Selasa, 10 Februari 2009

Tulisan Akhir Tahun 2008

Penegakan Hukum yang Masih Tertatih
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Tahun 2008 sudah kita tinggalkan. Ada banyak kenangan penting yang bisa diambil selama 2008, untuk dijadikan sebagai instrospeksi dalam menapak jalan menuju 2009. Pun dibidang penegakan hukum selama 2008, ada banyak catatan penting yang bisa ditoreh, terutama dalam konteks penegakan dan dinamika hukum di Sultra, dimana yang masih mengerucut antara lain pada persoalan korupsi. Kendati, lembaga kejaksaan Sultra sudah berani mengkerangkeng, beberapa pejabat Sultra yang ditenggarai menilep uang negara alias korupsi, semisal Abd Samad cs anggota DPRD Konawe dan Hino Biohanis cs, anggota DPRD Provinsi Sultra. Dan beberapa di antaranya kini sedang masih dalam penyidikan, seperti Mashur Masie Abunawas pada kasus gratifikasi. Tapi persoalan korupsi sejatinya akan masih merupakan geliat hukum yang mewarnai dinamika penegakan hukum di Sultra, hatta memasuki 2009 nanti.
Sebab persoalan korupsi, adalah budaya yang tampaknya secara epidemik masih menjangkiti sebahagian oknum pejabat yang duduk di ranah-ranah kekuasaan. Sehingga kesulitan untuk memberantas korupsi pada 2009 mendatang tetap akan terkendala oleh budaya hukum (legal culture) yang menumbuhsuburkan prilaku korupsi itu sendiri. Analisis penulis secara empirik, budaya hukum yang materialistik serba pragmatis, ditenggarai merupakan muasal yang melahirkan praktik-praktik korupsi yang tidak hanya dalam konteks Sultra tetapi juga dalam konteks hukum nasional kita.
Tahun 2008 lalu, dalam konteks Sultra, juga merupakan tahun yang ditandai oleh masa-masa pergolakan hukum pada level akar rumput. Paling sering adalah aksi massa beberapa elemen masyarakat yang mengepung kantor-kantor kejaksaan untuk menuntut keseriusan lembaga penegak hukum guna menuntaskan kasus-kasus korupsi yang merebak.
Selain itu, aksi anarkisme dan gelombang konflik yang berbuntut bentrok berdarah antara mahasiswa Unhalu dengan aparat kepolisian Sultra, medio penghujung 2008 lalu, juga adalah salah satu di antara pergolakan hukum yang paling menggurat wajah penegakan hukum Sultra.
Dari deskripsi inilah, maka sudah dapat diduga bila teodolit penegakan hukum Sultra akan ditoreh oleh dua titik persoalan, yaitu persoalan korupsi dan penyalahgunaan uang rakyat (negara) yang tak kunjung selesai serta pergolakan hukum pada level akar rumput terhadap pelbagai persoalan hukum yang mengemuka.
Dengan belajar pengalaman wajah penegakan hukum pada 2008 tersebut, serta dengan menggunakan pendekatan analisis menurut teori hukum responsif versi Nonet dengan sedikit perubahan, maka paling tidak 2009 nanti, wajah penegakan hukum Sultra akan ditandai oleh responsi hukum yang berkutat pada dua kutub yaitu kutub akar rumput (massa mengambang), dan kutub penentu kebijakan (the ruling class). Pada kutub penentu kebijakan (the ruling class), masih paling menonjol adalah pada persoalan korupsi yang kemungkinan belum terkuak.
Pada kutub akar rumput, akan ditandai oleh persoalan-persoalan hukum di seputar pemilu legislatif yang bakal dihelat pada 2009 mendatang. Dan sudah dapat diduga apabila persoalan hukum yang menyeruak itu adalah menyangkut gelombang aksi gugatan hukum dari kelompok-kelompok yang merasa tidak puas terhadap hasil perolehan pemilu atau menyangkut mekanisme pemilu yang sedang dijalankan. Boleh jadi juga aroma politik uang dan penggelembungan suara bakal meranggas sebagai persoalan hukum di seputar pemilu 2009 nanti.
Korupsi serta aksi gugatan hukum seputaran pemilu 2009, sekali lagi menjadi persoalan krusial yang membetot wajah penegakan hukum di Wilayah Sultra. Dari dua titik krusial itulah, maka besar kemungkinan, pengaruh politik bakal berkelindan dengan persoalan-persoalan hukum dimaksud.
Karena betapapun, korupsi dan persoalan pemilu merupakan dua persoalan yang tidak pernah terlepas dari pengaruh politik. Dan lazimnya, proses keberlangsungan penegakan hukum, yang tidak pernah senyap oleh benturan kepentingan politik, hukum tak ubahnya menjadi parodi bagi para pialang politik.

Tidak ada komentar: