Senin, 04 Maret 2013

TULISAN TENTANG DEMOKRASI

Nasib Syariah Islam dalam Jebakan Demokrasi Anis Matta pernah menulis bahwa demokrasi, bukanlah agama yang berbicara tentang halal dan haram. Demokrasi adalah konsep politik yang hanya bicara soal legal dan tidak legal. Untuk itulah dalam bahasa Anis Matta, diperlukan usaha agar yang ‘halal’ dalam agama menjadi legal dalam pandangan hukum postitif, dan apa yang ‘haram’ dalam pandangan agama menjadi tidak legal pula dalam pandangan hukum positif itu. Jika hal ini tercapai maka sebetulnya produk hukum yang dihasilkan oleh demokrasi justru mencerminkan berlakunya kedaulatan Tuhan dalam kehidupan bernegara. Demikianlah apa yang tertulis dalam sebuah catatan seorang intelektual muda yang percaya bahwa sistem demokrasi bukanlah sesuatu yang layak untuk dipertentangkan dengan Islam. Dia berpandangan demikian kurang-lebih karena alasan berikut: Keputusan formal yang dilahirkan dan diberlakukan sebagai hukum positif oleh sistem demokrasi tidak bisa disetarakan dengan hukum halal-haram yang menjadi domain agama. Sebab, demokrasi tidak memberi wewenang bagi negara untuk menentukan halal dan haram -yang merupakan urusan Tuhan. Negara sekedar menentukan mana yang legal dan mana yang tidak legal. Ketika proses politik dalam sistem demokrasi menghasilkan produk hukum atau keputusan yang berbeda dengan syara’, bukan berarti sistem demokrasi menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Jadi, demokrasi sama sekali tidak menyentuh wilayah yang menjadi wewenang Tuhan, dan juga tidak menganulir hukum-hukum yang berlaku dalam agama. Yang halal tetap halal meskipun tidak legal, dan yang haram tetap haram meskipun dilegalkan oleh negara. Dari sinilah kemudian beliau berkesimpulan bahwa demokrasi akan sejalan dengan “kedaulatan tuhan” jika saja proses politik yang terjadi dalam sistem tersebut menghasilkan keputusan hukum yang cocok dengan ketentuan halal-haram dalam agama. Maka adalah penting untuk berjuang dalam kancah sistem demokrasi agar yang dihalalkan Allah menjadi legal dan yang diharamkan oleh Allah menjadi tidak legal. Begitulah kira-kira jika membahasakan ulang apa yang ingin diungkapkan oleh intelektual muda kita ini. Mungkin akan ada juga yang mengatakan bahwa negara yang mayoritas penduduknya muslim akan bisa menjalankan demokrasi secala islami, karena jika sebagian besar warganya muslim, tentu aspirasi masyarakatnya juga tidak akan menyimpang dari Islam. Dari sini juga ada pandangan apolojetik, dengan ungkapan seandainya umat Islam menguasai parlemen maka akan dengan mudah umat Islam menerapkan Syariah Islam. Untuk meng-counter balik dua asumsi tersebut tentang kemungkinan peluang demokrasi memberikan jalan lempang bagi penerapan Syariah Islam. Terlebih dahulu, mari kita kembali mencermati esensi demokrasi serta latar belakang lahirnya demokrasi tersebut. Pada pembahasan sebelumnya telah dipapar secara panjang lebar bahwasanya demokrasi lahir sebagai alat dari ideologi sekulerisme, untuk memisahkan peran agama dari pengaturan kehidupan sosial masyarakat. Kelompok penggagas sekulerisme memandang demokrasi sebagai sesuatu yang cocok untuk itu. Sebab ide dasar sekulerisme adalah menetapkan kedaulatan berada di tangan rakyat. Bukan Tuhan atau mengatasnamakan agama dalam membuat hukum. Tetapi bagi demokrasi rakyatlah yang berhak membuat hukum untuk mengatur peri kehidupan sosialnya dengan karakter liberalisme yang menderivasinya. Jadi kalau pandangan Anis Matta, demokrasi bukanlah agama yang berbicara tentang halal dan haram. Demokrasi adalah konsep politik yang hanya bicara soal legal dan tidak legal. Saya kira pendapat tersebut, sangat lemah. Mungkin Anis Matta lupa, kalau demokrasi memang didesain oleh para penggagas demokrasi agar agama, terutama Syariah Islam, tidak mengintervensi kehidupan sosial masyarakat. Artinya, demokrasi didesain memang tidak untuk memberikan peluang bagi Syariah Islam untuk menjadi hukum yang mengatur kehidupan sosial masyarakat. Malah secara ekstrim bisa dikatakan, penerapan Syariat Islam dipandang sebagai bertentangan dengan esensi demokrasi itu sendiri, tepatnya penerapan Syariat Islam contradictio in terminis dengan demokrasi. Agar tdak membingungkan saya ulangi lagi kata-kata Anis Matta... bahwa demokrasi akan sejalan dengan “kedaulatan tuhan” jika saja proses politik yang terjadi dalam sistem tersebut menghasilkan keputusan hukum yang cocok dengan ketentuan halal-haram dalam agama. Maka adalah penting untuk berjuang dalam kancah sistem demokrasi agar yang dihalalkan Allah menjadi legal dan yang diharamkan oleh Allah menjadi tidak legal...., bagi kalangan awam yang mencermati kata-kata Anis Matta tersebut, bisa terkesan demokrasi tampak bisa menjadi “alat yang halal” bagi penerapan Syariat Islam di suatu wilayah tertentu, apalagi kalau parlemen dikuasai oleh mayoritas Muslim. Sekali lagi menurut saya pernyataan tersebut, sangat imajinatif atau kalau boleh dibilang berangkat dari pernyataan yang keliru dan serampangan. Kalau toh penerapan Syariat Islam hendak dipaksakan berlaku melalui jalur sistem demokrasi melalui strategi mendudukkan suara mayoritas wakil-wakil Islam di parlemen. Maka upaya tersebut, tentu saja pasti dipandang sebagai suatu upaya untuk merusak hakikat demokrasi itu sendiri. Artinya, sistem demokrasi tidak bisa diharapkan untuk diterapkan dalam sebuah negara yang ingin mengaplikasikan Islam secara sempurnya. Karena antara sistem demokrasi dengan sistem Islam memang berbeda jauh ibarat bumi dan langit. Sederhananya begini, saya memberikan analogi, taruhlah ditemukan sebuah mesin pengolah susu agar kualitas susu menjadi baik. Kemudian ada lagi mesin pengolah kopi. Tentu saja untuk mengolah susu berkualitas baik dipakailah mesin pengolah susunya. Salah alias keliru ketika kita hendak mengolah susu yang berkualitas dengan menggunakan mesin pengolah kopi. Jika diibaratkan mesin, tatkala dalam kondisi yang baik dan dijalankan dengan prosedur yang benar, sistem demokrasi lebih sering menghasilkan produk gagal daripada produk yang kita kehendaki. Kesalahan bukan terjadi dalam menjalankan prosedur operasional mesin, tapi kesalahan terjadi saat memilih mesin –yang tidak cocok dengan produk yang ingin dihasilkan. Artinya, kesalahan tidak terjadi pada saat kita menjalankan demokrasi, tapi justru terjadi ketika kita memilih demokrasi untuk selalu menghasilkan kebijakan yang syar’i, padahal demokrasi tidak didesain untuk itu. Sekali lagi sistem demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang berpijak dari suatu pandangan hidup yang khas yang tidak akan mungkin memberikan peluang tegaknya Syariat Islam. Semua orang pasti mengerti WC tetaplah tempat semua orang untuk membuang kotoran, kendati WC dibersihkan sebersih-bersihnya, ia tetaplah jamban dengan definisi tempat orang membuang tinja. Semua muslim tidak akan terima ketika ada sekelompok orang membangun WC tempat membuang tinja kemudian dibersihkan sebersih-bersihnya, tidak hanya itu diberikan pengharum untuk mengantisipasi bau tinja yang menyeruak. Lalu sekelompok orang tadi berkata “mesjid sudah kotor tidak layak pakai”, sebaiknya kalian kaum muslimin sholat saja di WC karena lebih bersih dari mesjid. Siapapun muslim yang tahu tentang fiqih syarat sahnya solat pasti tidak mau sholat di WC meskipun bersih, sebab bagaimanapun juga WC adalah tempat najis. Dalam suatu kisah pernah suatu ketika Umar bin Khattab dengan pasukannya menaklukkan suatu wilayah Kristen, kemudian seorang pendeta menawarkan gereja sebagai tempat bagi pasukan Umar untuk melakukan sholat berjamaah, tawaran tersebut meskipun baik namun tetap ditolak oleh Umar bin Khattab ra. Ia lebih memilih sholat berjamaah dengan pasukannya di lapangan terbuka. Begitulah analoginya dengan demokrasi. Kaum muslim tentu tidak akan menggunakan sistem demokrasi sebagai sistem yang layak dalam rangka memperjuangkan Syariat Islam. Selain demokrasi pada esensinya bertentangan dengan Syariat Islam juga sistem demokrasi akan menolak tegas dengan diberlakukannya Syariat Islam. Jurang antara demokrasi dengan Islam terasa lebih lebar lagi ketika kita membahas standard yang digunakan oleh sistem demokrasi untuk mengukur kebenaran. Kebenaran praktis menurut demokrasi adalah suara umumnya masyarakat, yang oleh Rouseau disebut sebagai la volonte generale (general will/kehendak umum) . John Locke , yang oleh para akademisi dianggap sebagai salah satu tokoh utama peletak prinsip dasar demokrasi, menyatakan dalam salah satu magnum-opusnya, Second Treatise : “Jadi setiap orang -dengan membuat perjanjian bersama orang lain untuk membentuk suatu badan politik di bawah satu pemerintahan- bersama orang lain dari masyarakat tersebut, menempatkan dirinya di bawah kewajiban untuk tunduk pada keputusan mayoritas dan diatur olehnya“. Para penganjur demokrasi, seperti Locke, tidak punya pilihan lain untuk mengukur kebenaran kecuali dengan kehendak mayoritas. Sebab, sebagai seorang penganut empirisme, Locke percaya bahwa nilai kebaikan itu bersifat empiris, objektif dan bisa ditangkap oleh semua manusia secara universal. Locke percaya bahwa akal budi manusia layak menjadi hukum karena ia membawa karakter keTuhanan. Lebih dari itu, mereka tidak percaya jika kebaikan itu harus didekte oleh sesuatu yang tidak rasional, seperti klaim-klaim dari otoritas keagamaan. Namun, ketika dalam kenyataannya manusia itu sering kali berbeda pendapat, faham relativisme kebenaran menjadi konsekuensi yang tak terelakkan. Maka, asumsi dasar bahwa kebenaran itu bersifat relatif selalu tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi. Sehingga, suara terbanyaklah yang menjadi penentu. Itulah mengapa, Ebenstain menyatakan bahwa empirisme rasional yang berbuntut pada relativisme kebenaran- menjadi kriteria dan dasar psikologis bagi demokrasi. Lantas bagaimana dengan keberhasilan penerapan perda-perda syariah atau semisal keberhasilan penerapan qanun syariah di Provinsi Aceh Darussalam, bukankah ini merupakan bukti keberhasilan kaum muslim Indonesia untuk memanfaatkan demokrasi dalam rangka penerapan Syariah Islam? Kalau fakta politik menunjukkan keberhasilan penerapan perda-perda Syariat dimaksud, ini tidak berarti demokrasi telah menghalalkan atau memberikan peluang bagi tegaknya Syariah Islam. Sebab sekali lagi sistem demokrasi memang tidak ditujukan untuk itu. Yang dapat dianalisis adalah hal tersebut hanya merupakan sebuah proses politik yang lazim dalam sebuah sistem demokrasi yang tidak lain adalah untuk menghindari untuk sementara waktu terjadinya chaos politik di tengah masyarakat yang berkeinginan penerapan Syariat Islam yang dalam kacamata politik demokrasi secara strategis dapat mengganggu proses keberlangsungan demokrasi di suatu wilayah (Indonesia). Penerapan Syariat Islam itu juga sebetulnya merupakan upaya “tambal sulam” untuk menutupi bobrok demokrasi agar demokrasi tampak manis, tampak elok, tampak indah dimata kaum muslimin. Padahal sejatinya demokrasi adalah jalan setan yang merusak Islam. Lagi pula penerapan Syariat Islam melalui jalan demokrasi tersebut dalam perspektif Aqidah Islam, merupakan sesuatu yang batil. Sebab standar kebenaran yang digunakan oleh sistem demokrasi sebagai standar yang sah atau benar yaitu karena didasarkan kepada kehendak mayoritas rakyat. Jelas pandangan itu keliru, menerapkan Syariat Islam bukanlah didasarkan kepada standar suara mayoritas. Namun standar kebenaran yang dijadikan dasar oleh Islam tentang kewajiban menerapakan Syariat Islam adalah karena memang perintah dari Allah SWT melalui kitab sucinya Al-qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Bukan karena tuntutan suara mayoritas rakyat. Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah adanya kewajiban penguasa untuk selalu mengeluarkan keputusan atas dasar hukum syara’ dan tidak mengikuti aspirasi siapapun yang menyimpang dari hukum-hukum syara’. Jika penguasa menyimpang dari ketentuan pokok ini, maka dia bukan hanya menyalahi hukum syara’, tapi juga menyalahi ketentuan dasar (konstitusi) Negara Islam. Allah SWT berfirman: {فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ} Maka hukumilah (perkara) di antara mereka dengan apa yang diturnkan oleh Allah, dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka (untuk berpaling) dari kebenaran yang telah datang kepadamu, (Al Maidah ayat 48) {وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ} “Dan hendaklah kamu putuskan (perkara) di antara mereka dengan apa yang diturunkan oleh Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (sehingga mereka) memalingkan kamu dari sebagian (hukum) yang diturunkan Allah kepadamu. Sehingga jika kalian berpaling maka ketahuilah bahwa Allah tidak berkehendak lain kecuali akan menimpakan (hukuman) karena dosa-dosa kalian. Dan sesungguhnya sebagian besar dari manusia itu benar-benar orang-orang yang fasik, (Al Maidah ayat 49) Kedua ayat ini memberi perintah tegas kepada Nabi -yang waktu itu berperan sebagai penguasa- untuk memutuskan suatu permasalahan dengan hukum yang diturunkan oleh Allah. Kata uhkum merupakan fi’l amr, dari hakama-yahkumu, yang menurut kamus Al Munawir artinya adalah menetapkan atau memutuskan (qorroro). Maka dari itu, tidak bisa dikatakan bahwa ayat ini merupakan perintah kepada Nabi saw untuk menjelaskan dan menyatakan secara tegas bahwa yang halal adalah halal dan yang haram adalah haram semata, akan tetapi, ayat di atas justru memberi perintah kepada Rasulullaah saw untuk mengeluarkan keputusan hukum formal sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (hukum syara’). Maka dari itu, dalam menjelaskan kalimat “fahkum bainahum bimaa anzalallaah” itu, Ibnu Katsir mengatakan : “berilah keputusan hukum wahai muhammad di tengah-tengah manusia, baik Arab maupun non-Arab, baik kalangan yang ummi maupun ahli kitab, dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Imam Ath Thobari mengatakan: “ini adalah perintah Allah Ta’ala, peringatanNya untuk nabiNya, Muhammad saw, agar beliau memberi keputusan hukum terhadap pihak-pihak yang minta keputusan hukum kepada beliau -dari kalangan ahli kitab dan penganut semua agama yang ada- dengan menggunakan kitab yang Allah turunkan kepada beliau. Terlebih lagi, sebab turunnya ayat ini terkait dengan pemberian putusan hukum kepada non-muslim, yakni orang yahudi yang melakukan zina dalam keadaan muhshon (telah menikah). Ketika ia dibawa ke hadapan Rasulullah saw, Allah memerintahkan beliau untuk menghukumnya dengan hukum yang turun kepada beliau, yakni rajam. Atas dasar itu, tidak mungkin jika ayat ini dikaitkan dengan masalah penghalalan dan pengharaman, karena Rasulullah saw tidak berkepentingan terhadap urusan halal-haram dalam agama lain. Tapi, sebagai penguasa, beliau berkepentingan untuk menegakkan hukum yang berlaku secara formal kepada seluruh manusia yang hidup dalam yurisdiksi Negara Islam. Dalam konteks inilah, Allah memerintahkan beliau untuk memberi keputusan hukum berdasarkan syari’ah Islam. Perintah tersebut, meskipun tertuju kepada Nabi saw, namun juga berlaku kepada seluruh penguasa muslim, sebagaimana dikatakan oleh Al Qurthubi “annal khithoba liNabi ‘alaihis salam khithobun li-ummatihi. Seruan kepada Rasul tersebut adalah juga seruan kepada umatnya), tentu selama tidak ada dalil yang mengkhususkan. Jadi, ini adalah ketentuan legeslasi dan penegakkan hukum di dalam Negara Islam yang harus senantiasa terikat dengan hukum yang diturunkan oleh Allah. Pada sisi lain penerapan perda syariah di Indonesia, tidak bisa disebut sebagai keberhasilan atau kemenangan kaum muslim dalam menegakkan hukum Islam (baca syariah). Sebab pada faktanya, perda syariah yang berlaku di wilayah-wilayah penerapannya di Indonesia, lebih bersifat parsial alias sepotong-sepotong, misalnya di Aceh yang berlaku hanyalah pidana cambuk bagi yang melakukan pidana dan aturan bagi perempuan muslimah untuk menutup aurat seperti kerudung. Di Kabupaten Bulukumba di Provinsi Sulawesi Selatan yang diklaim sebagai keberhasilan penerapan perda Syariat, yang berlagu juga sifatnya sektoral dan sepotong-sepotong yaitu antara lain pelarangan peredaran minuman beralkohol. Tentu saja, terlau naif kalau penerapan Syariat Islam hanya dilihat dari sudut pandang yang sempit sekedar pada penerapan kewajiban berjilbab saja. Sebab keberhasilan penerapan Syariat Islam harus dilihat secara menyeluruh (komprehensif), terintegral, dan sifatnya terpadu. Sebab Syariat Islam tidak hanya mencakup kewajiban sholat, kewajiban menutup aurat, ataupun sekedar melarang peredaran minuman keras. Syariat Islam adalah sebuah sistem yang mencakup semua aspek kehidupan, mulai dari pengaturan aspek ekonomi, pengaturan aspek kehidupan politik, pengaturan aspek pemerintahan dan bernegara, termasuk pertahanan keamanannya (militer). Penerapan Syariat Islam baru bisa dikatakan berhasil apabila Islam sebagai sistem politik dan kenegaraan diberlakukan di tengah-tengah masyarakat. Sangat keliru, kalau Syariat Islam hanyalah kewajiban menutup aurat sementara sistem pergaulan yang berlangsung di tengah masyarakat adalah sistem pergaulan liberalisme, yang justeru bertentangan dengan Islam. Keliru juga kalau keberhasilan penerapan Syariat Islam sekedar pemberlakuan hukum potong tangan bagi para pencuri sementara sistem ekonomi yang berlangsung di tengah masyarakat adalah sistem ekonomi kapitalisme yang membolehkan riba, dan sebagainya. Secara politik, fakta juga menunjukkan penerapan perda-perda syariah dibeberapa wilayah di Indonesia ternyata mendapat tantangan keras dari kaum pengusung sekulerisme dan liberalisme yang dikomandai oleh para antek-anteknya semisal Jaringan Islam Liberal (JIL). Kelompok sekulerisme menentang keras penerapan perda-perda syariah tersebut malah dianggap bahwa perda-perda syariat dianggap sebagai perda-perda yang bermasalah tidak sesuai konstitusi, dianggap melanggar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Malah pemberlakuan Undang-Undang Anti Pornografi oleh para pejuang feminis-sekuler, digugat keberadaannya melalui Mahkamah Konstitusi sebab dianggap melanggar kebebasan berekspresi sebagai salah satu pilar berdirinya sekulerisme. Derasnya tantangan dari kaum sekuleris serta desakan untuk mencabut perda-perda syariah karena dipandang sebagai perda bermasalah, menurut pendapat penulis, secara politik bisa dikatakan penerapan Syariah Islam belum berhasil di Indonesia. Logikanya, seharusnya Perda-Perda Syariah tidak boleh ada penolakan sebab dengan berpijak dengan standar suara mayoritas ala demokrasi, penerapan perda syariah merupakan hak kaum muslim Indonesia sebagai pemilik sah suara mayoritas yang menginginkan Islam di terapkan sebagai bahagian dari perilaku kehidupan sosialnya. Sejarah juga tidak bisa dibohongi, betapa sistem demokrasi telah berbuat curang kepada kaum muslimin. Contoh di Indonesia masa rezim Presiden Soekarno pada Tahun 1955 kaum muslimin melalui Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), berhasil menang dalam pemilu, sehingga secara mutlak kaum muslimin Indonesia memegang suara mayoritas di parlemen yang saat itu bernama Dewan Kostituante. Kekhawatiran Soekarno yang sekuler, jangan sampai umat Islam berhasil menang merubah Negara Republik Indonesia menjadi negara Islam. Soekarno yang berkolaborasi dengan TNI AD saat itu, mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 untuk membubarkan Dewan Konstituante. Sebab Dewan Konstituante dianggap tidak sejalan dengan pandangan politik Soekarno. Sehubungan dengan itu, Adnan Buyung Nasution, Advokat Senior Indonesia, mengungkap secara gamblang tentang keberadaan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang dikeluarkan oleh Soekarno, sebagaimana dikutip oleh Artawijaya sebagai berikut: “Adnan Buyung Nasution, misalnya, mengatakan dekrit tersebut merupakan bagian dari intervensi Soekarno terhadap Konstituante dengan cara membubarkan majelis tersebut. Bagi Buyung, pandangan selama ini yang mengatakan bahwa Konstituante gagal adalah keliru. Konstituante bukannya gagal, tapi digagalkan, tegasnya. Padahal konstituante sebagai lembaga yang berdaulat, dipilih langsung oleh rakyat, benar-benar mewakili rakyat secara keseluruhan. Karena itu dekrit yang dikeluarkan Soekarno adalah bagian dari intervensi, disaat para anggota konstituante belum sempat menyelesaikan tugasnya.” Contoh diatas menjadi pelajaran bagi kita kaum muslimin, meskipun kita kaum muslim menguasai parlemen sampai pada level mayoritas suara, katakanlah 100 persen menguasai parlemen. Tentu ada cara lain bagi demokrasi untuk menggagalkan upaya-upaya kaum muslimin menerapkan Syariat Islam. Sejatinya demokrasi akan senatiasa berbenturan vis a vis dengan Syariat Islam. Kemenangan Partai Islam FIS di Aljazair dalam pemilu anggota parlemen, terpaksa harus dikudeta oleh pihak militer karena dianggap upaya partai FIS yang menguasai kursi parlemen di atas 90 persen, guna menerapkan Syariat Islam atau mengubah konstitusi Aljazair menjadi konstitusi Islam sangat bertentangan dengan ajaran demokrasi.