Selasa, 10 Februari 2009

Tulisan Saya tentang Israel Sang Penjajah Bangsa Simpanse

Kejahatan Kemanusiaan di Jalur Gaza

Oleh: Muh Sjaiful SH MH

Hari Sabtu tanggal 27 Desember 2008, Jalur Gaza Wilayah Palestina kembali terkoyak oleh bombardir jet-jet tempur milik pasukan Zionis Israel. Menteri Pertahanan Israel, Ehud Barak, berdalih bahwa serangan bombardir tersebut, dimaksudkan sebagai balasan dari serangan roket yang dilancarkan kelompok militan Hamas ke Israel. Tak dinyana bila serangan bombardir Israel ke Jalur Gaza dilakukan secara membabi buta dan sporadis. Tidak satupun yang bisa selamat dari serangan itu. Lebih sepuluh hari serangan bombardir Israel, telah menewaskan lebih 800 jiwa penduduk sipil, di antaranya bayi-bayi dan anak-anak tidak berdosa serta wanita. Sudah tidak terhitung pula ratusan jiwa penduduk sipil yang luka-luka.

Kebiadaban serangan tentara Zionis Israel yang telah memakan korban ratusan ribu jiwa penduduk sipil tak berdosa, tentu merupakan tindakan yang melanggar tata krama dalam pergaulan internasional, sebagaimana yang sudah menjadi konsensus umum (common sense) masyarakat internasional yang termaktub dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Den Haag 1907.

Konvensi Jenewa 1949 sebagai kompromi politik dari negara-negara pemenang perang dunia II, mewajibkan perlindungan secara permanen dan terus-menerus kepada golongan penduduk sipil tertentu dari akibat langsung perbuatan-perbuatan perang seperti pemboman dari udara, penembakan arteleri, termasuk peluru-peluru kendali, dan perbuatan-perbuatan perang lainnya (Pasal 14 Konvensi). Dalam Konvensi Den Haag 1907, juga memberikan larangan bagi pihak militer untuk menyerang penduduk sipil yang tidak turut berperang dimanapun mereka berada.

Pasal 24 Konvensi Jenewa 1949, mewajibkan pihak-pihak berperang untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak sebagai akibat korban perang. Termasuk juga perlindungan terhadap wanita, khususnya menyangkut harkat dan martabatnya itu sendiri (Pasal 27 Konvensi).

Konteks penyerangan Israel di Jalur Gaza dalam sudut pandang Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Den Haag 1907 merupakan sebuah kejahatan perang. Sedangkan dalam konteks Piagam PBB dan Perjanjian Briand Kellog Pact 1929, adalah kejahatan kemanusiaan. Dari sudut pandang normatif inilah, telah menjadi konsensus internasional yang disepakati dalam tata krama pergaulan internasional, bahwa negara-negara tidak diperkenankan melakukan aksi militer yang mengorbankan penduduk sipil tak bersenjata (non-kombatan) dalam situasi apapun. Sehingga tindakan “holocaust” dan “genocide” (pembantaian massal), sekali lagi merupakan kejahatan kemanusiaan. Pelakunya harus diadili di pengadilan internasional.

Namun dalam kasus agresi milter Israel ke Jalur Gaza, kembali seolah menjadi uji efektivitas konvensi internasional yang memberikan perlindungan kepada penduduk sipil. Yang pada faktanya Zionis Israel masih terus menerus melakukan serangan udara milter yang kebanyakan bertitik sasar pada kawasan-kawasan yang dihuni penduduk sipil. Teguran PBB dalam bentuk resolusi agar Israel menghentikan serangan militer yang bertitiksasar kepada warga sipil di Jalur Gaza, dan gelombang kecaman masyarakat internasional kepada pasukan Israel, dianggap angin lalu oleh petinggi Ohed Olmert. Dari sinilah kegamangan Konvensi Jenewa sebagai salah satu instrument hukum internasional yang tampak tidak berdaya pada prilaku brutal tentara Zionis Israel.

Mestinya menurut logika hukum Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Den Haag 1907, PBB tidak sekedar mengeluarkan resolusi gencatan senjata kepada pasukan Israel, tetapi juga menyeret para petinggi militer Israel termasuk PM Ohed Olmert sebagai penjahat kemanusiaan ke Mahkamah Internasional.

Namun problem yuridis yang masih melingkupi Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag, untuk mengeksekusi para petinggi militer Israel dan Ohed Olmert ke pengadilan internasional, yaitu konvensi ini tidak mengatur secara substansial, struktur kelengkapan badan-badan internasional, yang memiliki kekuatan eksekutorial untuk menyeret secara langsung para penjahat kemanusiaan tersebut.

Atas alasan inilah maka John Austin, salah seorang penulis hukum beraliran positivis, memandang hukum internasional pada praktiknya bukanlah hukum dalam arti sebenarnya. Ketidakberdayaan hukum internasional itulah, dengan mengambil contoh kasus penyerangan Israel ke Jalur Gaza, yang kemudian meniscayakan pandangan sebahagian besar masyarakat internasional, bahwa hukum internasional sesungguhnya boleh jadi hanya merupakan mitos. Ia tidak begitu berdaya untuk menghukumi negara-negara pelanggar hukum internasional yang memiliki kepentingan politik begitu kuat.

Kita semua mahfum kalau di Kawasan Jalur Gaza, tidak hanya ada kepentingan Negara Yahudi Israel, tetapi juga ada kepentingan yang sama negara-negara yang menjadi penyokong berdirinya Israel seperti Inggris dan Amerika Serikat, terhadap kawasan Timur Tengah termasuk Jalur Gaza. Inipula yang menjadi alasan mengapa AS sering menggunakan hak vetonya di Dewan keamanan PBB, untuk melempangkan kepentingan Israel di Kawasan Timur Tengah.

Kalau kita merujuk pada kasus agresi militer Israel ke Jalur Gaza, maka sesungguhnya telah terjadi pembenaran mitosisasi hukum internasional. Terbukti PBB sangat tidak berdaya untuk memberikan sanksi hukum kepada Negara Yahudi Israel yang terang-terangan melakukan “holocaust” dan “genocide” kepada penduduk sipil Palestina di Jalur Gaza sebagai sebuah pelanggaran hukum internasional.

Adalah sungguh tidak beralasan untuk menganggap tindakan Israel itu sebagai tindakan “self defense” alias pembelaan diri dari serangan roket yang pernah dilancarkan oleh Hamas, sebagaimana yang didalihkan oleh George W Bush. Karena dalam ketentuan Konvensi Jenewa 1949, disebutkan untuk alasan apapun sangat tidak dibenarkan menjadikan warga sipil tak bersenjata sebagai sasaran militer (Pasal 28 Konvensi Jenewa).

Dan pada faktanya, sasaran militer pasukan Israel, bukan diarahkan pada sasaran-sasaran militer strategis, tetapi justeru diarahkan pada pemukiman-pemukiman sipil, rumah sakit, pusat-pusat pendidikan dan tempat ibadah. Inilah yang menurut ketentuan konvensi sebagai tindakan pembunuhan, pemusnahan, dan penganiayaan yang sangat dilarang. Pelanggaran ketentuan ini dapat disebut sebagai kejahatan kemanusiaan (genocide).

Jadi untuk alasan apapun, serangan militer Israel ke Jalur Gaza yang sudah berjalan lebih sepuluh hari, dengan fakta puluhan ribu warga sipil jadi korban, dalam perspektif Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Den Haag 1907, adalah sebuah pelanggaran kemanusiaan. Namun ironisnya, instrumen hukum kedua konvensi tersebut, ternyata hanya tulisan-tulisan mati yang tak pernah berdaya di hadapan negara Israel. Sehingga apa yang ditesiskan oleh John Austin, bahwa hukum internasional bukanlah hukum yang benar-benar, tampaknya masih relevan digunakan sebagai kerangka teori dalam khasanah kajian hukum saat ini.

Karena dari replika kasus serangan Israel ke Jalur Gaza, meski sudah mendapat kecaman dari masyarakat internasional, Israel toh tetap bebal dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Ehud Olmert dengan angkuh berkata “kami akan tetap melakukan serangan bom ke kawasan Jalur Gaza sampai tujuan menghancurkan pertahanan Hamas tercapai meski untuk itu warga sipil harus jadi tumbal”.

Jadi sesungguhnya, berharap pada hukum internasional untuk menekuk Israel ke luar dari Jalur Gaza, menghentikan serangan militernya, hanyalah mitos. Pandangan Israel selama ini terhadap hukum internasional adalah pandangan ala zionis. Seperti pandangan Ehud Olmert yang merepresentasikan komunitas Yahudi pada umumnya, “international law is not anything but it is for the Jews. Hukum internasional bukanlah apa-apa bila demi untuk kepentingan bangsa Yahudi.

Berdasar argumentasi tersebut, maka masih bisakah kita berharap lagi kepada hukum internasional untuk menyelesaikan persoalan konflik Jalur Gaza yang terus menerus di dera oleh kejahatan kemanusiaan oleh warga komunitas Yahudi di tanah para nabi itu? Atau masih adakah alternatif lain untuk mencari solusi bagi penyelesaian konflik di Jalur Gaza yang tampaknya terus berkepanjangan?

Tidak ada komentar: