Selasa, 02 September 2008

Meraih Ketakwaan Sosial di Bulan Ramadhan
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Pada hari ini bulan Ramadhan, menurut penanggalan Hijriyah, kaum muslimin seluruh dunia, sedang bergembira melaksanakan ibadah “shaum” puasa selama sebulan lamanya. Pentaklifan ibadah puasa di bulan Ramadhan bagi kaum muslimin, sesungguhnya merupakan kewajiban syar’i yang bersifat fardhu ‘ain. Ia adalah salah satu prinsip dari rukun Islam. Pentasbihan kewajiban melaksanakan ibadah “shaum” puasa bagi seluruh kaum muslimin, terpatri secara tegas dalam Qur’an Surah Al Baqarah yaitu “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelumnya, mudah-mudahan kamu menjadi orang-orang yang bertakwa”.
Kewajiban ibadah “shaum” puasa bagi kaum muslimin, terumus dalam bentuk tindakan menahan makan dan minum, termasuk menahan untuk melakukan hubungan seksual suami isteri, serta segala aktifitas yang dapat membatalkan puasa, pada siang hari terhitung mulai terbit fajar sampai pada tebenamnya. Kewajiban menahan di bulan Ramadhan itu merupakan titah Allah SWT dus merupakan salah satu kehendak dari sang Maha Tinggi “Rabbul Izzati” kepada hamba-hambanya yang beriman guna meraih derajat takwa.
Namun sesungguhnya titah melaksanakan “shaum” puasa di bulan Ramadhan, tidaklah sekadar bermakna formalistik dan metaforis. Bukan sekadar menahan makan dan minum tetapi juga mesti mengelaborasi pada tataran tindakan menahan diri (tazkiyah an nafs) dalam segala aspek, untuk tidak bermaksiat kepada Allah SWT. Terminologi maksiat dimaksud dengan meminjam tafsiran Ulama Imam ash Shabuni dalam kitabnya at Tafsir, yaitu pelanggaran terhadap semua hukum Allah SWT baik dalam cakupan aspek individual maupun cakupan aspek sosial serta moral.
Berdasar acuan Imam ash Shabuni itu, maka pengejawentahan ketakwaan bagi pribadi muslim, hakikatnya terdeskripsi pada segenap tingkah laku termasuk cara berpikirnya sebagai hamba yang secara kaffah tetap tunduk terhadap semua aturan yang diturunkan oleh Allah SWT. Sehingga ketakwaan seorang hamba sekaligus berkomitmen untuk mengaplikasikan segenap syariat Allah dalam seluruh aspek kehidupan sosial, penegakan hukum, aturan ekonomi (muamalah), pergaulan antara laki-laki dan perempuan (nizhamul ijtima’i), sistem pemerintahan dan kehidupan politik (as siyasah), dan lain-lain.
Bagaimanapun, Islam adalah ajaran yang mengusung tema sentral sebagai ajaran pembawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Konsekuensi sebagai ajaran yang berkarakter rahmatan lil alamin, tak pelak mengharuskan bagi pribadi muslim yang saleh, untuk senantiasa tetap komitmen menjaga Syariat Allah dalam kerangka meraih derajat takwa serta termasuk kelompok orang yang beruntung (muflihun).
Betapa tidak, dalam pandangan Islam, keseimbangan sebuah sistem sosial yang mewujudkan keamanan dan kesejahteraan masyarakat dalam batas-batas yang holistik dan egaliter, hanya bisa tercapai dengan mentransformasikan nilai-nilai ketakwaan secara komprehensif dan tidak parsial. Ancaman Allah, jelas terpatri dalam Qur’an Surah ar Rum Ayat 41, bahwa telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia yang tidak mengindahkan koridor ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam risalah Allah SWT. Ini bisa diterjemahkan bahwa komprehsivitas ketakwaan seorang hamba mestinya jauh mengelaborasi terhadap semua tindakan tatkala mengelola semesta ini sebagai amanah sang khalik yang dibebankan kepadanya.
Kerusakan sistem sosial yang mendera umat manusia selama ini, yang ditenggarai dengan makin merebaknya prilaku korupsi dalam segala level birokrasi, prilaku seks bebas yang menjalar baik di kalangan generasi muda maupun generasi tua, belum lagi pembodohan serta manipulasi politik yang dipertontonkan tanpa malu-malu oleh para elit politik di tanah air, krisis ekonomi yang makin menghimpit masyarakat ekonomi menengah ke bawah, pengangguran yang makin membengkak. Kesemua itu sesungguhnya merupakan dampak implikatif dari pengabaian regulasi syariat Allah SWT oleh manusia tatkala diamanahkan untuk mengelola semesta. Inilah yang disebut dengan pengabaian untuk mengejawentahkan nilai-nilai ketakwaan sosial, yang akhirnya berbuntut pada terjadinya kerusakan sistem sosial yang semakin akut.
Melalui momentum bulan Ramadhan ini, sebagai bulan “tazkiyah an nafs”, semestinya menjadi masa pelatihan bagi seorang hamba yang berikrar sebagai orang beriman, untuk membuktikan konsistensi ketawaannya dengan cara berkomitmen menjaga dan atau lebih mengedepankan syariat Allah daripada mengikuti hawa nafsu atau cara berpikir egoistik. Sabda Nabi Muhammad SAW, terurai dengan kata-kata tegas...”Kamu sesungguhnya bukan orang yang beriman selama tidak menjadikan hawa nafsu atau cara berpikir egoistik kalian tunduk pada risalah yang aku bawa...”. Ini adalah hadist shahih yang tidak perlu diperdebatkan periwayatannya.
Kata-kata mulia Rasulullah tersebut, sudah cukup menjadi dalil naqli normatif bagi seorang hamba yang saleh bahwa sejatinya kadar ketakwaan seseorang tidak sekedar terukur pada intensitas praktik-praktik ibadah mahdahnya saja, namun juga terukur pada tataran sejauhmana kesadaran intrinksifnya mengamalkan syariat Allah dalam aspek kehidupan sosialnya, seperti ekonomi, pergaulan hidup, akhlak berpolitik dan berpemerintahan. Artinya, ketakwaan yang dibangun seyogyanya mengelaborasi pada ketakwaan sosial bukan semata pada ketakwaan individual.
Untuk itu, seharusnya bagi seorang mukmin sejati, momentum bulan Ramadhan ini bukan juga sekedar sebuah perhelatan ritual yang “an sich” menahan makan, minum, dan hubungan suami isteri, tetapi berlatih diri meng-up grade sinerjitas antara ketakwaan individu dengan ketakwaan sosial. Peningkatan ketakwaan individu antara lain dengan tetap menyemarakkan ibadah-ibadah mahdah sunnah, seperti Shalat Lail, Tadarus Qur’an, memperbanyak infaq dan sadaqah, serta amalan kebajikan sunnah lainnya. Peningkatan ketakwaan sosial misalnya, secara selektif dapat memilah mana harta yang asalnya haram atau halal. Sehingga paling tidak prilaku korupsi dan menilep uang rakyat dapat diminimalisir. Begitu pula, penerjemahan ketakwaan sosial dimaksud, terartikulasi dalam bentuk mempraktikkan amalan sunnah Rasulullah SAW ketika menerapkan aturan-aturan transaksi ekonomi, kehidupan politik dan pemerintahan, pergaulan hidup sosial kemasyrakatan, dan lain-lain.
Melalui sinerjitas kesalehan individual dan kesalehan sosial itulah, maka syarat untuk mencapai masyarakat yang aman, tentram, dan sejahtera secara hakiki, dapat tercapai. Sebagaimana yang dijanjikan Allah SWT, dalam salah satu firmannya, bahwa “...seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa maka pasti kami (Allah) menurunkan berkah dari langit serta berkah yang keluar dari perut bumi, namun sayang banyak di antara mereka yang ingkar...”
Maraknya penyakit-penyakit sosial termasuk berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang kini makin kronis menimpa sebahagian besar peradaban umat manusia di berbagai pelosok, bisa dipastikan merupakan isyarat betapa umat telah mengabaikan transformasi ketakwaan sosial.
Untuk itulah, bulan Ramadhan ini sekali lagi mestinya menjadi momentum bagi seluruh kaum muslimin untuk tetap menjaga sinerjitas ketakwaan individu dan ketakwaan sosial guna meraih predikat umat terbaik sebagaimana janji Allah dalam Qur’an Surah Ali Imran bahwa kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk menyerukan kebenaran dan mencegah kemungkaran (keburukan).
Namun demikian, sinerjitas ketakwaan individu dan ketakwaan sosial tersebut, sesungguhnya tidak cuma bersifat temporal pada sebatas bulan Ramadhan tetapi hendaknya juga mengejawentah pada bulan-bulan lainnya di luar Ramadhan. Lantaran kesemarakan Islam

Penulis, adalah salah satu Dewan Pembina Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Mahasiswa (BKLDM) Universitas Haluoleo



Tidak ada komentar: