Kamis, 03 Januari 2008

Prospek Penegakan Hukum 2008

Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Kini kita telah berada pada babak baru episode perjalanan kehidupan tahun 2008. Ada beberapa catatan yang agaknya bisa dijadikan sebagai bahan analisis guna menilai prospek penegakan hukum bangsa ini kedepan. Menurut penulis, ini penting dilakukan mengingat berbagai drama penegakan hukum sepanjang 2007, masih menimbulkan kekecewaan publik. Apalagi misalnya menurut catatan akhir tahun pemberantasan korupsi oleh Pusat Kajian Anti Korupsi atau PuKAT Universitas Gadjah Mada menyatakan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah gagal dalam upaya pemberantasan korupsi. Pada tahun 2007, pengungkapan kasus korupsi belum menyentuh aktor besar dan masih terpusat pada pemberantasan di daerah-daerah.
Kini 2007 telah berlalu, tetapi wajah penegakan hukum yang masih belepotan serta belum menunjukkan tanda-tanda kearah perbaikan berarti, paling tidak untuk kesekian kalinya, bisa menjadi rujukan utama dalam memprediksi prospek penegakan hukum kita pada 2008.
Bila saja kita jujur mencermati derap perjalanan proses penegakan hukum di tanah air pasca era reformasi. Sejatinya hanya mengulang lagu lama “masih seperti yang dulu”. Wajarlah kalau kemudian banyak kalangan masyarakat yang menaruh harapan pesimistik terhadap keberhasilan penegakan hukum di tanah air. Harapan pesimistik masyarakat itu, juga diperkuat dengan parahnya mental aparat hukum termasuk struktur politik di level kekuasaan yang menjadikan hukum tak ubahnya sebagai dagelan.
Nyaris sepuluh tahun setelah era reformasi, upaya modernisasi dan perlengkapan lembaga hukum terbukti belum mampu memberangus praktik korupsi, perampokan uang negara, dan penjarahan hasil hutan sampai keakar-akarnya. Penggerusan dan pencurian aset-aset negara dalam segala level, bukannya dapat ditebang habis tapi malah semakin parah.
Atas dasar pemikiran demikian, bercermin dari wajah penegakan hukum di tanah air yang belum mengalami perubahan secara siginifikan selama sepuluh tahun lewat, maka sudah dapat dipastikan, prospek penegakan hukum, khusus 2008 ini, masih akan tetap stagnan (baca macet).
Pada 2008 ini, kita tampaknya kembali akan siap kecewa menyaksikan suguhan drama proses penegakan hukum yang dikangkangi arus kepentingan elite penguasa dan tersamarkan dalam spekulasi politik serta pihak-pihak yang berduit. Karena itu, semangat untuk memberantas praktik-praktik korupsi serta penilepan uang negara nantinya sekadar sebuah kosmetik.
Sangat boleh jadi, wajah penegakan hukum 2008 akan lebih disemaraki oleh parade pembebasan kesalahan hukum para aktor politik yang punya kedekatan dan atau yang dianggap punya jasa-jasa politik dengan pusat-pusat kekuasaan. Ini bisa mengulang lagi seperti pada kasus yang meminggirkan dalam arti menyelamatkan Yusril Ihza Mahendra dan Taufiequrachman Ruki, yang diselesaikan secara adat oleh Presiden SBY, ketika keduanya saling tuding menilep uang Negara.
Untuk itu, ketidakberdayaan hukum untuk menegakkan asas “equal under the law” semua orang sama di hadapan hukum, kembali akan dimentahkan oleh arus penghadangan atas nama kepentingan politik. Sebab nantinya berbagai peristiwa hukum makro yang menggelinding pada 2008 ini, yang berhadapan dengan derasnya kepentingan politik, secara nyata “vis a vis” akan terjadi tarik ulur antara keharusan menegakkan keadilan serta kepastian hukum dengan selera politik para kelompok elitis.
Sehingga boleh jadi, berbagai kasus hukum yang menggelinding di 2008 ini, baik yang merupakan warisan dari 2007 maupun yang muncul kemudian, seperti korupsi kelas kakap, penjarahan hutan besar-besaran, pengrusakan lingkungan, penyalahgunaan jabatan, dan sengketa pilkada, hukum seolah tak berdaya untuk menghindarkan diri dari stigma tebang pilih. Terutama dari para aktor politik yang punya akses besar dalam melaksanakan berbagai kebijakan pemerintah saat ini. Akibatnya, pada berbagai kasus besar yang kemudian dicuatkan menjadi konsumsi publik, hukum diposisikan sebagai sarana representasi kepentingan dari aktor politik.
Begitu juga penegakan hukum pada level “grass root” (baca akar rumput), pada 2008 ini, bisa dipastikan bakal disemaraki oleh perampasan hak-hak rakyat dengan dalih atas nama kepentingan umum, seperti aksi penggusuran dan pencaplokan tanah warga. Begitu juga, penyetopan bantuan dan subsidi sebagai hak rakyat yang dijamin konstitusi berdalih negara minus anggaran belanja, akan kembali mewarnai derap penegakan hukum tahun ini.
Tidak hanya itu, warga masyarakat pencari keadilan, seperti mengulang lagu lama, tetap terganjal oleh mafia peradilan yang ditengarai dengan maraknya jual beli hukum yang memang sejak dulu menggerogoti lembaga penegakan hukum kita.
Tapi sekali lagi ironi penegakan hukum yang paling mengemuka 2008 ini, adalah seputar kekalahan hukum oleh praktik politik yang antara lain dikonstruksi dengan terjadinya represivitas politik atas hukum. Sehingga jika postur penegakan hukum kita pada 2008 ini, memang demikian, maka sekaligus memperbenar anggapan bahwa hukum model demikian hanya dimanfaatkan sebagai bagian dari komoditas politik. Hukum tak ubahnya dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi tindakan politik “cuci tangan”. Jika pemanfaatan demikian tidak segera dibetulkan, kinerja hukum tidak akan pernah beres, impartialitas hukum tidak bisa terwujud. Hukum yang diposisikan sebagai elemen yang bersifat subordinat dari politik, akan menimbulkan ketidakpastian dan mengabaikan rasa keadilan.
Atas dasar itu, wajarlah kalau kemudian banyak kasus yang berlangsung dari tahun-tahun sebelumnya tak kunjung juga selesai tertangani hingga tahun 2007. Misalnya saja penyelesaian kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir, sepertinya buntu mengungkapkan aktor intelektual di baliknya. Hiruk-pikuk penanganan korupsi pun masih banyak mewarnai wacana penegakan hukum dengan berbagai spekulasi politik di belakangnya. Bahkan, penghujung 2007 pun ditutup dengan kontroversi proses pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dituding sarat dengan kepentingan politik menjelang Pemilu 2009.
Lalu bagaimana tingkat kepercayaan masyarakat terhadap wajah penegakan hukum nasional kita 2008 ini? Sepertinya kekecewaan publik atas kinerja lembaga penegakan hukum masih menguat, terlebih ketika publik menyaksikan upaya yang dilakukan lembaga penegak hukum yang tak dapat memuaskan harapan masyarakat, apalagi ketika hukum harus diperhadapkan pada pengaruh kekuatan politik, uang, kekeluargaan dan pertemanan.
Lantas mengapa, penegakan hukum sepanjang 2008 ini, akan tetap masih seperti yang dulu lagi? Paling tidak menurut pencermatan penulis, adalah sangat dipengaruhi oleh tiga indikator. Pertama, substansi produk hukum tertulis yang selama ini diberlakukan, cenderung memuat sejumlah pasal yang sangat ambigu (penuh kerancuan), akibatnya membuka ruang penafsiran bebas bagi pihak-pihak tertentu untuk mengangkangi hukum. Contohnya, sejumlah pasal dalam produk Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan berbagai penafsirannya, justru membuka ruang konflik dalam proses penyelenggaran pilkada pada berbagai tempat di tanah air. Selain itu, yang celakanya juga, kita masih saksikan sejumlah produk hukum tertulis yang tidak memberikan keberpihakan bagi kesejahteraan rakyat. Malah melegitimasi para elit politik untuk menari-nari di atas penderitaan rakyat. Lahirnya PP Nomor 37 Tahun 2006 tentang besaran tunjangan bagi anggota legislatif, merupakan contoh untuk itu.
Kedua, struktur aparat penegak hukum kita selama ini, `agaknya masih terdiri dari kelompok sapu kotor (the dirty sweeps). Merekalah kemudian yang punya andil atas morat-maritnya dunia peradilan kita selama ini. Ketiga, masyarakat bangsa ini konon tidak punya rasa takut terhadap sanksi hukum yang berlaku. Tiga faktor itulah nanti yang tampaknya mempengaruhi prospek penegakan hukum kita yang kian amburadul pada 2008 ini. Wallahu 'alam. (*)