Rabu, 16 Desember 2009

Ketika Hukum Dikendalikan Para Cukong
Oleh: Muh Sjaiful SH MH

Sungguh memalukan! Dunia hukum dan sistem peradilan kita makin tercoreng ketika boroknya terungkap melalui hasil rekaman perbincangan sang cukong hukum, Anggodo Widjojo dengan beberapa pejabat tinggi penegak hukum di negeri ini yang bertujuan untuk mengkriminalisasi atau melakukan pelemahan terhadap KPK. Konon dari hasil rekaman perbincangan yang berhasil disadap KPK, terungkap kalau Anggodo berjanji untuk menggelontorkan segepok uang miliaran rupiah kalau itu bisa dilakukan dengan modus operandi menahan Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah yang sekarang berstatus pimpinan non-aktif KPK. Konon skenario dijalankan pihak kepolisian dengan menahan Bibit dan Chandra. Keduanya disangka melakukan pemerasan ketika menyidik kasus penilepan dana Bank Century.
Terungkapnya aib rekaman mafia hukum tersebut, tampaknya semakin memperbenar asumsi sebahagian besar orang kalau sesungguhnya dunia peradilan kita masih merupakan panggung sandiwara hukum yang di dalamnya berseliweran para cukong hukum yang siap meladeni transaksi hukum. Pada akhirnya hukum tidak mempan bagi para pemilik modal lantaran mereka bisa membeli hukum. Ia hanya ditegakkan bagi orang-orang yang tidak memiliki cukup modal atau kurang memiliki kedekatan dengan pusat-pusat kekuasaan.
Itulah salah satu tanda kehancuran masyarakat, sebagaimana yang disinyalir Baginda Nabi Muhammad SAW, “sesungguhnya kehancuran suatu kaum (baca masyarakat) yaitu ketika kalangan pembesar (baca pemilik modal dan para pemegang kekuasaan) di antara kamu melakukan kejahatan, hukum tidak ditegakkan. Namun bila yang melakukan kejahatan adalah masyarakat bawah (baca kelompok miskin), maka barulah hukum ditegakkan”.
Ulah para cukong hukum di negeri ini tampak ketika mereka berperan menjadi makelar kasus alias markus yang konon bisa memberikan jaminan kepada orang-orang tertentu yang terkait sebuah perkara hukum untuk kebal terhadap hukum asal mau menggelontorkan sejumlah uang tertentu. Kata sang cukong, konon uang tersebut merupakan tip kepada para penegak hukum yang menangani perkaranya.
Seorang pengusaha tambang yang penulis kenal (jangan paksa penulis menyebut siapa namanya karena tidak etis) menceritakan pengalamannya ketika terkait sebuah perkara hukum. Secara jujur ia mengaku pernah dimintai uang sebanyak sepuluh juta, oleh oknum jaksa terkait dengan perkara hukum yang sedang diproses pihak kejaksaan. Ini hanya salah satu contoh, betapa jual beli hukum telah menggurita dalam sistem peradilan kita saat ini.
Sebenarnya, jika kita mau mencermati secara fundamental, fenomena para cukong yang berseliweran dalam dunia peradilan kita, maka problem utamanya adalah pada konfigurasi ideologi hukum yang menyangga sistem peradilan kita saat ini, yang jadi biang kerok carut marutnya dunia peradilan.
Jujur saja, sistem peradilan kita masih disangga oleh ideologi hukum berbasis materialisme yang merupakan anak kandung dari ideologi sekulerisme. Postulat hukum yang lahir dari sistem sekulerisme, selalu menafikan nilai-nilai ilahiah (baca keagamaan) dalam semua komponen hukumnya, maka yang terlihat adalah hukum kadangkala tidak akan mempan kepada para cukong, yang siap membayar agar tidak terjamah hukum.
Berseliwerannya para cukong hukum tidak hanya bergentayangan dalam praktik-praktik kotor mafia peradilan, namun juga merasuk pada saat penggodokan sebuah rancangan peraturan-peraturan hukum tertulis di legislatif. Di sana para cukong akan membayar para legislator agar merancang sebuah produk hukum tertulis yang isi serta muatannya dapat menjaga kepentingan serakah para pemilik modal (kaum kapitalis), meski untuk itu harus menjungkirbalikkan asas-asas dan logika hukum tertulis tertinggi di negeri ini yaitu Konstitusi UUD 1945.
Bisa dicermati dari keberadaan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UUBHP) dan Undang-Undang Sumber Daya Alam (UUSDA), yang muatan dan substansi pasal-pasalnya terkesan meminggirkan peran dan tanggungjawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengelolaan sumber-sumber daya alam. Padahal Konstitusi UUD 1945 sebagai hukum tertulis tertinggi yang disepakati the founding fathers negara ini, telah menetapkan tanggungjawab negara secara penuh untuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam dalam kerangka untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Begitu pula, pendidikan dan pengajaran merupakan hak setiap warga negara untuk memperolehnya, dan negara punya kewajiban untuk menyediakan berbagai akses dan fasilitas pendidikan kepada setiap warga negaranya.
Namun kenyataannya, logika konstitusi tersebut, dijungkirbalikkan dan dipreteli oleh para pemilik modal dengan memperalat para cukong untuk menjadi makelar yang boleh jadi digunakan membeli para legislator yang siap sedia menghasilkan sebuah produk hukum yang isinya tentu saja sebagai legitimasi meminggirkan peran negara beralih ke tangan para pemilik modal dalam mengendalikan semua yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Bahasa yang sering diperhalus untuk menutup kedok kepentingan para pemilik modal, yaitu dengan menggunakan istilah privatisasi dan pasar bebas.
Padahal istilah privatisasi dan pasar bebas merupakan dua istilah yang menghasilkan akibat hukum yang tujuannya sama, yaitu demi kemanfaatan para cukong dan pemilik modal. Rakyat cuma menjadi objek penderita. Karena bagaimanapun, istilah privatisasi dan pasar bebas merupakan istilah yang secara prinsip lahir dari konstruksi berpikir kapitalisme sebagai buah sekulerisme. Dan sangat wajar kalau pada faktanya, privatisasi belum pernah sekalipun memberikan jaminan kesejahteraan rakyat. Malah yang tampak adalah kemiskinan dan penderitaan ekonomi makin menggelayut di pundak rakyat bawah.
Buktinya, tatkala privatisasi pengelolaan tambang emas di Timika Provinsi Papua dialihkan ke perusaahan asing PT Freeport milik Mc Morant di Amerika Serikat, sampai saat ini lebih tiga puluh tahun lamanya, rakyat Papua yang hidup lama di seputaran lokasi penambangan emas tersebut, tetap dirundung derita kemiskinan. Lebih aneh lagi, ada rakyat di wilayah tertentu Papua, menderita busung lapar dan gizi buruk. Padahal hasil penambangan emas dari eksplorasi yang dilakukan PT Freeport, bisa menghasilkan ribuan ton butiran emas. Menurut kalkulasi, harga yang didapat dari ribuan ton butiran emas tersebut, sangat cukup untuk membiayai gratis pendidikan seluruh putra putri bangsa Indonesia sampai ke perguruan tinggi sekalipun.
Menurut penulis, sebetulnya hantu para cukong hukum dan makelar kasus yang sampai hari ini berseliweran dalam sistem hukum dan sistem peradilan bangsa Indonesia, bukanlah terletak pada persoalan degradasi moral personalitas penegak hukum kita.
Bergentayangannya para cukong hukum dan makelar kasus, sebagai suatu fenomena yang sangat menyakitkan hati, sekali lagi bisa dikatakan merupakan akibat dari adanya kelemahan fundamental dari paradigma ideologis yang menyangga sistem hukum kita. Ini pulalah yang menjadi biang kerok tumbuh suburnya para cukong hukum serta makelar kasus yang menambah carut marutnya dunia peradilan di tanah air.
Ditenggarai bahwa sistem hukum bangsa Indonesia berdiri tegak di atas landasan ideologi hukum yang sekuleristik yang kemudian berbuah dihasilkannya nilai-nilai hukum dengan kecenderungan pragmatis dan materialistik. Nilai-nilai hukum demikian itu selalu berada pada tataran kalkulasi siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Terus menerus terjadi perputaran arus perdebatan yang tidak kunjung selesai, terutama soal siapa berbuat zalim dan tidak, serta keadilan itu untuk siapa. Di tengah perdebatan itulah maka para cukong dan makelar kasus sering dipergunakan secara licik dan cerdik oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan pragmatis lebih besar.
Di tengah arus permainan hukum yang dikangkangi oleh para cukong hukum, maka titik nadir penegakan hukum, ditandai dengan makin maraknya jual beli keputusan hukum di Indonesia. Artinya, hukum memang dapat diperjualbelikan. Argumentasi yang penulis kemukakan ini, bukanlah sebuah pernyataan provokatif. Karena terbukti, hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 4-5 November 2009, terhadap 850 responden terpilih yang berdomisili di beberapa kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, Medan, Padang, Banjarmasin, Pontianak, Manado, Makassar, dan Jayapura, dengan tingkat kepercayaan 95%, sungguh mengejutkan, sebanyak 89,9% responden percaya kalau keputusan hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang.
Itulah fakta yang tak terbantahkan kalau hukum kita masih dikangkangi oleh para cukong hukum. Sehingga untuk mengganyang mafia peradilan di Indonesia, mestinya dilakukan dengan merekonstruksi wajah sistem hukum kita yang sejak dulu masih terkontaminasi kepentingan-kepentingan pragmatis dan materialistik. Sehingga nilai-nilai hukum tidak lagi dilihat dari sudut pandang yang lebih bisa menjamin keadilan, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum warga masyarakat yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak.

Dosen Tetap Fakultas Hukum Unhalu juga Pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta

Tidak ada komentar: