

Adalah sungguh tidak beralasan untuk menganggap tindakan Israel itu sebagai tindakan “self defense” alias pembelaan diri dari serangan roket yang pernah dilancarkan oleh Hamas, sebagaimana yang didalihkan oleh George W Bush. Karena dalam ketentuan Konvensi Jenewa 1949, disebutkan untuk alasan apapun sangat tidak dibenarkan menjadikan warga sipil tak bersenjata sebagai sasaran militer (Pasal 28 Konvensi Jenewa).

Dan pada faktanya, sasaran militer pasukan Israel, bukan diarahkan pada sasaran-sasaran militer strategis, tetapi justeru diarahkan pada pemukiman-pemukiman sipil, rumah sakit, pusat-pusat pendidikan dan tempat ibadah. Inilah yang menurut ketentuan konvensi sebagai tindakan pembunuhan, pemusnahan, dan penganiayaan yang sangat dilarang. Pelanggaran ketentuan ini dapat disebut sebagai kejahatan kemanusiaan (genocide).

Jadi untuk alasan apapun, serangan militer Israel ke Jalur Gaza yang sudah berjalan lebih sepuluh hari, dengan fakta puluhan ribu warga sipil jadi korban, dalam perspektif Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Den Haag 1907, adalah sebuah pelanggaran kemanusiaan. Namun ironisnya, instrumen hukum kedua konvensi tersebut, ternyata hanya tulisan-tulisan mati yang tak pernah berdaya di hadapan negara Israel. Sehingga apa yang ditesiskan oleh John Austin, bahwa hukum internasional bukanlah hukum yang benar-benar, tampaknya masih relevan digunakan sebagai kerangka teori dalam khasanah kajian hukum saat ini.

Karena dari replika kasus serangan Israel ke Jalur Gaza, meski sudah mendapat kecaman dari masyarakat internasional, Israel toh tetap bebal dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Ehud Olmert dengan angkuh berkata “kami akan tetap melakukan serangan bom ke kawasan Jalur Gaza sampai tujuan menghancurkan pertahanan Hamas tercapai meski untuk itu warga sipil harus jadi tumbal”.

Jadi sesungguhnya, berharap pada hukum internasional untuk menekuk Israel ke luar dari Jalur Gaza, menghentikan serangan militernya, hanyalah mitos. Pandangan Israel selama ini terhadap hukum internasional adalah pandangan ala zionis. Seperti pandangan Ehud Olmert yang merepresentasikan komunitas Yahudi pada umumnya, “international law is not anything but it is for the Jews. Hukum internasional bukanlah apa-apa bila demi untuk kepentingan bangsa Yahudi.

Berdasar argumentasi tersebut, maka masih bisakah kita berharap lagi kepada hukum internasional untuk menyelesaikan persoalan konflik Jalur Gaza yang terus menerus di dera oleh kejahatan kemanusiaan oleh warga komunitas Yahudi di tanah para nabi itu? Atau masih adakah alternatif lain untuk mencari solusi bagi penyelesaian konflik di Jalur Gaza yang tampaknya terus berkepanjangan?