Jumat, 03 Februari 2012

Tulisan Tentang Korupsi di Indonesia

Catatan Hukum
Janji Abraham Samad
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Dosen Fakultas Hukum Unhalu

Abraham Samad atau dulu ketika masih sama-sama “kongkow” di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, kami biasa menyapanya dengan “openg gondrong”. Teman-teman satu angkatan saya dulu memanggilnya “Openg Gondrong”, karena ciri khas Abraham Samad sejak semester satu sampai semester akhir kuliah di Fakultas Hukum Unhas, memelihara rambut panjang yang dikuncir sampai punggung. Dan tahun 1999, ketika saya bertemu Abraham Samad di Makassar, ia sudah menjadi advokat yang cukup populer, yang berbeda juga adalah ciri khas kegondrongannya sudah tidak ada lagi, rambutnya dipotong pendek klimis.
Kini gemintang Abraham Samad menjadi bersinar, cukup mengejutkan, putra asal Makassar itu menang telak, berhasil menjadi pucuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam voting pemilihan Ketua KPK yang digelar Komisi III DPR RI, tak tanggung-tanggung ia menyisihkan nama-nama besar sekaliber Bambang Widjajanto, advokat senior dan Busyro Muqqaddas, mantan Ketua KPK.
Yang cukup mengejutkan adalah Abraham Samad, berani mempertaruhkan jabatanya, mundur sebagai Ketua KPK bila dalam satu tahun ia tidak berhasil menuntaskan kasus-kasus besar korupsi, sebutlah misalnya skandal Bank Century.
Barangkali janji Abraham Samad untuk mundur sebagai Ketua KPK bila ia gagal dalam melaksanakan tugas memberantas korupsi di Indonesia merupakan magnet terbesar yang menjadi harapan bagi setiap warga negara Indonesia. Namun ada beberapa hal yang hendak saya sampaikan buat Abraham “Openg” berkenaan dengan pengalaman bangsa ini menghadapi kasus-kasus mega korupsi yang merampok uang rakyat dari yang bermilyar-milyar hingga triliunan rupiah.
Kasus korupsi atau tepatnya perampokan uang rakyat yang banyak melibatkan politisi besar di negara ini, sejak dulu merupakan lingkaran setan yang begitu sulit untuk dicari ujung keluarnya. Kebanyakan kasus mega korupsi, taruhlah semisal kasus Bank Century, kasus Nazaruddin cs, mantan Bendahara Partai Demokrat, dan masih banyak lagi, selalu kandas oleh sebuah “grand design” tekanan politik yang cukup tinggi. Betapa tidak, banyak orang di negeri ini yang menaruh kecurigaan cukup besar, ketika sederet orang yang menakhodai KPK “tidak cukup tenang bekerja” membongkar dedengkot pelaku utama perampokan uang rakyat. Sebutlah misalnya, Antasari Azhar yang harus dicekok duluan dengan tuduhan berkonspirasi melakukan pembunuhan ataukah kasus Bibit-Chandra yang menjadi tumbal untuk mengadu domba KPK versus Kepolisian-Kejaksaan.
Belum lagi kasus Susno Duadji, seorang perwira tinggi kepolisian yang terpaksa harus mendekam dalam kerangkeng lebih dahulu, ia tidak sempat membuka borok korupsi yang melanda negeri ini. Yang teranyar, Waode Nurhayati, politisi asal Sultra, yang harus dijebak duluan, dituding terlibat penyalahgunaan anggaran, sebelum wanita berkerudung itu membuka tuntas mafia anggaran yang konon menurut Waode, telah menggerogoti Badan Anggaran DPR RI.
Jadi apa sebetulnya persoalan mendasar kasus korupsi yang harus dihadapi oleh Abraham Samad?
Secara dogmatik, memang tidak sulit untuk meringkus para koruptor di negeri ini, bila seseorang menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Korupsi, baik secara materil maupun formil, telah terbukti menyalahgunakan uang negara untuk kepentingan pribadi, maka tidak ada keraguan lagi untuk mencokok yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi.
Begitu juga, seseorang yang terbukti menyogok orang lain agar mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan amanah jabatannya, menurut Undang-Undang Anti Korupsi, baik penyogok maupun menerima sogok, pantas pula disebut koruptor.
Persoalannya kini, mencokok seseorang dengan tuduhan melakukan tindak pidana korupsi, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Sebab mental orang Indonesia ketika sudutkan telah menilep uang negara, tidak mau “legowo” untuk menerima status sebagai tersangka pelaku korupsi, meski kemungkinan besar sejumlah alat bukti sudah mengarah kepadanya. Apalagi kalau yang dituding itu memiliki jejaring yang sangat dekat dengan kekuasaan.
Itulah barangkali sebabnya menurut saya, telalu sulit membongkar kasus-kasus korupsi kelas kakap di negeri ini, yang sebetulnya jadi taruhan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah komando Abraham Samad. Ia sebagai pimpinan KPK, harus berhadap-hadapan “vis a vis”, karena problematika korupsi di negeri ini bukanlah semata persoalan individual tetapi lebih dari itu adalah persoalan yang sifatnya sistemik dan paradigmatik.
Memang betul, penegakan hukum di negeri memerlukan orang bernyali besar yang tidak hanya cerdas. Tapi faktanyanya, segelintir orang cerdas dan berani di negeri ini, terpaksa harus terjebak dalam sebuah lingkaran setan yang ia sendiri tidak bisa berbuat banyak membongkar kasus korupsi baik kelas teri maupun kelas kakap.
Mengapa demikian? Sebabnya, bangsa ini tengah menghadapi anomali hukum. Yaitu sebuah istilah untuk menjelaskan realitas penegakan hukum bangsa ini yang memang sejatinya tidak berkomitmen menghargai standar-standar normatif dan dogmatik hukum. Hukum berstandar dogmatik dan normatif hanya dalam wacana para akademisi hukum tetapi malangnya dalam tataran praktik, pertimbangan politik dan pertimbangan ekonomi ikut-ikutan mengintervensi dunia hukum.
Padahal dunia hukum, menurut para akademisi hukum, adalah dunia hitam putih, abstraksinya adalah normatif. Hukum sebagai suatu sistem nilai, wilayahnya bukanlah wilayah kompromistis apalagi wilayah yang harus ditafsirkan sebagai sesuatu yang harus dibijaksanai berdasarkan kepentingan tertentu.
Anehnya negeri ini, konon ada orang yang sudah terbukti memenuhi unsur melakukan tindak pidana korupsi, dan seharusnya masuk kerangkeng. Namun karena ada banyak pertimbangan politik dari jejaring kekuasaan, sehingga yang bersangkutan dicari-cari alasan pembenar untuk tidak dikualifikasikan sebagai koruptor.
Jadi kita tidak usah kaget, menyaksikan sandiwara hukum yang membuat frustasi banyak orang di negeri ini, ketika syahdan beberapa diantara tersangka pelaku korupsi tampaknya masih melenggang bebas belum terkena sanksi hukum. Dengan mengatasnamakan asas praduga tak bersalah, para tersangka, memiliki imunitas dan keistimewaan khusus agar tidak tersentuh hukum.
Inilah seharusnya menjadi inspirasi dan kontemplasi Abraham Samad dalam rangka menggiatkan KPK menangkap para begundel yang menghisap uang rakyat. Para begundel itu, tidak berjalan sendirian, mereka sebetulnya masih terproteksi oleh sebuah sistem yang menggaransi para penilep uang rakyat untuk kebal terhadap hukum.
Sebab ada kesalahan terbesar telah meracuni proses penegakan hukum di negeri ini, terutama yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Bila seseorang yang tersandung kasus korupsi, punya jejaring politik cukup kuat dengan lingkaran kekuasaan, maka ada banyak penafsiran politik dan sosiologis yang harus digunakan sebagai alasan pembenar untuk mengurai bahwa yang bersangkutan tidak cukup bukti untuk disebut pelaku tindak pidana korupsi.
Hukum tetaplah hukum, ia merupakan satu sistem nilai. Hukum sejatinya tidak boleh ditarik dalam kutub penafsiran yang keluar dari intristik nilai-nilai, yang dibangun atas dasar argumentasi logika hukum itu sendiri, seperti keadilan, ketertiban, dan pergaulan hidup damai. Apalagi bila justeru nilai-nilai hukum itu sendiri sampai dielaborasikan kepada kepentingan pragmatis dan materialistik.
Kini tantangan terbesar bagi Abraham Samad, adalah menghadapi para Mafioso di negeri ini yang terlanjur begitu kuat membentuk sebuah jejaring yang justeru makin menumbuhsuburkan budaya korupsi. Karena bagaimanapun juga, pemberantasan korupsi hari ini, bukanlah perkara yang mudah. Menjadikan hukum sebagai “panglima” dalam kerangka untuk menempatkan komitmen pemberantasan korupsi tidaklah cukup.
Karena hukum hanya akan berdaya efektif memberantas para pencoleng uang rakyat apabila hukum sebagai sistem nilai tegak pada sebuah sistem yang menggaransi adanya ketegasan sanksi kepada siapapun tanpa memandang yang kuat dan yang lemah. Kemudian ada dukungan aparat pemerintah dan penegak hukum yang bersih hati dan pikirannya untuk tetap komitmen hanya mau menerima harta halal yang bebas dari unsur korupsi.

Tidak ada komentar: