Jumat, 03 Februari 2012

CATATAN HUKUM

Ruang Rapat DPR 20 M
Oleh: Muh Sjaiful SH MH
Anggota DPR RI yang duduk di panitia anggaran, sekali lagi harus menghadapi hujatan dari masyarakat Indonesia, terkait dengan pengerjaan rehabilitas ruang rapat DPR RI yang bertengger pada angka 20 miliar rupiah. Angka tersebut, memang boleh dibilang sangat fantastis, di tengah kondisi rakyat bangsa ini yang sedang diterpa himpitan ekonomi yang cukup akut, yang ditandai dengan angka kemiskinan cukup tinggi termasuk sulitnya mencari lapangan kerja bagi jutaan angkatan kerja di negeri ini.
Pengrehaban ruang rapat DPR dengan angka anggaran 20 M, memang patut mencurigakan, sebab aroma korupsi bisa terendus dengan mendasarkan pada logika bahwa barangkali anggaran sebanyak itu sangat mubasir digunakan untuk sekedar rehabilitasi ruang rapat.
Mungkin bagi Marzuki Alie, bisa berkelit dengan dalih tidak mengetahui secara persis teknis rincian kucuran anggaran yang lumayan besar itu. Artinya, Marzuki Ali akan melempar tanggungjawab, bahwa teknis anggaran yang dikucurkan untuk kebutuhan DPR, merupakan tanggung jawab pihak sekretaris jenderal yang menangani kebutuhan anggaran rumah tangga DPR, bukan tangung jawab dia yang hanya berkompeten pada persoalan kebijakan politik.
Menarik benang merah untuk menjerat pelaku korupsi dibalik penggunaan anggaran 20 M rehab ruang rapat DPR, memang harus dilakukan secara cermat dan hati-hati. Tetapi sebenarnya tidak begitu sulit. Paling tidak ada pihak-pihak tertentu, yang menurut logika berpikir hukum, bisa ditarik pertanggungjawabannya secara hukum.
Dalam ilmu hukum yang dipelajari sekarang, dikenal teori kesalahan yang disebut “vicarious strict liability”, menurut teori ini, seseorang dapat disebut melakukan kesalahan atau perbuatan pidana, meskipun ia tidak terlibat secara langsung dalam suatu perbuatan yang menyebabkan timbulnya kesalahan tersebut. Kerangka teori ini menjelaskan bahwa seseorang dianggap melakukan kesalahan apabila ia memiliki keterkaitan erat dengan lahirnya perbuatan tersebut.
Dengan menggunakan kerangka teori tersebut, beberapa anggota DPR yang terlibat dalam rapat anggaran penggelontoran dana 20 M untuk pengalokasian rehabilitasi ruang rapat DPR RI, mungkin saja dapat dijerat sebagai pihak yang turut serta bertanggungjawab. Alur berpikirnya, dana 20 M yang digelontorkan, tentu saja sudah melalui mekanisme kebijakan politik anggaran yang disepakati bersama dalam rapat anggaran.
Artinya, pihak-pihak seperti Marzuki Alie, Ketua DPR penentu otoritas kebijakan politik tertinggi di parlemen serta Pius Lustrilanang sebagai Wakil Ketua Anggaran Rumah Tangga dan Perlengkapan DPR RI yang mengeksekusi anggaran, lalu diteruskan secara operasional penggunaan dananya oleh Sekretariat Jendral, tentu saja mereka dianggap tahu tentang penggelontoran dana dimaksud.
Bisa saja Marzuki Alie dan Pius Lustrilanang berkilah, tapi yang harus dipahami bahwa penggunaan anggaran yang sumbernya dari keuangan negara tidak bisa serta merta dibahasakan secara simplikatif bahwa status legislatif hanya untuk urusan politik. Kita tidak boleh lupa kalau lembaga DPR merupakan salah satu lembaga publik yang dalam sistem ketatanegaraan kita juga memiliki tanggung jawab hukum administratif.
Disini saya hendak menjelaskan bahwa ketika para wakil rakyat yang tengah bekerja dalam status sebagai anggota legislatif dalam kerangka tugas yang berkenaan dengan tetek bengek kenegaraan, tidak bisa dikatakan mereka memiliki imunitas hukum atau bekerja dalam koridor yang tidak bisa tersentuh oleh hukum. Jadi ketika Marzuki Alie dan Pius Lustrilanang, dan para anggota DPR yang lain, menggodok uang bancakan 20 M untuk kepentingan rehabilitas ruang rapat DPR RI, keduanya sudah dapat dipandang melakukan kewenangan dalam tataran publik yang harus dimintakan pertanggungjawaban hukumnya secara administratif. Karena sudah jelas anggaran 20 M berasal dari keuangan negara yang penggunaannya berkaitan erat dengan penyelenggaraan publik. Dari sisi pertanggujawaban hukum secara administratif, Marzuki Alie, Pius Lustrilanang, serta siapa saja anggota DPR yang terlibat dalam kesepakatan penggunaan anggaran, dapat dianggap bertanggung jawab. Ini dari sisi hukum administrasi.
Lantas dimana letak pertanggungjawaban pidana untuk menempatkan kerangka penggunaan dana 20 M yang di dalamnya terindikasi penyalahgunaan keuangan negara? Yang pertama harus digeledah, perlu dicari pembuktian dengan melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan yang bekerja secara independen dan objektif, guna memastikan proporsionalitas serta rasionalitas penggunaan anggaran 20 M. Artinya, ada tim audit keuangan independen semisal BPK, yang ditunjuk guna memastikan ada tidaknya mark up anggaran rehabilitasi ruang rapat DPR RI.
Bila laporan keuangan BPK dapat membuktikan secara sah dan meyakinkan tentang terdapatnya mark up anggaran rehabilitasi gedung DPR RI, maka berpegang pada teori “vicarious strict liability”, dapat dikatakan terdapat unsur pidana dalam penggunaan anggaran 20 M, yang siapapun harus bertanggung jawab secara renteng terhadap penyalahgunaan anggarannya.
Konsep “vicarious strict liability”, adalah teori kepidanaan yang menetapkan tanggung jawab kesalahan yang harus dibebankan kepada siapa saja yang dianggap tahu dan berada pada siklus terjadinya suatu perbuatan. Sederhananya untuk memahami konsep ini adalah sebagai berikut: Seorang pencuri ketika sedang mengendap-endap memasuki sebuah rumah, kemudian para petugas ronda malam, mengetahui ada pencuri dan tidak berusaha untuk menelpon polisi atau membekap sang pencuri, namun masih asyik main gaple, maka menurut konsep “vicarious strict liability”, para petugas ronda dianggap turut membantu kejahatan pencurian.
Celotehan Marzuki Alie yang berniat melaporkan ke KPK bahwa pemalakan anggaran 20 M murni tanggung jawab Sekretariat Jenderal yang dipandang tahu tentang teknis penggunaan anggaran rumah tangga, maka yang jadi persoalan yaitu Marzuki Alie cs juga termasuk pihak yang meneken hasil rapat porsi anggaran yang digunakan untuk keperluan rehabilitasi gedung DPR. Logikanya, Ketua DPR dan Panitia Anggaran yang meneken hasil rapat penggunaan uang negara, memiliki otoritas kewenangan administratif berapa pagu anggaran yang harus dikeluarkan. Sangat mustahil kalau rapat anggaran hanya membicarakan penggunaan anggaran secara umum tanpa ada detil perincian anggaran, sebab ini menyangkut penggunaan anggaran negara yang peruntukannya adalah untuk kepentingan fasilitas publik.
Beda ceritanya, seandainya dalam rapat anggaran diputuskan penggunaan anggaran sebesar 1 miliar tetapi realisasi anggaran melebihi 1 miliar atau katakanlah menembus angka 20 M, maka tentu saja Marzuki Alie bisa lolos dari jeratan hukum. Yang menanggung kesalahan tersebut adalah pihak pelaksana proyek, taruhlah misalnya dalam hal ini pihak sekretariat jenderal.
Namun persoalannya, mungkinkah seorang Marzuki Alie dan Pius Lustrilanang, tidak tahu menahu penggunaan anggaran 20 M, yang luar biasa banyaknya itu? Karena dalam teknis pencairan anggaran dalam sistem keuangan negara kita, sepengetahuan saya, bahwa dana untuk proyek-proyek strategis, hanya bisa cair apabila sudah ada tanda tangan persetujuan dari pemegang otoritas tertinggi dari suatu lembaga atau institusi.
Apakah mungkin, Marzuki Alie selaku pemegang kuasa anggaran, menutup mata menandatangani persetujuan kucuran dana 20 M yang akan digelontorkan? Atau pertanyaannya begini. Apakah pihak sekretariat jenderal begitu berani memalsukan tanda tangan Marzuki Alie? Tidak ada yang tahu pasti. Hanya Tuhan dan Marzuki Alie yang tahu.

Tidak ada komentar: