Jumat, 03 Februari 2012

Masih tentang Korupsi

Problematika Pemberantasan Korupsi
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Dosen Fakultas Hukum Unhalu
Ketika Dr Fachmi SH MH, menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sultra, ia langsung membuat gebrakan. Beberapa pejabat dan mantan pejabat Sultra langsung dikerangkeng, atas dugaan tindak pidana korupsi. Malah Kajati Sultra yang baru itu, berencana mengkerangkeng sejumlah kepala daerah di Sultra yang selama ini ditenggarai menguras uang rakyat dan konon merasa aman dari sentuhan hukum. Tak tanggung-tanggung juga, Haekal seorang anak bupati harus menerima nasib dijerat tindak pidana korupsi oleh sang Kajati baru.
Kini sejumlah idealis hukum serta kalangan pejuang hukum di daerah ini, menanti gebrakan dari sang Kajati baru. Mungkinkah gebrakan pemberantasan korupsi yang ditabuh sang Kajati, bisa membawa pencerahan keadilan bagi masyarakat yang sudah lama mengimpikan Sultra bebas korupsi, ataukah justru sebaliknya, gagasan pemberantasan korupsi hanya mengulang lagu lama, yaitu sekadar nyanyian penggembira seorang penegak hukum, yang mungkin karena hanya untuk mengejar target. Karena faktanya, gebrakan pemberantasan korupsi yang ditabuh para Kajati Sultra terdahulu mulai semasa Antasari Azhar sampai Timbang Hutahuruk, tampaknya harus macet. Kabarnyapun jadi tenggelam, seiring dengan berjalannya waktu.
Sultra yang selama ini seolah menjadi “suratan takdir” sebagai daerah yang tergerus oleh kasus-kasus korupsi, tampak bahwa penanganan korupsi di daerah ini sudah terlalu jelimet dan ibarat lingkaran setan, selama beberapa kali pergantian Kajati, penanganan kasus-kasus korupsi sepertinya tak pernah tuntas alias beberapa di antaranya terpaksa macet di tengah jalan.
Tidak tuntasnya beberapa penanganan kasus korupsi di tanah air, dengan mengambil ilustrasi daerah Sultra, bila dilakukan pengkajian analitis secara empirik, menurut penulis, sangat mungkin lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor fundamental yang ini lebih bersifat paradigmatik ketimbang bersifat pragmatis semata. Faktor-faktor fundamental inilah yang kemudian berpengaruh cukup signifikan terhadap konfigurasi format serta struktur yang menopang sistem hukum kita yang kemudian berimplikasi tidak cukup kuatnya sistem hukum di negeri ini untuk mengeleminir berbagai tindak pidana korupsi yang makin mengkerat.
Faktor-faktor fundamental dimaksud, yang dapat diperinci antara lain, pertama: landasan substansial pasal-pasal Undang-undang Anti Korupsi di negeri ini yang tampak masih ambigu (standar ganda), malah beberapa pasalnya membuka ruang interpertasi yang bersifat debatable sehingga membuka peluang banyak pihak berkepentingan untuk diloloskan dari jeratan tindak pidana korupsi. Sebagai misal Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, yang sampai sekarang masih menjadi instrumen yuridis, dalam konteks “lex specialis”, untuk memberantas tindak pidana korupsi di tanah air. Terdapat beberapa pasal tertentu, yang menurut penulis cukup krusial serta jadi kendala terutama bagi aparat penegak hukum untuk mengkerangkeng pejabat negara atau orang-orang dekat seputarannya yang diduga menguras uang rakyat. Contoh, Pasal 37 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan kata-kata “...Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi...”, selanjutnya kata-kata “...Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti...”
Kata-kata hukum tersebut, boleh jadi justeru menjadi pamungkas para oknum penilep uang negara mencari celah hukum untuk lolos dari jeratan tindak pidana korupsi. Soalnya, sangat besar kemungkinan bagi tersangka untuk melakukan “kongkalikong” pun juga menyewa seorang analis keuangan profesional yang dengan rekayasa teknik penyusunan anggaran keuangan yang barangkali cukup masuk akal untuk menyatakan anggaran negara yang digunakan, bukanlah kategori korupsi. Atau juga dengan teknik penyusunan administratif keuangan yang cukup masuk akal untuk meloloskan oknum pejabat tertentu dari jeratan sebagai aktor intelektual (pelaku utama) penilep uang negara, kemudian sebagai gantinya ada pihak-pihak yang harus dijadikan sebagai “tumbal” guna menyelamatkan “invisible hand”, tangan-tangan tersembunyi aktor intelektual dimaksud dari jerat tindak pidana korupsi.
Menurut penulis, argumentasi tersebut bisa diterima, apalagi dengan mencermati kualitas alat bukti petunjuk yang bisa dijadikan dalil untuk mengkerangkeng seseorang sebagai pelaku tindak pidana korupsi, satu-satunya hanya alat bukti bersifat formil bukan berdasarkan alat bukti materil yaitu dengan melihat kenyataan sesungguhnya, seperti antara lain pada proyek-proyek fisik yang macet pengerjaannya lantaran duit proyek sudah terlanjur ditilep. Ataukah dengan melihat secara materil pada kenyataan profit (baca keuntungan dalam bentuk gaji, honor, tunjangan, uang terima kasih dalam kapasitas sebagai pejabat atau penanggung jawab proyek) yang diterima seseorang atau oknum tertentu, pada saat berstatus sebagai pejabat negara atau penanggung jawab proyek, yang sungguh sangat tidak logis bila dibandingkan dengan limpahan harta kekayaan yang diperolehnya, yang malah sampai pada digit mendekati milyaran rupiah.
Inilah musabab persoalannya, satu-satunya alat bukti petunjuk yang ditetapkan undang-undang anti korupsi untuk mengkerangkeng seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi, yaitu alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, berupa rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dan dibaca.
Padahal galibnya, boleh jadi terdapat alat bukti petunjuk lain yang bisa digunakan aparat penegak hukum, sebagaimana yang telah penulis urai pada paragraph awal, cukup sebagai dugaan kuat untuk mencekok seorang pejabat, telah terlibat tindak pidana korupsi.
Pengalaman pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini, menunjukkan kalau alat bukti petunjuk yang dimaksud dalam Pasal 26 A Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, dapat menjadi mentah dengan alasan yuridis bahwa itu tidak ada hubungannya dengan pokok perkara. Disinilah yang menurut penulis merupakan kelemahan dari alat bukti formil tersebut. Terbukti dalam skandal korupsi Bulug Gate dan dana-dana yayasan milik keluarga Soeharto, yang tidak cukup ampuh untuk menjerat pelakunya sebagai biang korupsi uang negara.
Kedua, sanksi pidana yang terkandung dalam undang-undang anti korupsi 2001, belum sepenuhnya memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi ataupun memberikan rasa takut orang yang mencoba-coba mengkorup uang negara. Undang-undang anti korupsi menyebutkan sanksi pidana paling tinggi bagi seseorang yang mengkorup uang negara, yaitu penjara seumur hidup dan denda satu milyar rupiah. Realitas penjara di tanah air yang konon mengkerangkeng orang-orang berpengaruh katakanlah mantan pejabat, jarang sampai pada ambang 20 tahun, kalaupun itu toh terjadi, biasanya yang bersangkutan akan mendapat kompensasi remisi hukuman penjara, yang bisa diberikan malah sampai tiga kali dalam satu tahun. Begitupun denda satu milyar, jarang sampai dapat diterapkan oleh pengadilan kalaupun itu terjadi maka terdakwa koruptor bisa mengkalkulasi uang denda yang sampai tidak merugikannya, apalagi digit uang yang dikorup sampai pada bilangan puluhan milyar lebih. Inilah persoalannya, sanksi pidana korupsi di negeri ini belum cukup memberikan rasa jera bagi para koruptor dan calon koruptor. Kita bisa melihat contoh, kenapa Cina dan Korea berhasil meminimalisir angka korupsi, salah satu faktornya adalah sanksi pidana mati siap menghantui para pelaku tindak pidana korupsi.
Ketiga, perebutan lahan siapa lembaga hukum yang paling berwewenang menangani tindak pidana korupsi masih mentradisi di negeri ini. Sungguh menggelikan ketika Presiden SBY beberapa waktu lalu dirisaukan oleh rebutan perkara antara KPK dengan Kejaksaan, ataupun antara KPK dengan lembaga kepolisian. Ada kecurigaan sebahagian kalangan kalau rebutan perkara itu dipicu oleh kepentingan untuk melindungi siapa ataupun balas dendam kepada siapa, atau mungkin juga rebutan perkara dilatarbelakangi oleh gengsi institusi. Persoalan rebutan perkara inilah, yang akhirnya memperlambat prosedur penyelesaian perkara pidana korupsi belakangan ini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa problematika pemberantasan korupsi yang kemudian makin membingungkannya penegakan hukum di negeri ini, sebetulnya antara lain ditenggarai oleh tiga faktor fundamental tersebut, lalu ditambah dengan makin keroposnya paradigma ideologi hukum yang menyangga sistem penegakan hukum kita yang lebih berorientasi pragmatisme. Padahal sejatinya, keberadaan penegakan hukum dalam sebuah kehidupan masyarakat, mestinya mampu memberikan keadilan holistik yang sesuai fitrah serta memuaskan logika hukum kita secara keseluruhan. (***)

Tidak ada komentar: