Jumat, 09 April 2010

Tulisan Terbaru Mafia Kasus

Mafia Hukum Dibalik Skandal Pajak
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Dosen Fakultas Hukum Unhalu
Setelah skandal Bank Century mencoreng dunia penegakan hukum di tanah air. Lagi-lagi kita dikejutkan dengan skandal penggelapan dana pajak yang melibatkan Gayus Halomoan P Tambunan, seorang pegawai pajak berstatus golongan III/a. Modus operandi penggelapan dana pajak ala Gayus dibeber secara gamblang oleh salah seorang petinggi Polri, Komjen Susno Duadji, mantan Kabareskrim Polri. Jumlah dana pajak yang digelapkan, sangat fantastis, mencapai digit 28 milyar rupiah. Malah, Susno Duadji, secara berani menuding ada sejumlah perwira polisi yang jadi “becking” penggelapan dana pajak yang memang tidak kepalang tanggung besarnya itu.
Kalau saat ini, ada beberapa jendral dan petinggi kepolisian lainnya termasuk jaksa yang sudah berstatus terperiksa dan tersangka dalam kasus pengemplangan dana pajak yang sangat menggegerkan itu, maka tentu secara normatif, bisa dibilang Gayus Tambunan tidak bekerja sendirian. Artinya, Gayus sudah berada pada posisi lingkaran melakukan tindak pidana secara berjamaah, dengan berlapis tuduhan, korupsi, penggelapan, dan pencucian uang (money laundry).
Istilah melakukan tindak pidana berjamaah yang penulis gunakan ini, dalam logika sistem hukum pidana kita, dikenal dengan sebutan “penyertaan melakukan tindak pidana” (deelneming). Kaidahnya diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHPidana yang secara sederhana merumuskan kualifikasi kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama.
Kedua pasal tersebut, lalu membagi kategori pelaku kejahatan, yaitu orang yang menyuruhlakukan lahirnya kejahatan dan orang yang turut serta melakukan perbuatan. Dari sini kemudian dapat dipilah, ada orang yang bertindak sebagai pelaku intelektual (doen plegen) dan yang turut melakukan perbuatan (medeplegen).
Jadi sesungguhnya aroma tindak pidana berjamaah menurut kaidah Pasal 55 dan Pasal 56 KUHPidana, dapat dipastikan menyengat dalam skandal pengemplangan pajak yang menyeret Gayus Tambunan, staf biasa Golongan III/a pada Ditjen Pajak. Tentu pembuktian siapa saja orang-orang yang berkomplot dalam skandal pajak, sangat tergantung “nyanyian” pengakuan Gayus sendiri. Memang satu-satunya alat bukti paling valid selain alat bukti petunjuk yang ada, untuk mengungkap siapa pelaku utama yang jadi sutradara di balik mega kasus tindak pidana pengemplangan duit pajak yang menghebohkan, adalah pengakuan Gayus sendiri.
Pada sudut pandang yang lain, fenomena Gayus di balik skandal pajak, merupakan salah satu ilustrasi buruknya potret penegakan hukum kita sekarang. Ibarat kentut meski tidak terlihat kasat mata tetapi bau busuknya sudah menyengat kemana-mana. Mafia hukum di balik skandal pajak sebetulnyamerupakan fenomena “gunung es”, yang boleh jadi masih banyak berseliweran mafia hukum lainnya dengan modus operandi beraneka ragam dalam blantika penegakan hukum di tanah air.
Jadi secara sosiologis dengan menggunakan teori pendekatan sistem versi Talcott Parsons, pemberantasan mafia hukum di tanah air sampai ke akar-akarnya memang tidak bisa dilakukan hanya dengan cara parsial, individualistik, dan sepotong-sepotong. Masalahnya seperti yang dikemukakan Talcott Parsons, hukum merupakan bahagian dari sebuah sistem kehidupan dimana semua aspek terkait di dalamnya baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama aspek politik, aspek ekonomi, dan aspek ideologi yang menjadi penyangganya.
Kata Keynes, seorang pakar ekonomi kapitalisme, bahwa drama kehidupan manusia dalam kehidupan masyarakat, bukanlah berjalan di sebuah ruang hampa yang kosong, tetapi ia akan sangat tergantung pada ideologi yang menyangganya. Kata Keynes ketika terjadi kebobrokan dalam panggung kehidupan masyarakat maka tentu kita harus kembali menengok pada sistem-sistem yang menjadi penyangganya.
Kalau asumsi kedua pakar barat tersebut kita jadikan acuan argumentatif untuk memberangus mafia hukum di tanah air mulai dari kelas teri sampai kelas kakap sekalipun maka memang harus terpulang pada sebuah sistem yang masih menggaransi permainan bulus untuk berkongkalikong memperalat hukum guna kepentingan-kepentingan syahwat kekuasaan dan materi. Inilah biang keladinya, menurut penulis yang sampai hari ini, betapa sulitnya memberangus mafia hukum yang masih berseliweran.
Apalagi asas dalam hukum acara di tanah air masih membolehkan bagi setiap orang yang berperkara di pengadilan harus dipungut biaya. Inilah salah satu asas yang sangat tidak disetujui penulis, lantaran asas ini pula yang berpotensi membuka peluang bagi setiap orang untuk memperjual belikan hukum dengan dalih asas keharusan berperkara dikenakan biaya. Ini salah satu contoh dari masih terdapatnya instrumen hukum di negeri ini yang malah memperburuk sistem penegakan hukum kita.
Jadi tumbuh suburnya mafia hukum di negeri ini, persoalan pokoknya pada sistem hukum yang konfigurasinya sebahagian notabene masih produk kolonial Belanda, yang penulis maksud adalah sistem hukum yang masih menumbuhsuburkan keserakahan terhadap materi, gaya hidup mewah, dan berburu jabatan alias kekuasaan. Jelas, sistem hukum warisan produk kolonial Belanda, adalah sistem dimana masih terkooptasi dengan mental matarialistik.
Bisa dibuktikan ketika kita masih menyaksikan para petinggi hukum di negeri ini, sebut misalnya salah seorang hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang kedapatan KPK menerima suap yang lumayan besarnya, 300 juta rupiah!!! Mungkin saja masih ada sebahagian aparat penegak hukum kita yang rela menjajakan martabatnya demi segepok uang.
Mafia hukum ala Gayus barangkali akan berlanjut dengan episode “sinetron” hukum di negeri ini dengan modus yang lain. Betapapun kisah mafia hukum di negeri yang “gemah ripah loh jinawe” ini yang kini berlanjut dalam episode skandal pajak ala Gayus, merupakan buah dari sistem hukum yang paradigma penyangganya sudah lapuk dan usang. Karena Gayus tidak bekerja sendirian, ia adalah jabang yang kelahirannya dibidani secara keroyokan dan berkomplot.
Jadi tugas Satgas Mafia Hukum untuk menggerus bibit mafia hukum sampai ke akar-akarnya di negeri tercinta ini tidak hanya dengan mencokok person-person yang turut mengambil andil mengangkangi hukum. Tetapi yang terpenting adalah mengeluarkan sebuah rekomendasi penting kepada para stakeholder di negeri ini berupa agenda untuk menata kembali secara revolusioner sistem penegakan hukum kita yang materialistik menuju sistem hukum yang lebih memberikan rasa keadilan dan menjamin persamaan hukum bagi setiap warga negara yang memberikan jaminan Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana yang wajib termaktub dalam semua keputusan hakim pengadilan di negeri ini.
Ada pertanggungjawaban ilahiah dan sistem hukum yang menjadikan setiap orang terdapat perasaan berdosa ketika mengangkangi hukum atau mencuri harta negara alias merampok uang rakyat. Bukan sebuah sistem hukum yang justru hanya berpihak pada orang-orang berduit dan punya kekuasaan.
Sabda Agung Nabi Muhammad SAW, “ Tanda kehancuran suatu negeri adalah tatkala pelanggaran hukum dilakukan orang-orang yang berkuasa dan berduit, maka hukum tidak ditegakkan, namun bila orang-orang lemah dan tidak punya uang melakukan pelanggaran hukum, maka hukum baru ditegakkan”. (*)

Tidak ada komentar: